Gudeg Yu Siti

gambar penjual gudeg
Sumber gambar supriyantoart.blogspot.com

Warung beratap anyaman daun kelapa yang berada persis di perempatan jalan besar yang salah satunya menghubungkan ke kawasan Malioboro itu terlihat begitu ramai dikunjungi pembeli setiap pagi. Warung itu adalah warung nasi gudeg milik Yu Siti yang cukup pandai meracik makanan khas dari kota Yogyakarta.

Gudeg khas racikan jemari tangan perempuan baya yang telah lima tahun hidup menjanda dan belum dikaruniai anak itu memang sangat diminati warga sekitar. Bahkan banyak pula warga dari daerah-daerah lain yang setiap pagi berdatangan dan rela mengantre demi bisa menikmati sebungkus nasi gudeg Yu Siti. Tua, muda, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak SD, semua mengujar senada; menggemari nasi gudeg bikinan Yu Siti yang rasanya uenak tenan[1].

Kendati ada juga beberapa warung tak begitu jauh dari sebelah selatan warung Yu Siti yang juga menjual menu senada (gudeg dan beberapa makanan khas Yogyakarta) namun tetap saja lidah-lidah warga tak dapat dibohongi. Entahlah, ada rahasia apa sehingga hanya nasi gudeg Yu Siti yang paling diminati dan dirindui. Dan ternyata, tak hanya nasi gudeg yang menjadi menu favorit para pelanggan setia Yu Siti. Ayam opor, sambal goreng krecek, dan minuman teh gula batu yang menjadi lauk pelengkap saat menyantap nasi gudeg pun cukup dirindui oleh lidah-lidah pembeli yang selalu membludak saban hari.

Terbukti, ketika sang mentari telah melesat hingga kira-kira sepantaran ujung tombak, makanan serta minuman khas asli kota Yogyakarta itu selalu kandas melunas di perut-perut kenyang para pelanggan setianya. Saking larisnya gudeg buatan Yu Siti, hingga membuat wajah-wajah para pelanggannya sontak beriak kecewa ketika sudah bela-belain mengantre, eh… ternyata nasi gudeg yang ditunggu-tunggu itu sudah ludes diserbu pembeli yang datang mengantre lebih awal.

Waduh, nyuwun pangapunten nggih, sekul gudege sampun telas,[2] ucap Yu Siti dengan gurat wajah sedih ketika melihat kenyataan; nasi gudegnya telah habis sementara masih ada beberapa pembeli beraut kecewa karena tidak kebagian nasi gudeg khas bikinannya.

Dan, demi memuaskan lidah-lidah para pelanggannya itulah, lantas Yu Siti berinisiatif membuat peraturan anyar yang mesti dipatuhi para pelanggan setianya. Peraturan itu ditulis manual pakai spidol merek murahan dengan huruf Latin besar-besar (waktu itu belum ada perangkat komputer, laptop, apalagi notebook) di selembar kertas manila putih dan ditempel di salah satu saka bambu warungnya yang terlihat cukup kokoh itu.

Isi tulisannya seperti ini:

Nuwun sewu lan permaklumanipun, nggih. Kagem sedoyo pelanggan, mboten dipun parengaken tumbas sekul gudeg ngeluwihi kalih porsi. Cekap semanten lan matur nuwun.[3]

 

***

Ajaib! Sungguh ajaib! Sehari pasca diterakan peraturan baru yang tanpa terlebih dulu meminta kesepakatan dari para pelanggan setianya itu, warga yang semula mengantre dan tak kebagian jatah nasi gudegnya Yu Siti pun langsung berkurang drastis. Bahkan seminggu berselang, pasca ditempelnya peraturan manual itu, sama sekali tak ada pelanggan yang tak bisa menikmati nasi gudeg khas racikan jemari tangan Yu Siti. Semua kebagian sama rata. Satu, atau dua porsi.

