Rumah saya terletak di titik pertemuan Jalan Soepomo dan Jalan Sahardjo tepatnya di sudut Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan. Jalan menuju ke sana adalah jalan beraspal. Jalan yang begitu mulus untuk dilalui. Tidak ada kelokan tajam, tidak turun-naik dan berliku-liku, tidak pula menembus lereng-lereng perbukitan dengan jurang-jurang curam dan dalam di sisi kanan-kirinya. Kau hanya perlu menembus kemacetan parah tanpa sebab, dari berbagai arah.
Tak perlu pula risau atau gundah gulana. Orang-orang yang hendak ke Tebet pada malam hari, sudah sama-sama tahu. Tak perlu peringatan lagi, hampir semua pengendara kendaraan yang menempuh jalan dari arah mana saja menuju Tebet, selalu waspada apabila malam telah larut dan polisi lalu-lintas telah pulang ke markas. Maklum, terkadang kejahatan bisa datang tanpa diundang.
Pernah suatu malam, seorang perempuan selepas bekerja di sebuah karaoke di kawasan Semanggi pulang seorang diri menuju kosannya di Jalan Haji Ramli, Menteng Dalam. Ia menggunakan sepeda motor metik dan menjadi korban pembegalan. Beruntung hanya motornya saja yang lenyap dibawa kabur para begal di Jalan Gatot Soebroto, depan kantor Hero menjelang Pancoran. Ia sendiri jatuh dan dibiarkan tergeletak begitu saja di tengah jalan, —pingsan. Sekali lagi beruntung motornya saja yang lenyap, dan nyawanya selamat tak ikut lepas. Seorang pengemudi taksi Blue Bird telah menyelamatkan perempuan pekerja karaoke itu ke Rumah Sakit Tebet di Jalan MT. Haryono. Ya, seharusnya ia tak pulang seorang diri, —ia lupa akan peringatan.
Pada musim hujan, Jalan Tebet Raya dan sekitarnya tak pernah banjir meskipun hanya sebatas mata kaki. Pada musim kemarau, tak pernah sumur-sumur surut dan kering kerontang. Tebet adalah kawasan pemukiman yang asri, warganya pun ramah-ramah dan asyik-asyik.
Di Tebet, pada pagi hari orang-orang bergegas berlalu-lalang menuju suatu tempat dari rumahnya masing-masing. Dari dalam kendaraan berkelebatan kata-kata samar pada papan-papan iklan dan nama-nama toko yang dituliskan warna-warni. Pada malam hari, cahaya lampu dari kendaraan bermotor memendar menimbulkan bayangan-bayangan aneh namun hidup. Kira-kira suasana seperti itulah yang kualami setiap hari saat menuju tempat kerja saya di kawasan SCBD (Sudirman Central Business District) di pagi hari, dan pulang kerja di malam hari menuju Tebet.
Kadang-kadang di antara jam 9 dan 10 pada pagi hari libur atau week end, saat kau beli bubur ayam di depan ruko yang ada Bank BCA di sampingnya ada panti pijat asoy—asyik untuk indehoi—kau bisa menyaksikan seorang tukang cukur duduk-duduk di kursi cukur dalam ruangannya di Jalan Tebet Raya. Ia duduk sambil membaca koran pagi dengan gaya malas-malas. Sesekali ia memandang ke luar jendela, melempar pandangan mencari pelanggan. Seorang lelaki muda tiba-tiba saja sudah masuk dengan perlahan-lahan seperti mengendap sehingga tukang cukur itu tidak menyadari keberadaannya dan tidak mendengar pintu ruang cukur dibuka seseorang. Lelaki muda itu berkulit putih dengan cambang dan kumis yang tampak tak beraturan, juga rambut yang tak rapi, sehingga memang sepertinya perlu dipangkas. Tukang cukur melonjak dan terburu-buru menyambut pelanggan dengan sopan. Ia berhenti dari keasyikan baca koran sambil duduk malas-malas, dan langsung sibuk bekerja memangkas rambut, merapikan cambang, serta kumis pelanggannya.
