Kitab Suci sudah bertutur bahwa manusia adalah makhluk paling mulia: punya akal, budi, dan agama. Sejarah juga sudah membuktikan bahwa manusia adalah makhluk paling mulia. Pada rantai makanan, manusia seharusnya takluk dan tunduk pada ikan hiu, harimau, singa, dan berbagai binatang buas lainnya. Manusia tak punya kekuatan otot untuk mengalahkan seekor serigala buas, tentu saja. Tetapi karena akalnya yang kompleks, manusia lantas berada pada pucuk rantai makanan. Tanpa bertemu secara fisik, manusia bahkan bisa menjungkalkan beribu-ribu ikan hiu di lautan. Itulah kekuatan logika dengan memakai teknologi.
Konon, manusia juga punya kekuatan gaib lainnya, jauh menyimpang dari alur logika. Mungkin, inilah namanya metafisika, tetapi sekarang kita menyebutnya klenik. Kekuatan ini sangat mengherankan. Betapa tidak, tanpa bersentuhan sekalipun, hanya berbekal bisik-bisik, manusia juga bisa menerbangkan lesung. Termasuk menjungkalkan sebuah gunung mahabesar menjadi sebuah perahu. Ada banyak literatur yang menarasikan kehebatan klenik manusia. Hingga kini, meski tak logis, ilmu klenik terus dipelajari oleh banyak pihak.
Selalu ada orang yang berguru pada guru spiritual dengan satu tekad agar bisa menjadikan dunia klenik sebagai pekerjaan. Selalu ada banyak orang yang memasrahkan masalahnya pada klenik, bahkan yang pintar secara akademis sekalipun. Pada masa awal pemilu-pemilu lalu, misalnya, kita tentu sudah tak asing lagi mendengar betapa beberapa orang yang mencalonkan diri, pergi ke guru spiritual (dukun) untuk mendapatkan restu. Itulah sebabnya kita pernah saling debat: apakah UU Santet perlu dimasukkan atau tidak.
Berbau Ekonomi
Bahkan keterpilihan SBY, pula Jokowi, sering didekatkan aromanya sebagai wilayah mistis. Karena itu, ketika Tsunami Aceh terjadi, tepat pada perayaan 100 hari SBY memimpin, sebagian rakyat langsung mengerti bahwa itu adalah “tumbal” SBY. Ketika pula pesawat Air Asia jatuh—uniknya lagi, tepat pula pada hari ke-100—sebagian rakyat langsung menerimanya sebagai tumbal Jokowi. Ringkasnya, kita tak pernah lekang dari dunia klenik. Hal-hal mistis selalu kita gandrungi. Gejala alam selalu kita baca dari segi mitos, bukan rasio.
Itulah kiranya mengapa Martin van Bruinessen, sebagaimana dikutip oleh Zakki Amali, pernah meneliti dunia klenik dengan mengaitpautkannya pada motif ekonomi. Penelitian itu dilangsungkan pada tahun 1980-an di kampung miskin Sukapakir, Kota Bandung. Yang menarik, dalam penelitian itu ditemukan empat dari tujuh dukun baru menjadi dukun setelah pindah ke Bandung (dari desa ke kota). Namun, perannya di kota bukan melanjutkan perannya di desa, tetapi lebih pada adaptasi dari kondisi kehidupan di lingkungan miskin perkotaan.
Motifnya sudah berbau ekonomi. Dukun sudah punya patokan harga. Bahasa kasarnya, dukun menjadi profesi. Karena itulah, dukun selalu mendekatkan dirinya dengan jabatan-jabatan agama. Ada yang bergelar haji, kiai, pendeta, dan masih banyak lagi. Ini semua dibuat sebagai “sertifikasi” atas profesinya. Tentu saja ini tak masuk akal, tetapi, pada dunia klenik, masuk akal atau tidak bukan menjadi patokan. Manusia sudah memasrahkan dirinya pada hal-hal di luar nalar.