Bibir-bibir para pelanggan yang rela mengantre pun selalu melengkungkan senyum kepuasan karena setelah mereka bela-belain mengantre cukup lama, pada akhirnya terpuaskan dengan nasi gudeg, ayam opor, sambal goreng krecek, serta minuman teh gula batunya Yu Siti yang rasanya uenak tenan itu.

***

Pernah, selama lima hari berturut-turut, Yu Siti absen tak berjualan nasi gudeg. Semua warga yang telah kadung datang untuk membeli nasi gudeg, dengan raut kecewa saling melempar tanya; mengapa Yu Siti tak berjualan nasi gudeg lagi. Dan, waktu itu, tak ada satu pun dari para pelanggannya yang menahu, mengapa Yu Siti absen tak berjualan nasi gudeg. Lantas, pada hari keenam, atas kesepakatan bersama, para pelanggan setia nasi gudeg Yu Siti pun berbondong menuju rumah Yu Siti yang ternyata berada tak begitu jauh dari keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ternyata, musabab utama Yu Siti tak berjualan nasi gudeg karena ia sedang sakit. Mulanya, Yu Siti mengira hanya masuk angin biasa dan cukup meminum jamu tolak angin yang dijual bebas di toko-toko obat terdekat. Tapi sehari kemudian, panasnya belum juga reda, bahkan kian meningkat saja. Hingga akhirnya, Yu Siti pun memeriksakan diri ke dokter terdekat. Katanya, Yu Siti terserang gejala tifus (hepatitis A yang menurut ahli medis disebabkan oleh bakteri salmonella typhi) atau pada zaman itu biasa disebut dengan penyakit kuning yang ditandai dengan warna tubuh yang kekuning-kuningan.

Beruntung, Yu Siti belum terlambat memeriksakan diri. Sehingga dua hari setelah minum obat yang diberikan Pak dokter, panas dan demam Yu Siti berangsur turun. Kesehatan Yu Siti perlahan pulih. Sesuai anjuran dokter, Yu Siti harus banyak beristirahat. Jangan melakukan aktivitas yang berat-berat dulu. Dan harus segera kontrol ke dokter jika tiba-tiba merasa tak enak badan, atau obat yang diberikan dokter menimbulkan efek samping, atau bahkan tak ada pengaruhnya sama sekali.

Begitu mendengar cerita menyedihkan yang terpapar dari bibir pucat Yu Siti yang tengah terbaring lemas di dipan bambu, semua pelanggan nasi gudegnya merasa tersentuh, trenyuh baur haru. Malah sampai ada yang menitikkan air mata saking sedihnya. Sebelum pulang, masing-masing dari mereka (tanpa dikomando) mengeluarkan beberapa koin uang sekadar untuk membantu Yu Siti yang sedang mendapat ujian berupa sakit itu.

Mulanya Yu Siti bersikeras menolak pemberian uang dari para pelanggan setia nasi gudegnya yang ternyata memiliki hati mulia bak malaikat. Tapi, tetap saja, pada akhirnya Yu Siti tak kuasa untuk menolak. Karena semua pelanggan setianya itu mengatakan benar-benar tulus ikhlas ingin membantu dan berharap kesehatan Yu Siti lekas pulih dan sesegera mungkin bisa kembali berjualan nasi gudeg lagi.

***

Seminggu berselang. Akhirnya Yu Siti kembali muncul—dengan senyum dan keramahan khasnya saat melayani para pelanggan setianya—di warung beratap anyaman bambu di perempatan jalan besar yang salah satunya menghubungkan ke kawasan Malioboro itu.

Dan seperti sebelum-sebelumnya, warung Yu Siti kembali ramai diserbu para pembeli dari berbagai daerah yang telah lama merindui nasi gudeg, ayam opor, sambal goreng krecek, serta teh gula batu hasil racikan jemari tangannya yang mulai terlihat mengeriput itu.

