Harum Rambut Nenek

SEPULUH desa di sekitar wilayah rumah Kakek ditenggelamkan. Tak bakal bisa kulacak rumah joglo kayu jati, pendapa, empat kamar, lumbung padi, dan dapur dengan tungku kayu. Rumah Kakek di lereng timur pegunungan. Pelatarannya luas, dengan gabah terhampar dijemur terik matahari. Ditanam pohon mangkokan, pandan, bunga kenanga, dan jeruk purut di sudut pelataran. Di ladang sekitar pelataran bertumbuhan pohon kelapa menjulang. Dari pelataran rumah Kakek dapat kulihat irigasi yang bening, sawah berundak-undak, dan sungai berkelok di dasar lembah. Dari pelataran itu aku leluasa memandangi pegunungan barat sungai yang jarang penghuninya.

Pagi hari aku menyapu pelataran rumah Kakek. Lelah, aku duduk di atas batu. Menyaksikan Paman memanjat pohon kelapa dan menjatuhkan buah-buahnya yang kecokelatan. Nenek memetiki daun mangkokan, pandan, bunga kenanga, dan buah jeruk purut.

“Untuk apa Nenek memetiki bunga kenanga?” tanyaku pada Kakek yang duduk di batu besar, dan aku duduk di batu kecil. Kami berhadap-hadapan.

Kakek termenung. Mengusap-usap kepala yang gundul. Mengisap rokok cengkih lintingan. “O, itu kebiasaan Nenek membuat minyak cem-ceman. Begitu kebiasaannya merawat rambut yang panjang.”

“Itu kebiasaan Nenek sejak gadis?”

“Tidak. Ia merawat rambutnya dengan cara itu setelah nikah denganku.”

Aku meninggalkan Kakek. Mengumpulkan buah-buah kelapa yang dipetik Paman, dan membawanya ke dapur. Paman mengupas buah-buah kelapa itu dengan slumbat baja. Buah-buah kelapa yang dikupas dibawa Paman ke pasar pada subuh dini hari, bersama perempuan-perempuan desa yang menjual sayuran. Nenek mengaduk-aduk genangan santan kelapa di wajan besar. Pelan-pelan santan menyusut, gemericik, hingga menggenang minyak goreng yang bening. Tercium harum blondo–endapan ampas minyak kelapa. Aku berjongkok di depan tungku kayu, mengatur api sambil berharap Nenek memberi blondo yang lembut, harum, tercecap gurih-manis.

Harum blondo yang dipisahkan dari minyak kelapa di wajan menggoda seleraku. Aku makan blondo sambil menunggui Nenek menggoreng singkong dengan minyak kelapa yang jernih, dan menyuguhkan untuk Kakek. Kulihat Nenek membuat minyak rambut dengan irisan halus empat helai daun mangkokan, dua helai daun pandan, empat kuntum bunga kenanga, dan satu buah kulit jeruk purut yang direndam sepuluh sendok minyak kelapa. Nenek menyebut ramuan itu minyak cem-ceman. Tiga hari tiga malam minyak cem-ceman disimpan dalam mangkuk kecil, diletakkan di sudut atas lemari makan. Tiap pagi minyak cem-ceman diusapkan pada rambut Nenek yang panjang bergelombang. Rambutnya sudah beruban, tetapi tampak terawat rapi, dan selalu harum.

Aku meninggalkan tungku ketika Nenek selesai memasak ikan yang dikail Paman dari sungai. Ikan dibumbui pedas bersantan, untuk makan siang Kakek. Kakek sangat lahap memakan ikan pedas bersantan kental itu, dengan nasi dari panen sawah sendiri.

***

Orang-orang berdatangan memenuhi pelataran rumah Kakek. Mereka duduk berpencar hingga mencapai bawah pohon kelapa. Aku berada di sisi Kakek yang terdiam di pendapa. Duduk menghadapi meja marmer bundar, dan membiarkan singkong goreng kesukaan Kakek menjadi dingin, tak disentuh sama sekali. Segelas kopi hitam pahit dan sekeping gula aren di lapik masih utuh. Ayah mendekati Kakek, bertanya dengan tenang, “Nenek kita kubur di mana?”

