Fahmara Terapung di Laut Aegea

OMBAK Laut Aegea telah mengapungkan tubuh Fahmara, gadis berumur 20, dalam gelap malam. Ia tak bisa berenang. Terpisah dari Ammar, kekasihnya, dan teman-teman yang berjejal menaiki perahu karet bermotor yang terlalu sarat muatan, tenggelam di tengah perjalanan dari kota tua Ayvalik. Semua penumpang terpencar di laut. Terombang-ambing. Tiap orang berserah diri pada pelampung. Gadis itu tak melihat daratan. Di atasnya lengkung langit malam, kerlip bintang-bintang. Di bawahnya, laut dengan kedalaman tak terduga. Ia tak tahu akan terseret arus ombak ke pantai, atau tenggelam. Penumpang perahu karet bermotor – imigran gelap asal Suriah – makin jauh dari pandangan. Tak diharapkannya lagi pertolongan Ammar, lelaki 22 tahun, yang melindunginya semenjak meninggalkan Suriah, memasuki Turki.

Fahmara masih ingat janji Ammar untuk membawanya dari kota tua Ayvalik menyeberang ke Pulau Lesbos di Yunani dengan perahu karet bermotor. Dari Lesbos naik feri ke Athena, dilanjutkan dengan kereta menuju perbatasan Makedonia. Dari tempat ini mereka akan berjalan kaki ke Serbia, dan berangkat dengan bus ke Hungaria. Dengan jasa penyelundup manusia, mereka bisa mencapai negara yang ingin ditempati, untuk bertarung nasib. Tetapi belum lagi mencapai Pulau Lesbos, kebocoran perahu karet telah menenggelamkan mereka.

Terombang-ambing air laut, dalam dingin ombak, Fahmara tidak bisa berenang. Ia teringat akan ayah dan ibunya yang masih bertahan di Damaskus, dalam kancah pertempuran yang setiap saat akan merenggut nyawa mereka. Kakak lelakinya yang bertempur melawan penguasa, telah tewas di medan perang. Kini ia terapung-apung di tengah Laut Aegea, menanti keajaiban yang akan menyelamatkan jiwanya. Ia membayangkan, tubuhnya akan tenggelam, dan kembali terapung sebagai mayat yang terdampar di pantai. Mungkin saja ia akan dibawa arus ombak ke pantai Ayvalik, atau bisa juga dibawa ke pantai Pulau Lesbos.

Ketika tubuh Fahmara tak tahan lagi terapung-apung dan tak bisa bergerak untuk menyelamatkan diri, ia melihat Saad susah payah berenang mendekatinya. Pemuda itu terus menjaganya. Menahan tubuhnya agar tak terseret arus ombak. Tubuh Fahmara melemah dan Saad mendampinginya. Menjelang pagi, perahu nelayan mendekat ke arah mereka. Saad mengangkat tubuh Fahmara ke perahu. Barulah ia naik ke perahu yang penuh dengan ikan tangkapan. Fahmara tergeletak pingsan. Tak lagi tahu apa yang dilakukan nelayan dan Saad.

Gadis itu terbangun di sebuah kamar yang asing. Mengenakan pakaian istri nelayan. Tubuhnya lengket garam. Sepasang mata Saad dan istri nelayan menatapnya hangat. Mereka tersenyum. Saad meminumkan cay[1] beberapa teguk, menyuapkan potongan roti dan menemen[2].

“Kau berada di rumahku,” kata istri nelayan, “Kami tinggal di Ayvalik.”

“Hanya kami yang selamat?”

“Nelayan lain telah menolong teman-temanmu.”

