Janda Cantik Bernama Rengga

“Ibu tidak akan memberimu makan bila masih berteman dengan anak keledai itu.”

Kamu menatap wajah ibumu sekilas sebelum melanjutkan makan malam. Anak keledai dimaksud ibumu adalah Kuntoro, laki-laki remaja seumuranmu yang tak pernah menginjak bangku sekolah. Kerjanya mengamen dan mencuri kain dari jemuran. Kain itu dijual ke pasar monja. Uangnya digunakan membeli rokok dan menyewa wanita yang melacurkan diri di warung remang-remang. Ancaman ibumu selalu sama. Namun belum pernah membiarkan kamu kelaparan meski kerap ketahuan masih berteman dengan Kuntoro si anak keledai itu.

Ibumu berharap kamu jadi anak penurut. Kamu sudah melakukannya. Buktinya, kamu tidak pernah bolos sekolah. Tidak pernah ikut tawuran dan tidak pernah mencuri uang ibumu. Meski kamu tahu ibumu selalu menyimpan uangnya di bawah lipatan kain. Ibumu selalu membandingkan kamu dengan Rahmad, anak Pak Haji depan rumah. Itu hal paling kamu benci. Kamu sendiri tidak mau seperti Rahmad. Ia terlalu cupu sebagai laki-laki. Di umur lima belas tahun, Rahmad belum pernah berciuman.

Beruntung bisa mengenal Kuntoro. Kalian bertemu pertama sekali di pasar setahun lalu. Ketika itu, seorang anak remaja bertubuh kurus, dekil, dikejar-kejar seorang wanita paruh baya. Anak itu lari terbirit-birit bagai matador dikejar banteng mengamuk. Sepintas, wanita paruh baya itu memang mirip banteng. Tubuhnya sedikit gempal, rambutnya dicat merah, payudaranya bergerak bebas di balik daster biru corak polkadot. Refleks menarik tangan anak dekil itu saat melintas di hadapanmu. Kamu menyuruhnya masuk ke bawah kursimu dan menutupinya dengan kedua kaki.

Si anak dekil keluar dari bawah kursi setelah wanita paruh baya itu hilang di belokan. Namanya Kuntoro. Ia bercerita kalau wanita itu adalah ibunya yang tengah marah lantaran ia menolak belajar mengaji. Belakangan ketahuan bila ia berbohong. Ternyata wanita paruh baya itu adalah pelacur. Kuntoro dikejar karena kabur dari jendela setelah menungganginya. Siapa tidak marah bila kelaminnya diobok-obok tanpa bayaran?

Kamu dan Kuntoro menjadi sering bertemu. Ia selalu menunggumu di pintu gerbang. Begitu jam sekolah berakhir, Kuntoro akan mengajakmu ke berbagai tempat. Kalian melakukan banyak hal baru.

“Aku akan menempahmu jadi laki-laki dewasa yang jantan.” ujar Kuntoro suatu sore. Ia mengajakmu mengendap-endap di bawah semak belukar di pinggir sungai. Kalian mengintip perempuan mandi. Di sana untuk pertama kali kamu merancap.

Bayangkan bila tanganmu adalah bibir seksi perempuan yang sedang mandi itu.” Demikian bisikan Kuntoro di telingamu. Anganmu terbang menembus semak belukar, merambat ke cabang pohon, lalu terbang berbaur dengan udara. Rasa nikmat mulai terasa. Saraf di tubuhmu hantarkan nikmat surga ke puncak kepala. Terciptalah erangan mirip desisan ular dari mulutmu. Nikmatnya luar bisa, melebihi rasa gulai ayam pedas masakan ibumu.

Merancap ibarat ekstasi. Kamu menjadi candu. Bila hasratmu tidak lagi terbendung, kamu akan pergi sendirian ke pinggir sungai untuk mengintip. Kamar mandi, semak pinggir sungai, ruang kosong di sekolah, WC umum di pinggir pasar, kamar tidur, di balik kandang kambing, semua itu pernah jadi tempatmu merancap. Dua hari lalu, ibumu menendang kepalamu. Kamu ketiduran di depan TV. Namun bukan karena ketiduran itu kamu ditendang.

“Masuk ke kamarmu kalau ingin memegang burungmu,” umpat ibumu sembari menarik tanganmu dari dalam celana. Kamu punya kebiasaan tidur sambil memegang burung. Kemarahan ibumu berlanjut hingga sekarang.

“Habiskan nasimu biar lekas belajar. Tak ada acara nonton TV.”

Kamu mempercepat sendokan nasi ke dalam mulut. Bukan berarti mau belajar seperti diteriakkan ibumu. Kamu ada janji dengan Kuntoro malam ini. Ia akan mengajakmu melakukan hal baru lagi.

**

“Kamu lama sekali.”

Omel Kuntoro begitu melihatmu muncul di pertigaan. Napasmu ngos-ngosan.

“Ibuku penggila dangdut. Baru mau tidur jika acara dangdut selesai.”

Kuntoro melihat jam tangan bututnya. Wajahnya gusar.

“Kenapa?” tanyamu.

“Waktu kita tinggal setengah jam lagi. Kita tidak dapat apa-apa bila terlambat.”

“Kita mau ke mana?”

“Kita akan berburu.”

“Berburu musang lagi?”

Mata kalian saling tatap. Lebih baik pulang bila Kuntoro mengajakmu berburu musang. Tangan dan pantatmu pernah digigit hewan sialan itu hingga bengkak berminggu-minggu. Terpaksa disuapi setiap makan. Ibumu bukan orang sabar. Sendok dimasukkan ke mulutmu seperti menjejalkan dedak ke dalam karung. Selama seminggu sengaja makan sedikit untuk mengurangi berak. Berak menjadi hal mengerikan buatmu. Saat jongkok dan mengedan, luka gigitan musang di pantatmu tertarik. Luka itu kembali berdarah. Rasanya seperti disayat silet.