Kakek memandang jauh ke masa depan yang samar dengan tatapan menahan genangan air mata. “Makamkan ia di kuburan desamu. Biar mudah anak cucu ziarah kirim doa.”

Pagi itu iringan jenazah Nenek–yang meninggal tanpa sakit, selepas subuh–menjauhi pelataran rumah. Kakek tidak mengikuti pemakaman Nenek di kuburan desaku yang terletak di tepi jalan raya. Ia berdiri di depan pintu kayu jati pendapa yang mendadak terasa kosong. Aku menemani Kakek. Lama lelaki tua keriput itu memandangi jenazah istrinya. Tamu-tamu sudah meninggalkan rumah besar itu. Pelataran dan pendapa juga sudah senyap.

“Aku tak pernah menyangka, akan ditinggal istri seperti ini,” kata Kakek, dengan suara yang bergetar. “Ia tak pernah marah. Ia pandai mengumpulkan uang gajiku sebagai pegawai kecamatan, dan membeli sawah ladang. Ia suka menanam pohon kelapa. Buah kelapa yang tua dibuat minyak goreng.”

Lama Kakek termangu di depan pintu, dan baru berkenan duduk kembali menghadapi meja marmer kesukaannya. Mencecap kopi pahit dan menggigit gula aren. Singkong goreng–yang dimasak dengan minyak buatan Nenek–diambil Kakek, digigitnya, dikunyah-kunyah pelan, seperti ingin mengenang kembali seluruh kehadiran Nenek di rumah besar ini.

“Singkong goreng ini enak, dimasak dengan minyak bikinan Nenek,” kata Kakek. “Lalu, siapa yang akan masak minyak goreng?”

“Ada Bibi, istri Paman, yang bisa membuat minyak goreng,” balasku.

“Tak akan seenak buatan Nenek.”

***

Di dapur masih tercium aroma blondo, suara gemericik minyak kelapa dalam wajan yang dipanggang api kayu di atas tungku. Bibi–istri Paman, tinggal tak jauh dari rumah Kakek–yang memasak minyak kelapa. Bibi menggoreng singkong dan disuguhkan pada Kakek. Kopi pahit gula aren masih utuh di meja marmer. Kakek mengisap rokok cengkih lintingan. Di pendapa itu Kakek masih seperti dulu, duduk menikmati kopi dan singkong goreng dengan rasa sepi, meski aku ada di sisinya.

“Ketela goreng ini tak seenak buatan Nenek yang gurih dan renyah,” kata Kakek, seperti ingin mengenang keindahan Nenek. “Selama menjadi istriku, Nenek tak pernah marah. Ia marah ketika aku memuji rambut istri camat yang indah. Rambut itu diolesi minyak cem-ceman.”

“Apa memang Kakek kagum pada istri camat?”

Pendapa itu senyap ketika Kakek lama terdiam, menyingkap kenangan masa lampau. “Nenek meninggalkan rumah ketika tahu, aku pulang kantor, dan rambutku tersisir rapi diolesi minyak cem-ceman. Aku mesti menjemput Nenek ke rumah mertua. Meminta maaf, dan berjanji akan menjaga perasaannya.”

“Apa yang dilakukan Kakek terhadap istri camat?”

“Suatu saat akan kuceritakan padamu,” kata Kakek. “Sejak saat itu, Nenek menanam pohon mangkokan, pandan, kenanga, dan jeruk purut. Ia rajin membuat minyak kelapa, dan membuat minyak cem-ceman. Ia tak mau kehilangan suami.”

Kulihat pohon mangkokan, pandan, kenanga, dan jeruk purut mulai ranggas di sudut pelataran. Tak seorang pun yang menyiraminya.

