HALTE
Penyair berhenti saat kata terlalu pepat
memuat penat, nyiur tinggal gambar
pada satu pojok halaman buku usang,
dan getah tusam hanya tersisa
melukis ekor bus kusam.
Selebihnya
bumi tetap berputar
menyangga kaki kukuh sedikit gentar.
Di tikungan penjaja sayur, kucing berjemur
tepi jalan, kokok ayam entah
tentang apa, entah di mana.
Malam dia coba hitung napas
dengan rumus aritmetika sebelum sadar
hidup bukan kisah tempat ragu tumpas
dan langit lenglang setiap pagi.
Di ujung harap dia rengkuh fana
seperti anak hilang yang pulang
menjemput pada saka sisa memori,
pada belandar: pintalan mimpi.
Ciamis, Juni 2022.
MEMORI
Di jauh sana ranting sembunyi
dalam malam, dalam temaram
sayup lirik cengeng mungkin resap
pada adukan kopi kafe
di seberang jalan. Bau hujan dari selatan.
Kubayangkan esok hari basah rumput
kanvas Hindia Molek depan kamar
saat mentari terbit dari segelas kopi.
Tak ada pagi yang sama, jam beranjak
dari teritis tiap kali kita noleh belakang.
Pada muka kayu gilap mungkin
jejak bertaut aroma Capucino
pada belandar, tapi memori terbaik
hadir dalam taksadar, seperti halaman buku
muncul malu-malu dalam sajak lama
yang kita baca sambil lalu.
Ciamis, awal Juli 2022.
RUTE MORFEM
Di perjalanan, kuingat ulang cara
mengukur jarak tertinggal di belakang.
Tak ada rumput rebah, goresan pada
kulit batang pohon, bilah daun
berputar arah selaras angin.
Hanya deret angka, petugas berbaju merah
yang pasang wajah lelah, perempuan
yang sodorkan segelas kopi dan menatapku
sebagai deret angka lain…
Di rumah makan, kuingat hidup bukan
lanskap Hindia Molek, replika kesekian
tertempel pada dinding, di depan kaleng
kerupuk, sebotol kecap, dan wadah garam.
Hanya memori, berbaris kacau sesekali
berpapasan frasa baru. Sebelum tiba
di tujuan yang kian pasti, kupampatkan jejak
menjadi jarak antarkata, pada sebuah peta
yang berpagar pohon Angsana.
Ciamis, Juli 2022.
VIRTUAL
Kita sama kurung diri dalam sempit
ruang, menghapus sisa bayang
tiga dimensi dan kita rayakan
surga?
“Tapi surga tanpa batas,” katamu,
“sedang kita masih punya ingin.”
Surga rata, bentang luas marmer licin
dan dingin. Hangat diserap lenyap
iklan yang lewat, hanya warna-warni
yang kita ingat.
“Surga itu layar rata,” ejekmu,
“kian luas. Kian licin. Kian warna.”
Dan mungkin kau sadar dusta:
Di sana lebih dari 72 pasang
mata bencing houri menawarkan
anggur dan sanggama, tanpa henti.
Maka kau kutuk aku menjadi tupai
sebelum listrik mati dan kubuka tirai
: hanya tupai merayakan
matahari bercumbu hujan
pada pohon (mungkin) terakhir
di muka bumi.
Ciamis, 13 Juli, 2022
KANJUTKUNDANG
Yang luhung memanggil
dari jembatan dia dengar lewat
batu kali purba, air bening pusar tanah,
sorak-sorai bocah. Daun-daun hijau,
celoteh riang Kanjutkundang, panji ungu
berjajar. Dia rasakan getar.
Hindia Molek?
Tak ada yang baru selain waktu.
Anak hilang pulang membawa
segala warna pada bola mata
dan rajah peta selingkar pinggang.
“Apa arti sejarah?” Tanya Sfinks
di gerbang kota. “Sejarah adalah
warna ungu,” kata dia.
Lalu dia tadah liur lapar
dengan garis tangan. Dengan jari keenam
dia tunjukkan arus air bawah tanah
tempat asal segala mimpi purba.
Saat Sfinks kenang ribuan tahun insomnia
dalam amuk kantuk, dia lewati gerbang
sebagai anak hilang.
Sebagai anak yang pernah hilang.
Ciamis, 20 Juli 2022.
- Sajak-Sajak Cep Subhan KM - 2 August 2022
- Sajak-Sajak Cep Subhan KM; Pertemuan Sore - 27 July 2021
- Catatan Kecil Freud tentang Catatan Kecil Nietzsche tentang Perempuan, Cinta, dan Perkawinan - 18 February 2019
Swara A
Suka!
Hanya tupai merayakan
Matahari bercumbu hujan.
Riami
Keren
Hanis WP
Keren Banget bahasannya nuansa Kopi
Ulfa F
Asyik bacanyaa, manis dan magis, 😍