Lalu, karena di luar nalar, apa ini sebuah kebodohan? Tentu saja! Tetapi, ini bukan sekadar kebodohan biasa. Ini adalah tindakan industri yang berbahan baku kebodohan. Tujuannya adalah membuat kebodohan menjadi komoditas. Sedikit menghibur memang meski kebodohan bukan sebuah hiburan. Tetapi, seperti kata AS Laksana, jika terjadi terus-menerus, rentetan kebodohan ini akan menjadi sebuah karnaval yang menghibur. Kita tertawa dan tertawa lagi. Bukan karena lucu, sebab ini hanya kegirangan semu. Kita tertawa hanya karena kita tak tahu mau berbuat apa lagi, tak bisa lebih sedih lagi.
Inilah industri kebodohan. Objek pemasarannya sangat luas, apakah dia cendekiawan akademis atau cendekiawan minim akademis, semua sama saja. Tentu saja kita sangat heran. Betapa tidak, dari mana logikanya cendekiawan bisa terpeleset pada alur berpikir yang tak punya premis berhubungan? Apakah ini artinya ujung dari kepintaran manusia sehingga kembali ke zaman kebodohan? Atau, apakah ini puncak kepintaran manusia di mana kebodohan bisa dibuat menjadi barang dagangan? Dan, pada masa itu, kepintaran tak berarti kalau tak bisa memperdagangkan kebodohan? Kita sama sekali tak tahu.
Yang pasti, kini kita sering mengasyiki kebodohan, memasrahkan diri pada kebodohan. Mungkin ini terjadi karena uang. Sebab, selain agama, seperti kata Sophocles, uang adalah hasil kebudayaan terburuk.
Ke Dasar Sejarah
Ya, barangkali inilah masa kita kembali. Mungkin, inilah namanya siklus kehidupan bahwa kita harus kembali ke awal. Kembali ke zaman batu. Pada masa itu, kita tak lagi betah tinggal di rumah. Kita hidup nomaden. Kita akan berkeliaran di luar sehingga semua wanita bisa menjadi istri, semua pria menjadi suami. Libido diperdagangkan. Ikatan perkawinan digantikan ikatan hasrat. Ketika tak berhasrat, ikatan langsung lekang. Ketika berhasrat, ikatan sekuat baja. Kelekatan dilihat dari seberapa berhasrat.
Kepala suku dilihat dari seberapa besar otot dan seberapa banyak pengikut, bukan dari seberapa bajik. Itulah destruksi. Orang lain dihantam, tetapi tempat-tempat pemujaan dipertuhankan. Agama menjadi caci-maki. Ilmu menjadi olok-olok. Kemewahan dilihat dari rating. Percakapan digantikan dengan simbol-simbol emoticon. Bahasa kita menjadi bahasa isyarat. Orang lain tertawa, kita pun tertawa. Lihatlah industri televisi kita saat ini. Apa yang dijual kecuali bukan kebodohan? Apa yang disajikan kalau bukan kebodohan?
Lihat pula demokrasi kita yang sibuk di permukaan. Agama diperjualbelikan. Label kafir diobral. Bukankah itu kebodohan? Ya, kita benar-benar sudah kembali ke dasar sejarah: kembali menjadi bodoh, kembali barbar, kembali tak beradab. Otak kita memang masih ada, tetapi fungsinya sudah diserahkan pada benda-benda teknologi sehingga mental kita menjadi mental serba segera.
Mari jangan heran lagi ketika banyak anak akar rumput saling membakar diri dalam kebencian dan terpengaruh oleh tontonan kebodohan. Pasalnya begini, cendekiawan saja sudah hanyut dalam kebodohan, memperdagangkan kebodohan, bagaimana lagi masyarakat akar rumput? Bukankah mereka akan semakin tumpah-ruah pada comberan kebodohan demi kebodohan karena sudah menganggap kebodohan sebagai kebiasaan, bahkan pekerjaan?
Parah lagi manakala kebiasaan, bahkan pekerjaan tersebut, dilegam-kelamkan dengan emblem-emblem suci agama.
Oh!
- Bangsa yang Konyol itu, ya, Kita! - 23 March 2022
- Surat: Dari Siapa, Bukan untuk Siapa! - 23 February 2022
- Bahasa Indonesia: Menuju Perjalanan Akhir? - 14 November 2019