Judul : The Black Book
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Jumlah halaman : vi + 718 hlm
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : I, Juni 2016
ISBN : 978-602-291-080-0
Pamuk sendirilah yang mengatakan dalam suara tokohnya di novel ini, bahwa dia adalah seorang picaresque; pengarang yang mendedahkan kondisi mental dan emosi tokoh-tokohnya seterang mungkin.
Kisah ini menceritakan pergulatan seorang pengacara bernama Galip dalam mencari keberadaan istrinya yang meninggalkannya pada suatu hari dengan satu pesan singkat, bahwa istrinya, Ruya, akan menghubunginya suatu hari. Dalam kelindan petunjuk yang ia cari-cari, akhirnya Galip menyimpulkan bahwa istrinya sembunyi bersama Celal, sepupu mereka. Dan pencarian mereka berlanjut dari penyelidikan kolom-kolom yang ditulis Celal sebagai redaksi tetap sebuah koran Turki.
Ini novel eksistensialis yang sanggup membuat pembaca tak hendak beranjak dari buku yang ia pegang. Rasa eksistensialis itu muncul secara kuat pada bab 10 “Mata”. Di dalamnya kita dapati tokoh Celal yang kini menghilang—dalam kacamata Galip, pembaca kolomnya—menggunakan sudut pandang orang pertama, bercerita tentang makna keakuan yang ada pada setiap manusia; bahwa kita memiliki orang kedua dalam diri kita. Secara jelas bab ini akan mengingatkan pada kita akan novel Pamuk lainnya The White Castle yang mengisahkan tentang dua kembar bertukar jati diri demi menghindari bahaya, untuk kembali menjalani kehidupan namun di tempat yang berbeda sebagai bangsawan dan ilmuwan.
Pada pencarian petunjuk dalam kolom-kolom yang ditulis Celal itulah, pembaca akan menemukan pelbagai kisah menarik yang menyusun sejarah negeri Turki, khususnya kota Istanbul—mulai dari cerita tentang Pasha Agung yang membunuh Mahdi dalam karya sastra seorang dokter; maneken-maneken karya Bedii Usta yang kini tersimpan rapi oleh penerusnya berada di ruang bawah tanah selama bertahun-tahun; pramuria mirip aktris ternama Turki; kisah algojo dan kepala yang menangis; sultan yang menyamar untuk melihat kondisi rakyatnya; cerita tentang Rumi dan kembarannya, Syams Tabriz, yang pada sintesis tertentu, dibunuh oleh Rumi sendiri; dan inti cerita ini adalah akan adanya kudeta militer yang dikatakan oleh seorang pembaca setia kolom-kolom Celal. Adapun hurufisme yang ditemukan seorang syekh Turki, sebenarnya juga kita kenal dalam falsafah Sosrokartono tentang alif yang menyimbolkan kesempurnaan akan Tuhan. Dan tatkala kita hanyut dalam novel ciamik karangan Pamuk ini, kita akan dapati bagaimana cara mengobati duka-lara kehidupan—secara berkelindan dalam narasi khas gubahannya—pada bab 23: menjadi penulis caranya.
Karena tuntutan koran tempat Celal bekerja, akhirnya dalam novel ini diceritakan Galip menjadi Celal dan mulai menulis kolom baru atas namanya. Cerita tentang Rumi kemudian berlanjut pada salah satu bab akhir. Kisah pembunuhan di sumur, pasti mengingatkan kita pada bagian awal novel My Name Is Red yang dianggap para penggemar Pamuk sebagai salah satu novelnya yang paling mutakhir. Akhir cerita mengisahkan dialog panjang antara Galip yang kini menyaru sebagai Celal di apartemen kolumnis itu pernah tinggal, dengan seorang pembaca setia yang marah pada Celal dan ingin membunuhnya. Ruya dan Celal kemudian ditemukan meninggal di dua tempat berdekatan antara toko Aladin penjual rokok dan aneka barang murahan, dan si kolumnis terbaring di pinggir jalan. Pembunuh mereka disimpulkan sebagai seorang tukang cukur yang pernah mengajukan dua pertanyaan pada Celal berpuluh tahun lalu dan menaruh dendam karena menertawakan tukang cukur rambut itu. Nyatanya, masih berupa misteri bahwa eksekutor pembunuhan itu menurut narasi novel ini membuat pembaca ragu. Kepiawaian Pamuk lainnya adalah membuat pembacanya terombang-ambing dalam pelbagai pertanyaan seputar novel yang mereka baca. Pertanyaan krusial yang diulang-ulang pada novel ini adalah bagaimana menjadi atau tidak menjadi diri sendiri. Itu mengingatkan kita pada peramal dari Delphi dengan pesan untuk mengenali diri sendiri: pertanyaan usang yang diajukan manusia dari pelbagai zaman.
Narasi novel ini bergerak cepat dalam sebuah monolog panjang dari tokoh utama Galip yang mencari petunjuk demi petunjuk dalam kata-kata pada kolom-kolom yang ditulis Celal. Sementara dua tokoh sentral lainnya tidak pernah tampak, hanya menjadi target dari tokoh utama. Biasanya novel dengan satu suara macam ini akan membosankan pembaca, namun, racikan seorang pemenang Nobel Sastra 2006 pada novel awalnya ini, dirasa tidak akan membosankan karena kepiawaiannya menyisipkan seluruh hal kecil dengan mendetail. Seperti mendorong almari dan menemukan kembali mainan masa kecil kita; pembaca diajak dalam satu tur ekstravagan dari pergulatan emosi Galip menuju penerimaannya yang luar biasa dalam memanggul kematian istrinya. Novel Pamuk ini layak dibaca lebih dari sekali untuk menemukan sesuatu yang baru berkali-kali. Menarik kita tunggu lagi terjemahan novel Pamuk lainnya dalam bahasa Indonesia. []
- Jati Diri dan Pencarian Cinta yang Hilang - 12 November 2016