***

AKU dan istriku ziarah ke makam Kakek dan Nenek. Aku masih ingat Kakek sangat kesal ketika dikumpulkan di balai kelurahan, mendengar rencana desa akan ditenggelamkan sebagai bendungan. Kakek meninggal saat orang-orang asing dan polisi menyusup desa. Aku menanam pohon bunga kenanga di kaki makam Kakek dan Nenek. Pohon bunga kenanga itu kurawat, sesekali kupangkas bila tumbuh terlalu rimbun, dan kusiram saat kemarau panjang. Aku masih mengingat keharuman rambut Nenek yang selalu diusap minyak cem-ceman.

Pagi itu aku dan istriku mengunjungi bendungan yang menggenangi sepuluh desa di sekitar wilayah Kakek. Air sungai yang bening itu dibendung di antara dua pegunungan barat dan timur. Airnya melimpah kebiruan, menenggelamkan seluruh kenangan masa silamku mengenai Kakek dan Nenek. Ayah dan Paman sudah menjual seluruh warisan: rumah, ladang, dan sawah. Paman dan Bibi pindah ke desa yang lebih pelosok, jauh dari waduk.

Aku merindukan rumah Kakek. Kuajak istriku naik perahu bermesin.  

Mengarungi bendungan dengan perahu bermesin, aku kembali pada kenangan masa lalu. Wajah Kakek menggenang di permukaan bendungan, di antara buih air yang terbelah perahu mesin. Wajah Nenek dengan aroma pandan dan bunga kenanga pada rambutnya, kembali kulihat sedang mengaduk-aduk santan di atas wajan dengan api kayu yang menyala.

Angin mengibaskan rambut istriku yang melewati bahu.

“Apa kau tak ingin merawat rambutmu dengan minyak cem-ceman seperti Nenek?” tanyaku pada istri.

Dia terbelalak. Membenahi anak-anak rambutnya yang dikibaskan angin. “Apa? Minyak cem-ceman untuk merawat rambutku? Kurang kerjaan!”

Tentu aku tak bisa bercerita pada istriku, bila Nenek merawat rambutnya dengan minyak cem-ceman setelah ia tahu: Kakek memiliki anak perempuan dengan istri camat. Dari suaminya, istri camat tak melahirkan anak. Rahasia kecantikan istri camat, dalam cerita Kakek, pada rambutnya yang selalu diusap minyak cem-ceman. Aku tertawa mendengar istriku tak menyukai minyak cem-ceman. Ia cucu kesayangan istri pensiunan camat yang masih kelihatan cantik.                       ***

Pandana Merdeka, Juli 2022

S. Prasetyo Utomo
Latest posts by S. Prasetyo Utomo (see all)

Comments

  1. S. Prasetyo Utomo Reply

    Terimakasih sudah memuat cerpen saya

    • A. Rizqy Reply

      Keren, Pak. Saya auto kaget liat kalimat terakhir. Jadi mereka sepupuan toh…

  2. S. Prasetyo Utomo Reply

    Kejutan cerpen ini memang pada kalimat terakhir: membongkar rahasia percintaan Kakek dengan istri camat
    Itulah sebabnya Nenek mengharumkan rambut minyak cem-ceman sebagaimana dilakukan istri camat sebagai ekspresi kecintaannya pada suami.

    • Alifa Puteri Reply

      membuat saya kaget. akhir dari cerita ini. keren

      Bisa diajari trik menulis cerpen kah bapak…

  3. Pid Reply

    Sangat memukau. Saya kira kakek memiliki anak perempuan dari istri pak camat sudah menjadi twist. Ternyata kalimat terakhir menjadi twist yang lebih mengejutkan. Salut buat bapak.

  4. Pipit Bustria Reply

    Sungguh cerita yang luar biasa, aku kagum terhadap Nenek.
    Sangat keren, Pak.

Leave a Reply to Alifa Puteri Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!