Iblis Menjelma Senapan Berburu

TANGAN Saad gemetar saat memegang senapan berburu yang ditawarkan kepadanya. Ia tak berniat membeli sebuah senapan berburu, tetapi bisikan dalam hatinya sangat kuat, saat melihat senapan itu dibawa Zahid, rekan imigran gelap dari Suriah. “Kau akan memerlukan senjata ini, untuk bertahan dari aniaya orang!”

Sepasang mata Zahid yang tajam meyakinkan Saad. Ia mulai mempengaruhi Saad untuk memiliki senapan berburu. Terlintas dalam ingatan Saad ketika dianiaya anak-anak muda di Ankara, dalam perkelahian di toko roti Orhan Fatih. Saat itu ia menjadi pekerja di toko roti. Begitu juga ketika ia pindah ke Konya, ancaman pembunuhan itu terjadi. Ia pulang dari menari sema di Mevlana Cultural Centre, Konya, hampir saja mati ditembak senapan berburu Anka. Tembakan senapan berburu itu meleset. Tetapi, tak urung, Orhan Fatih yang berjalan di sisinya, terkena tembakan senapan berburu itu. Bahu kanan Orhan Fatih tertembus peluru.

“Aku sudah beberapa bulan kehilangan pekerjaan, lagi butuh uang. Belilah senapan ini!” pinta Zahid, kali ini agak mengiba. “Kau bisa melindungi diri dengan senapan ini.”

Sempat bimbang, Saad meraih senapan berburu yang dingin. Senapan itu seperti tak mau lepas dari tangannya. Ia mengeluarkan dompet, dan membayar lunas harga senapan berburu. Betapa gembira wajah Zahid, menyalami Saad, dan buru-buru meninggalkan apartemen. Menghilang dalam gelap malam, meninggalkan Saad yang terus mengamat-amati senapan berburu itu.

Tengah malam Saad menyusuri jalan kota yang senyap, membawa senapan berburu, mencari anjing liar. Ketika dilihatnya seekor anjing liar menyeberangi jalan, ia membidikkan senapan berburu. Dadanya berdetak kencang. Ia menguasai diri. Melepaskan tembakan. Anjing liar itu berlari. Ia kembali mencari-cari anjing liar. Membidik. Melepaskan tembakan. Anjing liar itu menggelepar. Melengking-lengking sekarat. Terdiam.

***

Bertemu pensiunan polisi di apartemennya, Saad merasakan iba. Istri pensiunan polisi itu meninggalkan apartemen, kabur dengan seorang lelaki setengah baya, dan mereka berladang gandum di wilayah Pamukkale. Anka, anak lelaki pensiunan polisi dipenjara setelah berusaha menembak Saad di pelataran Mevlana Cultural Centre, karena benci terhadap imigran gelap. Tembakan itu mengenai bahu kanan Orhan Fatih, yang berjalan di sisi Saad. Orhan Fatih tak meninggal, tetapi Anka menjalani hukuman, karena niat pembunuhan yang direncanakan.

Akila, anak gadis pensiunan polisi itu, pada mulanya menambat hati Saad ketika mereka tinggal di Ankara. Tetapi ketika Anka menembaknya dengan senapan berburu di pelataran Mevlana Cultural Centre, ia berhenti bermimpi mendekati Akila. Apalagi kini Akila telah bekerja sebagai pramugari penerbangan internasional, tinggal di Istanbul, tak ada lagi niat di hatinya untuk menyunting gadis itu.

Menenteng bungkusan etli ekmek, roti daging mirip pizza, Saad menengok pensiunan polisi. Alangkah senyap apartemen yang ditempati pensiunan polisi, hanya terdengar samar suara musik pengiring tari sema. Pensiunan polisi itu sedang menari sema, seorang diri.

“Apa kau tak ingin mengajak pulang istrimu?” tanya Saad pada pensiunan polisi, hati-hati, tak ingin menyinggung perasaan lelaki tua itu.

“Aku sudah lama melupakannya,” kata pensiunan polisi. “Ia sudah menemukan kehidupannya sebagai petani gandum di kawasan Pamukkale. Aku mesti merelakannya.”

“Bagaimana mungkin seorang lelaki berani melarikan istrimu, dan kau membiarkan begitu saja?”

“Lalu, apa yang mesti kulakukan?”

“Menembak lelaki kurang ajar itu!”

“Seluruh pengabdianku sebagai polisi, akan gugur, bila aku menembak dia. Aku akan dipenjara, sampai ajal menjemput.”

“Kau tak merasa terhina dengan kepergian istrimu?”

Lama pensiunan polisi itu merenung. Memandangi Saad. “Mengapa mesti menjaga kehormatan diri dengan pembunuhan?”

***

Melakukan perjalanan ke kawasan ladang gandum Pamukkale, Saad terkesima dengan pemandangan bukit-bukit serupa hamparan kapas. Angin menghembus dari arah bukit-bukit batu kapur dengan sumber air panas yang kaya mineral. Terasa angin wingit dari kota tua Hierapolis mencapai ladang gandum.

Ini kali ketiga ia mengunjungi Pamukkale. Ia mencari-cari dan menemukan ladang gandum istri pensiunan polisi dan kekasihnya. Sebagai seorang lelaki muda, ia geram pada lelaki kekar setengah baya yang telah membawa kabur istri pensiunan polisi. Saad membungkus senapan berburu dengan kain, agar tak mencurigakan pandangan siapa pun. Ia ingin mencoba ketangkasannya menembak dengan senapan berburu. Tidak hanya anjing liar yang ditembaknya. Ia ingin menembak lelaki setengah baya, kekasih istri pensiunan polisi. Senapan berburu yang dibawanya itu seperti bisa bercakap-cakap, dan mengajaknya untuk menemukan sasaran tembak.

