
Beliau merupakan salah seorang sufi agung yang senantiasa dihormati oleh para sufi yang lain, termasuk oleh Syaikh Abubakar asy-Syibli. Beliau berasal dari Persia. Bermukim dan wafat di Nisapur. Tidak saya temukan referensi yang mencatat tahun kelahiran dan wafatnya. Tapi beliau tetap penting untuk ditulis, minimal untuk saya pribadi, syukur juga kalau bisa bermanfaat untuk orang lain.
Dengan getar rohani yang sangat kuat, beliau menyatakan: “Bersahabatlah dengan Allah Ta’ala. Jika kalian belum sanggup, maka bersahabatlah dengan orang yang bersahabat dengan hadiratNya. Disebabkan oleh berkah persahabatan dengan orang itu, kalian akan sampai kepada Allah Ta’ala.”
Sebagaimana ungkapan-ungkapan para sufi yang lain, ungkapan di atas pastilah tidak muncul semata-mata dari ruang hampa pengucapnya, tapi meluap dari pengalaman rohani yang bersangkutan. Sebab dapat dipastikan bahwa kesufian mereka mutlak dibangun di atas fondasi keteladanan terhadap perilaku-perilaku terpuji Rasulullah Saw.
Berarti dengan demikian, betapa sang sufi telah merasakan terlebih dahulu nikmatnya persahabatan dengan Allah Ta’ala itu. Sebuah persahabatan yang jelas sangat menguntungkan siapa pun yang telah dianugerahi untuk mengalaminya. Sebuah persahabatan yang dapat dipastikan menaikkan derajat orang yang telah merasakannya.
Sebuah persahabatan yang pasti sangat mudah untuk dicerna oleh setiap orang yang telah dianugerahi akal spiritual. Sebuah persahabatan yang akan mengantarkan siapa pun yang telah menempuhnya pada kemuliaan abadi di alam akhirat yang tidak terhingga. Oh, betapa sangat menyenangkan.
Sebuah persahabatan yang tidak saja mengantarkan seseorang pada sebuah kedudukan rohani yang memang sangat didambakan, akan tetapi juga mendorong orang itu pada derajat tertinggi yang menjadikannya sebagai bagian dari segala yang telah diinginkan oleh mereka yang telah sampai pada posisi yang akrab dengan hadiratNya.
Betapa sangat mencengangkan. Salah seorang santri dari mereka yang selama ini merupakan bagian terdepan dari adanya persahabatan dengan sang sufi menyatakan bahwa setiap kali ia menciptakan papan di atas kuburannya dan ia menuliskan nama agung di atas papan tersebut, selalu saja ia kehilangan tulisan itu.
Aneh bukan? Ia menulis lagi dan ia kehilangan lagi. Demikianlah yang terjadi terus-menerus. Sehingga akhirnya ia menanyakan hal tersebut terhadap Syaikh ‘Ali ad-Daqqaq yang kemudian memberikan jawaban dengan informasi bahwa hilangnya papan itu tidak lain merupakan keinginan dari dirinya sendiri, tidak mungkin tidak.
“Si lelaki itu memilih untuk tidak dikenal sama sekali oleh orang lain di dunia ini. Maka Allah Ta’ala juga menyembunyikan akhlaknya setelah kematiannya. Sedangkan engkau menginginkan dia senantiasa nampak setelah kematiannya,” ungkap Syaikh ‘Ali ad-Daqqaq. Itu sama sekali tidak mungkin.
Sama seperti halnya seseorang yang menginginkan adanya musim semi yang datang melengking, sementara dia sendiri hanya bisa berhadapan dengan sebuah zaman yang durja di mana aneka ragam bunga hanyalah merupakan impian belaka. Tidak kunjung menjadi kenyataan. Tidak kunjung menjadi rebutan yang dikhayalkan menjadi barang-barang yang diimpikan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025