***

YANG dipikirkan Fahmara pertama kali adalah toko roti Orhan Fatih. Bersama Saad, ia bekerja di toko roti itu. Setelah menyusup dari perbatasan Suriah, ia mengembara mencapai Ankara, memperoleh pekerjaan di toko roti Orhan Fatih. Ammar memperoleh pekerjaan di restoran. Fahmara sudah merasa hidup tenang di toko roti, sampai mendapat bujukan Ammar untuk meninggalkan Turki, mencari tanah baru yang memberinya kesempatan bagi imigran gelap asal Suriah untuk hidup lebih makmur. Ketika Fahmara terapung-apung di tengah laut, ia tak memiliki harapan apa pun. Tetapi kini setelah ia terbaring lemah di rumah nelayan, ia berpikir untuk kembali ke Ankara, bekerja di toko roti Orhan Fatih.

 Sehari setelah Fahmara diselamatkan nelayan, tubuhnya mulai bertenaga. Ia mengajak Saad berjalan-jalan menuju pantai. Ia ingin bertemu nelayan-nelayan lain, yang barangkali menyelamatkan teman-temannya Ia ingin mendengar kabar Ammar. Tetapi ia hanya menatap Laut Aegea terbentang dengan burung-burung camar gesit mencelupkan kepalanya dalam debur ombak, meyambar ikan dengan paruhnya. Burung elang laut menyambar ikan dengan ketajaman cakarnya. Lama termangu di pantai, Fahmara tak menemukan kabar apa pun mengenai Ammar dari para nelayan. Ia ingin segera kembali bekerja di toko roti Orhan Fatih.

Terasa berat bagi Fahmara untuk barpamitan pada nelayan dan istrinya. Ia tak tega meninggalkan mereka.

“Tinggallah di sini bersama kami,” kata istri nelayan. “Suamiku sangat senang bisa menyelamatkan kalian. Ia pikir, kalian dikirim Tuhan untuk kami yang sangat mendambakan anak.”

“Saya mesti kembali ke Ankara,” kata Fahmara. “Di sana kami bisa memperoleh nafkah.”

 “Kalau kau tinggal bersama kami, suamiku akan mencari kabar tentang kekasihmu itu. Ia bisa melacaknya sampai ke Pulau Lesbos. Di sana banyak pengungsi dari Suriah yang mendirikan tenda!”

Bimbang hati Fahmara, ia mesti memutuskan, “Terima kasih. Izinkan kami kembali ke Ankara. Di sana kami bisa kerja.”

***

SETAHUN setelah Fahmara kembali bekerja di toko roti Orhan Fatih, ia makin akrab dengan Saad. Sebelum mengenal Saad di toko roti Orhan Fatih, Fahmara bermimpi bertemu pemuda itu. Tiga kali ia bertemu pemuda itu dalam mimpi. Ia tak bisa mengelak ketika Orhan Fatih menyarankan agar ia menikah dengan Saad – mereka sudah memperoleh kewarganegaraan Turki. Ia belum sepenuhnya melupakan Ammar yang tak pernah diketahui kabarnya. Ia berusaha menerima Saad dalam hidupnya – seorang penari sema yang selalu pentas di Mevlana Cultural Centre semasa tinggal di Konya.

Tiga hari lagi Fahmara menikah dengan Saad. Mereka akan tinggal di apartemen. Fahmara tidak pernah menduga bila sore itu Ammar muncul di toko roti Orhan Fatih. Ia memandangi lelaki itu dengan takjub, kaget, dan gugup.

            “Kenapa kau tak pernah mencoba mencariku?” tanya Fahmara, menumpahkan perasaan kesal dan marah.

Masih seperti dulu, Ammar selalu berbicara dengan nada yang meyakinkan, “Aku mencarimu setelah diselamatkan nelayan Pulau Lesbos. Di sana aku bertemu dengan para pengungsi Suriah yang mendirikan tenda.”

“Kau menetap di Lesbos?”

“Bersama sembilan orang, aku meninggalkan pulau itu, naik feri ke Athena, dilanjutkan dengan kereta menuju perbatasan Makedonia.”

Fahmara terdiam, memandangi Ammar. Kelopak matanya berkejap-kejap.

“Di daerah perbatasan Makedonia kami berlari sepanjang jalur rel kereta menuju hutan. Dari Makedonia kami menuju Serbia, dan ditangkap polisi. Kami dianiaya, dilepas lagi agar meninggalkan Serbia dan menuju wilayah perbatasan Hungaria.”

