Syaikh ‘Abdul Malik al-Iskaf

Saya tidak tahu persis di mana dan kapan beliau lahir. Karena beberapa kitab rujukan saya dalam penulisan biografi singkat para sufi ini tidak menyediakan data historis tentang beliau. Dan persoalan seperti ini merupakan hal yang lazim di dalam penulisan kitab-kitab thabaqat yang mengulas tentang sepenggal kehidupan para sufi.

Tapi yang jelas, menurut Syaikh ‘Abdullah bin Isma’il al-Anshari yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam, beliau merupakan salah satu murid dari Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj yang sangat fenomenal itu. Beliau dikaruniai umur yang panjang. Yaitu, sampai seratus dua puluh tahun. Sebuah masa yang membentang panjang dan penuh berkah.

Beliau pernah tinggal di Balkh, sebuah kota provinsi di Afghanistan, bersama Syaikh Hamzah al-‘Uqaili, Syaikh al-Farisi, Syaikh Abu al-Hasan ath-Thabari dan Syaikh Abu al-Qasim al-Hananah. Semuanya adalah para sufi dengan hati dan perilaku yang cemerlang dan indah.

Syaikh ‘Abdul Malik al-Iskaf merupakan salah seorang sufi yang pernah menjadi saksi terhadap kebeningan hati dan penglihatan batin Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj, utamanya terhadap nasib akhir dari kehidupannya sendiri sebagai martir di jalan tasawuf.

“Aku pernah bertanya,” kata Syaikh ‘Abdul Malik al-Iskaf, “kepada Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj: ‘Syaikh, siapakah orang yang makrifat?’ Beliau menjawab: ‘Orang yang makrifat adalah dia yang pada hari Selasa tanggal dua puluh empat Dzulqa’dah tahun tiga ratus sembilan Hijriah dibawa oleh mereka yang mewakili kekuasaan ke tiang gantungan.

Mereka memotong kedua tangan dan kakinya. Mencongkel kedua matanya. Menyalibkannya. Membakarnya. Dan membiarkan arangnya diterbangkan oleh angin yang kencang’. Dan sungguh menakjubkan, semua yang dikatakan oleh Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj itu betul-betul terjadi pada dirinya sendiri.”

Syaikh ‘Abdul Malik al-Iskaf, dengan demikian, berarti telah menyaksikan sekaligus menyimak serangkaian peristiwa kebenaran di mana Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj telah benar-benar suwung dan murni diperankan oleh Allah Ta’ala berkaitan dengan “ramalannya” terhadap peristiwa kematian yang telah menunggunya di ujung umur.

Bagi sang sufi atau siapa pun yang pernah menyaksikan langsung adanya ramalan orang suci dan realisasinya yang tidak meleset sedikit pun, sesungguhnya dia itu berarti telah diperkenankan oleh hadirat-Nya untuk tidak saja berjumpa dengan rangkaian peristiwa yang selaras antara prediksi dan kenyataan, tapi terutama dia digiring oleh Allah Ta’ala untuk menyaksikan penglihatan dan serangkaian takdir-Nya.

Hal seperti itu tentu saja sudah dapat dipastikan memberikan kontribusi spiritual yang sangat berharga bagi semakin kukuhnya kuda-kuda rohani sang sufi sendiri. Dalam konteks ini, penglihatan dan kesaksian sang sufi betul-betul merupakan input yang begitu signifikan bagi perkembangan dan pendewasaan dimensi keilahian di dalam kehidupannya. Secara substansial, kesaksian sang sufi terhadap ramalan dan peristiwa kewafatan Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj sesungguhnya merupakan penglihatan batin sang sufi terhadap secuil kemahaan Allah Ta’ala. Dalam hal itu, sang sufi betul-betul berhadapan dengan hadirat-Nya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!