“Kita tidak berburu musang, kan?” tanyamu sekali lagi.

“Nanti kamu akan tahu.”

Kuntoro menggenggam erat tanganmu takut kamu kabur. Kalian berlari menjejaki jalan tikus. Jalan itu menuju kampung sebelah. Gerimis turun seperti cimpratan air kencing. Kalian berteduh di bawah pohon nangka. Kuntoro melepas genggamannya dari tanganmu.

“Kita akan ke sana.”

Telunjuk Kuntoro mengarah pada warung kecil berjarak lima puluh meter dari pohon nangka tempat kalian berdiri.

“Kita harus menunggu warung itu tutup,” lanjut Kuntoro. Kamu belum tahu apa yang ia rencanakan.

“Pernah mendengar perempuan bernama Rengga?”

Kepalamu mengangguk.

“Ia pemilik warung itu.”

Siapa tidak kenal Rengga. Laki-laki di kelasmu kerap membicarakan perempuan itu. Rengga janda tercantik di kampung sebelah. Hanya laki-laki berduit tebal bisa menidurinya. Pengakuan beberapa laki-laki yang pernah tidur dengannya, Rengga tak ubahnya remaja perawan. Kuntoro kembali melihat jam bututnya.

“Jam dua belas tepat. Sebentar lagi warung itu tutup.”

Begitu Kuntoro selesai bicara, pemilik warung keluar mengangkat jualannya dari atas meja. Di belakang warung ada bangunan kecil. Bangunan itu adalah kamar Rengga.

“Ini puncak dari tujuan kita,” bisik Kuntoro sembari menarik tanganmu mendekati warung. Kalian merunduk di sisi dinding.

“Ini kamar Rengga. Aku selalu datang ke sini setiap bulan purnama. Aku telah membuat lubang pada dinding. Kita akan mengintip secara bergantian,” bisikan Kuntoro hampir tak terdengar.

“Giliranmu pertama.”

Kuntoro mendorong kepalamu ke arah lubang. Pandanganmu menyapu setiap jengkal ruang. Matamu terbeliak melihat sosok Rengga tengah duduk telanjang di sudut kamar. Kamu tak berkedip memandangi tubuhnya. Inikah hal baru Kuntoro maksud? Sungguh menakjubkan. Tangan Rengga memegang silet. Silet itu diturunkan ke selangkangan. Ia mencukur habis bulu kemaluannya. Rengga beranjak ke tempat tidur.

“Sekarang giliranku.”

Kuntoro mendorong tubuhmu menjauh dari lubang. Ia memegang lidi disambung satu sama lain sepanjang dua setengah meter. Tidak tahu dari mana Kuntoro mendapatkan alat itu. Pada bagian ujung diikatkan sebuah penjepit. Lidi itu dimasukkan ke dalam lubang.

“Apa yang kamu lakukan?”

Kuntoro tidak menjawab. Matanya melotot sebagai isyarat agar kamu diam. Lidi itu diarahkan ke sudut kamar tempat Rengga tadi mencukur bulu kemaluannya. Lidi diputar-putar, lalu ditarik pelan-pelan. Di ujung lidi melilit beberapa helai bulu kemaluan Rengga. Kuntoro memasukkan bulu-bulu itu dalam plastik. Kamu telah mengerti maksud ucapan Kuntoro. Kalian baru selesai berburu: Berburu bulu kemaluan.

**

Malam benar-benar gelap. Hujan mengancam turun. Desa Barangbang seperti didatangi ribuan iblis pencabut nyawa. Malam ini, kamu harus berhasil kabur dari rumah. Ada misi baru akan kalian kerjakan. Hati-hati melompat dari jendela agar tidak ketahuan ibumu. Kuntoro sudah menunggu di tempat biasa. Begitu kamu muncul, ia memberimu segelas air putih.

“Aku tidak haus. Cepat katakan, kita mau melakukan apa lagi?”

“Bulu kemaluan Rengga telah aku bakar. Abunya kucampur pada minuman ini. Aku belajar ilmu pelet dari Mbah Sinur tetanggaku. Cepat minum bila ingin ikut meniduri Rengga.”

Jantungmu berdetak kencang mendengar nama Rengga. Kamu sudah lama ingin menidurinya. Namun belum cukup umur untuk memberanikan diri bertelanjang di hadapan janda cantik itu. Minuman pemberian Kuntoro telah berpindah ke perutmu. Kalian melewati jalan tikus. Merangkak seperti anjing pelacak saat mendekati kamar Rengga. Samar-samar terdengar desahan dari dalam kamar.

“Ada mendahului kita.”

Kamu mengintip dari lubang memastikan siapa telah lancang merampas Rengga dari kalian. Matamu terbelalak tak percaya. Kamu mengenal laki-laki tengah menunggangi Rengga. Ia adalah Rahmad anak Pak Haji yang kamu anggap cupu selama ini.

*Monja: Penjual pakaian bekas

Dody Wardy Manalu
Latest posts by Dody Wardy Manalu (see all)

Comments

  1. Awliyaa Rizqy Reply

    Rahmad, Rahmad, kalau kata anak zaman sekarang sih, kukira cupu ternyata suhu. Hahaha. Nggak menduga endingnya bakal begitu

    • Admin Reply

      betul. ternyata suhu. wkwkwkwk!!!

  2. Dalilah Azzah Reply

    ceritanya luar biasah

  3. Melanie Reply

    Ceritanya luar buasah juga, btw obat peletnya masih bisa digunakan buat keesokan harinya kan?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!