***

Hingga, pada suatu pagi yang bergulung gelembung mendung serta bertabur rerintik gerimis, warung gudeg Yu Siti kembali tutup. Hei, jangan-jangan Yu Siti absen tak berjualan karena jatuh sakit lagi sebagaimana tempo hari. Aduh, gawat, jangan-jangan Yu Siti kena tifus lagi. Iya, pasti tifusnya kumat lagi, tuh. Ya, Tuhan, kasihan sekali Yu Siti setiap hari meracik gudeg sendirian hingga jatuh sakit seperti itu. Pasti Yu Siti sangat kecapekan, bikin nasi gudeg tiap hari tanpa menyewa jasa rewang hingga jatuh sakit lagi. Dan masih banyak lagi praduga senada dari para pelanggan setia nasi gudeg Yu Siti waktu itu.

Dan, tak menunggu berganti hari, para pelanggan setia gudeg Yu Siti bersepakat untuk menyambangi rumah Yu Siti. Mereka begitu mengkhawatirkan kondisi Yu Siti. Tapi, begitu tiba di rumah kayu Yu Siti, mereka langsung dibikin terperangah. Rumah kediaman Yu Siti dan juga beberapa rumah warga lainnya telah rata dengan tanah. Menurut penuturan beberapa warga yang tengah memulung sampah di tempat itu, katanya, kemarin telah terjadi penggusuran besar-besaran atas perintah pemda kabupaten. Entah, tak ada yang menahu dengan alasan penggusuran permukiman yang menjadi tempat kelahiran Yu Siti itu. Pula, tak ada satu pun warga yang menahu dengan keberadaan Yu Siti.

Dan, setelah tragedi penggusuran yang tragis itu, warung gudeg Yu Siti tampak lengang. Sepi tanpa satu pun warga yang berbondong mengantre sebagaimana hari-hari sebelumnya. Kabar keberadaan Yu Siti pun kian mengabur terpintal pusaran angin. Sungguh, benar-benar tak ada yang menahu Yu Siti tinggal di mana.

Bahkan, tak mencapai masa dua minggu pasca penggusuran permukiman itu, warung beratapkan anyaman daun pohon kelapa yang menjadi tempat berjualan nasi gudeg Yu Siti tiba-tiba saja lenyap. Raib. Entah siapa yang telah merobohkannya.

***

Dua tahun berselang, terlihat pemandangan baru di perempatan jalan besar yang salah satunya menghubungkan ke kawasan Malioboro itu. Para warga yang sebelumnya datang berbondong bahkan rela mengantre cukup lama demi menikmati nasi gudeg Yu Siti, kemudian beramai-ramai menyambangi kafe-kafe dan juga resto-resto siap saji yang menawarkan beragam jenis masakan khas dari luar daerahnya sendiri.

O, sebentar. Sebentar saya ralat. Bukan. Bukan dari luar daerah malah. Tapi makanan khas luar negeri yang teramat sulit lidah-lidah kita—yang orang Jawa asli—untuk melafazkan nama-nama makanan dan minumannya yang menggunakan bahasa-bahasa asing itu.

Kawan, kini, tak ada lagi cerita tentang nasi gudeg Yu Siti yang rasanya uenak tenan itu. Bahkan, lidah-lidah warga kini telah mulai melupa tentang bagaimana rasa manis dan gurihnya nasi gudeg, ayam opor, sambal goreng krecek, serta manisnya teh gula batu hasil racikan jemari tangan Yu Siti.

 

Puring Kebumen, 2011-2015

 

[1] Enak banget.

[2] Waduh, mohon maaf ya, nasi gudegnya sudah habis.

[3] Mohon maaf dan harap dimaklumi, ya. Buat semua pelanggan, tidak diperkenankan membeli nasi gudeng melebihi dua porsi. Cukup sekian dan terima kasih.

Sam Edy Yuswanto
Latest posts by Sam Edy Yuswanto (see all)

Comments

  1. EDI AH IYUBENU Reply

    Dasar sam edy!

  2. Muhammad Rasyid Ridho Full Reply

    joush tenan iki!

    • Andi Prayoga Reply

      Tulisan maa sam edi memang jos

  3. Naelil Maghfiroh Reply

    Baca cerpennya bikin laperrr hhu

Leave a Reply to Naelil Maghfiroh Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!