Hati Fahmara bergetar, digoncang gemuruh perasaan yang membangkitkan kenangan-kenangan masa silam: menempuh perjalanan sebagai imigran gelap.

“Di hutan Hungaria kami tersesat selama dua hari tanpa air dan makanan. Kami tertangkap polisi di kota Szeged. Mereka memperlakukan kami seperti binatang. Kami kabur menggunakan jasa penyelundup. Dengan mobil kami melakukan perjalanan melalui Austria dan berakhir di Jerman.”

Fahmara masih terpaku dengan gemetar dan tak lagi bisa bicara.

“Kami sampai di Freyung, dan mencari pekerjaan di kota itu,” kata Ammar. “Baru sekarang aku bisa melacakmu ke sini. Mari, kita nikah dan tinggal di Freyung.”

***

MALAM ituFahmara merenung di dalam kamarnya, di lantai dua toko Orhan Fatih. Ia ditikam kebimbangan. Tubuhnya rapuh. Ia seperti terapung-apung di Laut Aegea. Tak menemukan tempat berlabuh. Ia teringat kesetiaan Saad yang menjaganya di Laut Aegea sampai datang perahu nelayan menyelamatkan mereka. Nelayan itu membawa pulang Saad dan Fahmara yang lelah, dingin, dan putus asa.

            Orhan Fatih mengetuk pintu kamar Fahmara. Lelaki setengah baya itu paham benar bahwa Fahmara dalam goncangan batin yang dahsyat. “Aku sudah bicara dengan Saad. Ia tak mau memaksa kau nikah dengannya. Ia memberi kebebasan padamu untuk memilih, nikah dengan dia atau Ammar.”

“Boleh saya nikah dengan Ammar?” suara Fahmara bimbang.

“Kau boleh nikah dengan kekasihmu itu,” kata Orhan Fatih. “Tapi, coba pikir siapa lelaki yang mendampingimu saat kau terapung-apung di laut?”

Sepasang mata Fahmara yang bulat bening itu terbelalak. “Lalu, saya mesti nikah dengan siapa?”

“Gunakan hatimu untuk memilih, siapa di antara mereka yang tak meninggalkanmu saat kau terancam maut,” tukas Orhan Fatih.

Tenang, Fahmara bangkit dari duduk termenung. Langkahnya pelan menuju ruang tamu di lantai dua toko roti Orhan Fatih. Di ruang tamu itu Ammar duduk mencangkung. Lelaki itu mengajaknya menikah, dan meninggalkan Ankara, menetap di Freyung.

Fahmara duduk di hadapan kekasih masa silamnya, menahan kegugupan untuk bicara.

 ***

 Ankara, Juli 2022

 Pandana Merdeka, Desember 2022


[1] Teh Turki.

[2] Terbuat dari telur, garam, bawang, oregano, cabai manis, dan merica.

S. Prasetyo Utomo
Latest posts by S. Prasetyo Utomo (see all)

Comments

  1. r.y Reply

    Kekasih sejati adalah orang yang menemanimu saat berada di titik terendah dan tak berdaya dan yang memperjuangkanmu agar tetap hidup. Ingin kubisikkan ini kepada Fahmara.. Keren, Pak..

  2. Sekarmelati Reply

    Cerita yang menyenangkan untuk dibaca…

  3. mit Reply

    kebimbangan selalu punya caranya untuk menemukan jalan. semoga masih ada rupa-rupa macam Orhan Fatih untuk memberi jalan.

  4. Eva Zulva Fauziah Reply

    Aku tidak membayangkan jika aku adalah Fahmara. Karena aku akan lebih memilih sendiri, ketimbang memutuskan pilihan yang nantinya akan menyakiti pihak lain. Aku tahu, ini adalah pemikiran yang kelise, but aku tak mampu memutuskan pilihan ketika keduanya berperan baik di ingatanku.

  5. nmeu Reply

    Penyampaian cerita yang sangat apik

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!