Duduk di atas traktor pemanen gandum itulah lelaki setengah baya yang bakal ditembak Saad. Ia mencari tempat yang cukup nyaman untuk membidik dan menembak lelaki setengah baya itu. Ia seperti hilang kesadaran. Mengarahkan senapan berburu ke kepala lelaki setengah baya yang terus bergerak bersama traktor pemanen gandum. Angin musim panas berpusar di sekitar ladang gandum. Tubuh Saad menggigil. Ia tak bisa menghentikan gerakan tubuhnya. Bidikan ke arah kepala lelaki setengah baya itu sudah tepat. Ia menembak. Lelaki setengah baya di atas traktor pemanen gandum terkulai.

Tangan Saad gemetar. Ia membuang senapan berburu. Berlari dalam senyap ladang gandum. Ia merasa yakin tak seorang pun melihatnya menembak lelaki setengah baya itu. Angin berhenti berpusar. Saad terus berlari. Ia mesti pulang kembali ke Konya. Empat jam perjalanan dari Pamukkale ke kota tempat tinggalnya. Nanti malam ia mesti pentas tarian sema di Mevlana Cultural Centre.

***

“BAGAIMANA mungkin kau nekat menembak seseorang, tanpa memikirkan keselamatan dirimu?” tanya Orhan Fatih yang menjenguk Saad di penjara. Lelaki setengah baya, pemilik toko roti di Ankara, telah melakukan perjalanan jauh dengan mobil sedannya untuk mencapai Pamukkale. Dulu Saad pernah bekerja pada toko roti Orhan Fatih, sebelum berpindah ke Konya, menjadi tenaga kebersihan Mevlana Museum. Saad melakukan penembakan di kota Pamukkale. Ia diburu polisi Pamukkale sampai Konya. Ia ditangkap, diadili, dan dipenjara di kota kecil ini.

“Senapan berburu yang kubeli seperti memiliki roh yang membisik padaku setiap saat, untuk menembak seseorang,” balas Saad, dengan gugup. “Aku seperti telah diperalatnya untuk membunuh seseorang.”

“Kau seorang imigran gelap, mestinya tak melakukan kriminal serupa ini. Beruntung lelaki yang kau tembak tidak mati. Ia hanya terkena bahu kirinya, dan nyawanya dapat diselamatkan.”

Lama Saad menunduk, merenung, dan mengangkat kepalanya. “Tak ada niatku membunuh orang sebelum memiliki senapan berburu itu. Iblis telah merasuk ke dalam laras senapan itu dan mempengaruhi jiwaku.”

“Kau tentu punya alasan yang dapat dinalar orang,” kata Orhan Fatih,

“Aku tak tega melihat pensiunan polisi hidup seorang diri di apartemen. Ditinggal kabur istrinya.”

“Mestinya kau tak perlu terlibat persoalan pensiunan polisi itu.”

“Aku tak bisa melihatnya dikhianati begitu rupa,” balas Saad. “Aku ingin istrinya kembali pada pensiunan polisi.”

“Aku tak pernah menduga kalau kau akan melakukan perbuatan senekat ini,” kata Orhan Fatih. Ia tak pernah membayangkan, bagaimana seorang imigran gelap berani melakukan penembakan dengan senapan berburu, demi kebahagiaan pensiunan polisi.

“Yang kulakukan kali ini seperti di luar kendali,” kata Saad, dan dia mengingat peristiwa penembakan di ladang gandum. “Saya seperti melihat roh-roh yang berpusar bersama angin kencang, menyelubungi tubuh lelaki itu. Ketika aku menembak, tak lagi melihat wajahnya. Ia memang tersungkur. Tapi aku tak tahu ia tertembak bahu sebelah kiri.”

“Aku pernah merasakan ditembak dengan senapan berburu, terkena bahu kananku, dan beruntung selamat,” kata Orhan Fatih, mengenang peristiwa ketika ia berjalan di sisi Saad, di Mevlana Cultural Centre. “Aku masih berharap kau akan bekerja padaku, agar aku dapat menjaga keselamatanmu.”

Leluhur Orhan Fatih dulu–sebagai keturunan Ottoman yang terusir dari Turki semasa kekuasaan Ataturk–hidup di Damaskus. Orhan Fatih kembali ke Ankara, ketika pemerintah menerima keturunan Ottoman menempati Turki. Karena itu, ia ingin melindungi Saad, imigran gelap dari Damaskus – tempat leluhurnya diperkenankan tinggal secara turun-temurun.

“Saya bahagia menetap di Konya,” tukas Saad. “Saya ingin menjadi penari sema yang berhati tenteram, tidak tergoda kebencian.”

Orhan Fatih sempat merasa kecewa dengan keputusan Saad untuk menetap di Konya. Ia segera berpamitan. Meninggalkan penjara. Kembali melakukan perjalanan ke Ankara.

Ditinggal Orhan Fatih, seketika Saad merasakan asing dan kehilangan orang yang melindunginya. Tiap hari ia menanti Zihad, sahabatnya sesama imigran gelap dari Suriah. Tetapi lelaki yang telah menjual senapan berburu itu tak pernah lagi menampakkan diri.

***

Konya, Turki, Juli 2022

S. Prasetyo Utomo
Latest posts by S. Prasetyo Utomo (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!