Dan kau, habiskan saja bubur ayammu, sambil melihat dengan penuh gairah beberapa terapis pijat yang akan masuk kerja dengan pakaian yang serba seksi melintas di depan mangkuk buburmu.
Setelah menetap di Tebet Raya selama 20 tahun, saya pindah rumah.
Ketika itu, saya merasa sangat kesepian dan hari sangat suram. Saya merasa selalu sendiri, hanya ditemani bayang-bayang yang saling menari di sekeliling kaki yang sedang melangkah pulang setelah lembur bekerja. Hari ini saya tak membawa kendaraan sendiri. Saya berjalan kaki sendirian menuju Stasiun Sudirman.
Awan-awan begitu rendah tampak di langit menyelimuti suasana tengah malam ini, seolah-olah meredamkan bunyi raungan sirene mobil patroli polisi di kejauhan. Mendadak lampu jalanan padam dengan serentak, hal ini sangat jarang terjadi di Sudirman, membuat suasana jalan raya dicekam kegelapan yang membuta. Hanya ada kelebatan cahaya dari satu dua mobil atau motor yang melintas. Dunia seakan berubah kelam menghitam, pikir saya agak berlebihan ketika melihat gedung-gedung bertingkat lampunya ikut padam tak bercahaya. Namun saya tetap berjalan dengan ketenangan penuh, meski sesekali hampir terjatuh sewaktu kaki saya menginjak tempat-tempat yang licin di trotoar.
Saya sama sekali tak merasa takut, saya sudah terbiasa melewati jalan ini untuk menuju stasiun kereta api Sudirman, lantas dari situ naik kereta terakhir menuju Stasiun Tebet. Sebagian kegembiraan hidup ini adalah dengan menikmatinya di waktu malam ketika kau dan sebagian penghuni Jakarta telah lelap tertidur.
Stasiun kereta api hanya tinggal beberapa puluh meter. Sinar-sinar lampu yang dihidupkan oleh genset telah terlihat jelas di depan sana. Saya terus menembus malam seorang diri, beberapa tukang ojek pangkalan menawarkan diri ketika mereka melintas, saya menepiskan tangan sebagai tanda menolak. Bersyukur 20 tahun tinggal di Jakarta belum pernah dalam hidup saya mendapat gangguan berarti di jalanan baik siang maupun tengah malam seperti ini.
Akan tetapi tidak demikian malam ini.
Saat berjalan di trotoar Duku Atas yang sepi, ada sesuatu seperti bayangan tampak bergerak. Mula-mula menyerupai bayangan saya sendiri, namun lama-kelamaan tambah jelas itu bukan bayangan saya. Rupanya saya tidak sendirian berjalan di trotoar ini. Seseorang berada bersama saya di dalam keremangan malam. Saya mempercepat langkah ketika sosok itu hampir mendekati dan menyentuh tubuh saya. Namun saya masih belum dapat melihatnya secara jelas ketika saya menoleh ke belakang, karena ia tiba-tiba menghilang.
Saya memandang sekeliling, namun sosok yang mengikuti tidak tampak. Saya tak melihat apa-apa, meski demikian naluri saya mengatakan seseorang sedang mengintai diri saya. Tentu saya mempercepat langkah. Tumit sepatu saya yang runcing berdenting-denting di atas permukaan trotoar. Stasiun kereta api adalah tempat yang cukup aman untuk berlindung dan tempat itu sudah tidak begitu jauh dari sini. Tinggal beberapa langkah lagi.
Begitu saya memandang sinar-sinar lampu stasiun yang berpendar-pendar akibat tiupan angin malam yang lembut, saya merasakan semua itu seolah-olah memanggil-manggil diri saya.
“Ayolah, datanglah kemari!”
“Tinggal beberapa langkah lagi. Berlarilah, larilah kemari!”
“Kau hampir mencapai tempat yang aman, hampir… hampir…hampir!”
Saya berusaha berlari sekencang-kencangnya, ketika itu pula seorang lelaki muncul dengan mendadak menghadang langkah saya. Ia muncul seperti hantu yang menyelinap dari kepulan asap.
