Beliau adalah Khawwajah ‘Ali bin Hasan bin Husin al-Kirmani, dari sebuah provinsi bernama Kirman di Iran sekarang. Beliau termasuk sufi mutakhir dari Kirman. Beliau juga memiliki rumah di Kirman, memiliki kesibukan yang agung, mempunyai murid yang banyak, juga memiliki mu’amalah yang terpuji.
Beliau sendiri berprasangka bahwa beliau adalah murid dari Syaikh ‘Ammu al-Kurdi. Dan selama sang guru itu masih hidup, beliau tidak pernah duduk untuk memberikan petunjuk kepada murid-muridnya. Itu adalah sebuah tatakrama yang bagus yang perlu untuk dicontoh oleh siapa pun.
Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam pernah mengatakan bahwa antara Khawwajah ‘Ali bin Hasan dan Syaikh Khalil al-Khazin pernah terjadi “perseteruan”. Syaikh Khalil al-Khazin menulis sebuah tulisan yang berbunyi:
“Engkau dari subuh sampai dhuha memakan bubur dan jenis jamu-jamuan tertentu sehingga engkau menikmati makan setiap hari. Sementara aku dari mulai subuh hingga siang berputar di antara rumah-rumah manusia sehingga mudah bagiku satu suapan bisa menegakkan tulang belakang.
Apakah engkau yang sufi atau aku?” Pertanyaan tentang siapa yang sufi biasanya mengacu kepada yang lebih melarat di antara manusia dan siapa yang lebih bersyukur kepada Allah Ta’ala. Tentu dalam konteks ini kesufian itu lebih tertuju kepada Syaikh Khalil al-Khazin.
Tapi kalau kita menunjuk kepada orang yang lebih bersyukur kepada Allah Ta’ala, boleh jadi kesufian itu lebih tertuju kepada Khawwajah ‘Ali bin Hasan al-Kirmani. Karena setiap orang yang lebih berkecukupan biasanya lebih bersyukur kepada Allah Ta’ala ketimbang yang tidak.
Lihatlah Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili. Beliau adalah orang yang sangat kaya lahir dan batin. Andaikan beliau kencing, dan kencingnya menyentuh batu, batu itu langsung berubah menjadi emas. Menakjubkan bukan? Sangat menakjubkan. Tapi konsepsi tentang emas itu mahal, sudah tidak ada lagi di dalam hatinya.
Yang ada di dalam hati beliau adalah Allah Ta’ala. Semata Allah Ta’ala. Tidak ada apa pun yang lain. Andaikan ada sesuatu yang lain, tentu Allah Ta’ala tidak akan menciptakan batu-batu tersebut sebagai emas-emas yang berharga. Dan karena hati beliau hanya berisi Allah Ta’ala, maka emas-emas itu dijual untuk dibelikan makan orang-orang berkampung-kampung.
Atau seperti Kiai Muhammad Khalil Bangkalan Madura yang setiap kali menunjuk batu-batu, batu-batu itu berubah menjadi emas. Maka dalam setiap tahun, beliau memberangkatkan dua puluh orang atau lebih untuk naik haji ke Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. Waw, sangat menakjubkan.
Tentang siapa yang lebih sufi, telah ditentukan oleh Allah Ta’ala, semua itu tidak hanya dilihat lahiriahnya saja, tapi yang lebih dekat kepada hadiratNya, itulah orang lebih sufi ketimbang orang lain. Juga lebih berguna bagi kehidupan sesama. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Hasan al-Hamadzani - 13 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #3 - 6 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #2 - 29 November 2024