Sirep

TURUN dari puncak Jabalkat, berguru pada Ki Gandrung Marsudi, Samsul berjalan dengan dada dibusungkan. Ia menyerap mantra sirep untuk mencuri sapi Suro Kolong. Tiap langkahnya seirama dengan dendam kepada Suro Kolong yang berkali-kali mengalahkan ayahnya dalam adu balap merpati. Tatapan lelaki muda itu sesekali liar, melampiaskan kekesalannya. Dalam saku celana, ia mengantongi tanah kubur Ki Buyut, kakek Ki Gandrung Marsudi, yang dimakamkan di belakang rumah joglo. Tanah itu akan ditaburkan di sekitar rumah Suro Kolong. Mantra sirep akan melelapkan seisi rumah itu. Ia ingin mengulangi perbuatannya yang pernah gagal: mencuri sapi di kandang belakang rumah Suro Kolong. Sapi itu akan dijualnya di pasar hewan.

            Selama berguru di rumah Ki Gandrung Marsudi, Samsul puasa mutih 21 hari. Tubuhnya terasa melemah saat menuruni jalan setapak Gunung Jabalkat, tetapi dendamnya kepada Suro Kolong menguat. Langkahnya goyah memasuki pelataran rumah di Lembah Kelelawar. Ia berpapasan dengan Panji Rangsang, ayahnya, yang cemas melihat betapa pucat wajah anak lelakinya.

            “Apa yang kauperoleh dari Ki Gandrung Marsudi?” tanya Panji Rangsang. Ia ingin anak lelakinya membalaskan sakit hati kepada Suro Kolong yang berkali-kali mengalahkannya dalam adu balap merpati. Sawah ladang sudah habis dipertaruhkannya, jatuh ke tangan Suro Kolong.

“Mantra sirep. Saya dapat menidurkan siapa pun dengan mantra ini,” balas Samsul. “Nanti malam, keluarga Suro Kolong akan tertidur lelap serupa mati. Akan kuambil sapinya yang paling gemuk.”

Sepasang mata Panji Rangsang memancarkan kegembiraan. “Ambil semua kekayaannya. Ia menyebabkan kita bangkrut.”

“Dia akan kehilangan sapinya, tanpa tahu siapa yang mencuri,” kata Samsul, penuh keyakinan. Ia menunggu hari gelap, kelelawar-kelelawar terbang meninggalkan lembah yang rimbun pohon jambu air, mangga, jati, sonokeling, dan munggur.

***

“BERANGKATLAH menjelang tengah malam,” pesan Panji Rangsang kepada anak lelakinya saat malam turun. “Kau mesti hati-hati. Suro Kolong pernah berguru kepada Ki Gandrung Marsudi.”

“Saya tak takut kepadanya,” kata Samsul. “Mantra sirepku akan melelapkannya sampai pagi.”

“Jangan meremehkan orang itu! Kau pernah gagal mencuri sapinya, meski menggunakan aji panglemunan!”

            Tiga orang teman berjudi Panji Rangsang memasuki ruang tamu, duduk melingkari meja dengan permainan kartu. Mereka belum menenggak tuak dan ciu. Samsul tak ingin mengganggu kegembiraan mereka. Ia menanti gelap malam makin pekat, dan orang-orang pulang dari surau. Ia menunggu malam membentangkan kegelapan yang mendebarkan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, lelaki muda itu akan merapal mantra sirep untuk mencuri sapi.

Menjelang tengah malam Samsul meninggalkan rumahnya melalui pintu belakang. Dalam saku celananya tersimpan kantong mori berisi tanah kubur Ki Buyut, yang diambil dari belakang rumah joglo Ki Gandrung Marsudi. Kepergiannya tak ingin diketahui siapa pun, termasuk teman-teman berjudi ayahnya.

Langkah kaki Samsul mendekati ladang jagung di sekitar rumah Suro Kolong. Lututnya gemetar. Ia menyusup batang-batang jagung, memastikan tak seorang pun memperhatikan gerak-geriknya. Tercium harum jagung bakar dari gubuk, tetapi gubuk itu kosong. Tersisa bara redup, abu, dan tongkol jagung bakar.

Tubuh lelaki muda itu goyah. Ia mengambil kantong dalam saku celananya, menebar tanah kubur ke sekitar rumah Suro Kolong, menenangkan kegugupannya. Ia merapal mantra sirep, menunggu di antara jajaran pohon jagung di ladang, lantas mengamati rumah Suro Kolong.

Tepat tengah malam, mantra sirep itu telah menidurkan seisi rumah Suro Kolong. Tak terlintas kelelawar terbang rendah. Tak terdengar suara belalang kecek mengerik. Senyap serupa wingit kuburan.