Saya tak tahu dari mana ia datang. Namun kini, ia benar-benar berada di depan saya, tanpa bergerak dan tanpa kata-kata. Sikapnya seperti patung akan tetapi terasa sangat mengancam.
Mendadak tiupan angin berubah mengeras dan berputar-putar, menyapu dedaunan dan menimbulkan bunyi gemersik yang mencekam. Awan-awan tebal tetap bersetia bergelayut di langit malam dan menyembunyikan rembulan seolah mencegah sinar sang rembulan menyaksikan adegan pedih yang sebentar lagi akan menimpa diri saya.
Saya hanyalah seorang perempuan paruh baya, kini sendirian menghadapi seorang lelaki yang entah mengapa menghadang saya. Saya berbalik dan entah kenapa pula malah berlari ke arah trotoar yang baru saja saya lewati tadi. Baru beberapa langkah bergerak, tubuh saya roboh karena pukulan di bagian belakang kepala. Saya terjatuh dengan kepala terlebih dahulu menyentuh aspal di pinggir jalan. Belum sempat saya berdiri dan berteriak minta tolong, lelaki itu memukuli kepala dan wajah saya bertubi-tubi hingga membuat saya nyaris pingsan. Ia lantas menarik saya ke arah tanaman-tanaman hias di pinggir trotoar, ia hendak memperkosa saya.
Saya memang akhirnya pingsan. Begitu napas saya mulai normal dan kelopak mata terbuka dengan lemah, lelaki itu tengah berjongkok di samping saya. Dalam keremangan, samar-samar saya mengenali raut wajah lelaki biadab ini. Ia lelaki muda berkulit putih dengan cambang dan kumis yang tampak tak beraturan, juga rambut yang tak rapi. Ia meletakkan tangan yang besar dan kasar di atas leher saya yang jenjang. Ia mencekik leher saya dengan kuat, memeras keluar napas kehidupan saya dari tubuh yang mengejang.
Tubuh saya yang telanjang ditemukan pada pukul 05.15 oleh seorang petugas penyapu jalanan berseragam oranye bentukan Gubernur Ahok. Saya terkapar melintang di rimbunnya tanaman-tanaman hias di pinggiran trotoar Jalan Sudirman. Banyak yang berspekulasi saya seorang PSK yang menjadi korban kekerasan seksual di malam jahanam itu.
Seperti pada kasus-kasus pemerkosaan sebelumnya, Kombes Polisi Krishna Murti dan anak buahnya dari jajaran Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya*), bekerja keras dan sungguh-sungguh untuk mengusut dan mengungkap kasus pemerkosaan disertai pembunuhan yang menimpa diri saya. Berharap Kombes Krishna dan timnya dapat menyeret pelaku serta menghukum pemerkosa itu dengan hukuman yang seberat-beratnya dan seadil-adilnya, agar kejadian serupa ini tak menimpa kau, atau anak perempuan dan istrimu, kelak.
Sebenarnya gampang saja menemui saya, untuk menuju rumah saya di Jalan Tebet Raya, kau bisa menggunakan kendaraan apa saja. Taksi, bus, metromini, kopaja, bajaj atau ojek yang berseliweran setiap hari, setiap saat, 24 jam tanpa henti. Namun saya lalai, saya sendiri telah salah memilih jalan pulang.***
Keterangan: *) Ketika cerpen ini ditulis, Kombes Krishna Murti sebagai Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya
- Pengakuan Ajun Komisaris Polisi Izrail - 30 September 2022
- Kisah Pertemuan Tokoh Utama sampai Cerita Ini Usai - 14 January 2022
- Kegiatan Mengisi Waktu Luang di Masa Pensiun - 29 October 2021
Junioranger
Wah belum baca kumcer yang Koekoesan nih Pak. Udah susah ditemukan kayaknya nih…
Tilaria Padika
Keren nih.
Boleh titip jejak blog saya: https://tilariapadika.wordpress.com/
Jayalah sastra indonesia.