 ***

BERSEMBUNYI di antara rimbun batang-batang jagung, Samsul mengamati rumah Suro Kolong. Tak lagi terdengar suara batuk-batuk lelaki setengah baya itu. Dengkur lelaki setengah baya itu terdengar dari kamarnya. Samsul masih bimbang. Ia belum berani mendekati kandang sapi di belakang rumah Suro Kolong. Ia tak mau tertangkap oleh lelaki setengah baya itu. Tongkat sonokeling sering kali dibawanya, untuk menghajar orang-orang yang memusuhinya.

Mendekati kandang sapi di belakang rumah Suro Kolong pada tengah malam, Samsul melihat sapi-sapi itu tertidur. Ia tak dapat menyeret sapi yang tertidur setelah terkena mantra sirep. Ia menunggu sapi betina yang paling gemuk terbangun. Ditepuk-tepuknya pantat sapi betina itu. Masih juga sapi itu memejamkan mata. Ia mulai bimbang, takut bila mantra sirep tak lagi berpengaruh pada Suro Kolong. Ia akan tertangkap. Tongkat sonokeling itu akan menghajar tubuhnya bertubi-tubi.

“Ayo, bangun! Kau tak pantas tertidur karena mantra sirepku!” kata lelaki muda dari Lembah Kelelawar itu. “Jangan sampai Suro Kolong terbangun!”

Dalam gelisah, Samsul terus menepuk-nepuk pantat sapi betina yang akan dicurinya. Terkena mantra sirep, sapi betina itu terus mendekam, dengan mata terpejam. Tengah malam lewat. Masih senyap. Tak terdengar suara belalang kecek dan serangga malam.

Embusan angin membawa dingin embun. Samsul mulai cemas, bila sapi betina yang akan dicurinya tak mau bangun. Ia masih menunggu. Tak ingin pulang tanpa sapi betina yang diincarnya.

Dari jauh terdengar suara kokok ayam jantan. Samsul tergeragap. Ia mesti segera membangunkan sapi betina yang terkena mantra sirep. Ia menarik napas lega ketika sapi betina itu membuka kelopak mata, bangkit, dan mengibaskan ekornya.

Cekatan Samsul melepas tambatan tali sapi betina. Ia menyeret binatang itu meninggalkan kandangnya. Sapi betina itu mengikuti tarikan tali kendali yang diseretnya menjauhi kandang. Ia terus melangkah dalam senyap. Tak sekali pun lelaki muda itu menoleh. Ia berjalan menjauhi rumah Suro Kolong. Langkahnya terburu-buru.

 ***

 Samsul tak pernah menyadari, ia menarik tali kekang sapi mengitari rumah Suro Kolong. Ia melangkah berputar-putar di pekarangan rumah dan tak dapat mencapai jalan raya ke pasar hewan. Ia mengelilingi rumah dalam gelap malam. Menjelang pagi terdengar belalang kecek kembali mengerik. Tubuh Samsul terasa lemas. Angin kemarau menjelang pagi mengembuskan aroma asap rokok Suro Kolong. Tiap jengkal tanah pelataran rumah itu menjadi wingit.

Menjelang subuh Suro Kolong berdiri gagah di pelataran rumahnya. Tongkat sonokeling dalam genggaman. Ia melihat lelaki muda dari Lembah Kelelawar menuntun sapi betina yang paling gemuk. Wajah lelaki muda itu menunduk.

Lelaki muda itu terkena tenung. Tak bisa membebaskan diri dari mantra Suro Kolong.

Dengan wajah yang tenang, Suro Kolong menghampiri Samsul. Ia menghantam lelaki muda itu dengan tongkat sonokeling. Tubuh lelaki muda itu menggelepar.

Samsul mengerang, “Izinkan saya pulang!”

“Kenapa kauulangi mencuri sapiku? Siapa yang menyuruhmu?”

“Tak seorang pun menyuruhku mencuri sapi,” tukas Samsul.

“Sekali lagi kaucuri sapiku, nyawamu terancam!”

“Saya tak akan berani.”

Sambil membaca mantra, Suro Kolong menepuk pundak Samsul. Lelaki muda itu terbebas dari tenung. Ia melihat jalan pulang. Bergegas ia menjauhi pelataran rumah Suro Kolong, tertunduk, dan tak berhenti merenung: mengapa justru aku yang terperangkap mantranya?

 ***

 Pandana Merdeka, Agustus 2024

S. Prasetyo Utomo
Latest posts by S. Prasetyo Utomo (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!