Salah satu ayat dalam kitab suci Qur’an (QS. Ali ‘Imran: 185) bertutur bahwa episode demi episode kehidupan di dunia yang fana ini dijejali oleh berbagai macam tipu daya, oleh segala sesuatu yang setiap saat bisa memerosokkan manusia pada kurung-kurung jebakan, oleh berbagai pukauan yang paling artifisial, oleh berbagai pesona yang paling permukaan.
Kehidupan yang dimaksud pada ayat itu tertuju kepada segala dimensi yang wadag, pada segala yang tampak secara empiris, pada segala sesuatu yang menjadikan manusia bersikap pragmatis. Dunia yang seperti itu lebih rendah ketimbang gugusan rasionalitas dengan segala nilai yang bisa dirambah dan dijangkaunya. Itulah yang dalam Qur’an surat at-Tin disebut dengan istilah “asfala safilin“, dimensi paling tidak bermutu di dalam kehidupan.
Manusia, dengan seonggok dimensi jasadiahnya yang kasatmata, memiliki korelasi dengan panorama alam bendawi tersebut. Karena itu dapat dikatakan wajar jika mereka mudah tertarik kepada segala “rayuan” yang serba gemerlap itu. Bahkan dapat dipastikan bahwa selama watak dari dimensi jasadiah mendominasi kehidupan seseorang, selama itu pula dia akan terus terborgol oleh adanya rasa ketertarikan yang mendengus dari dalam dirinya sendiri.
Sebaliknya, ketika denyut dari watak jasadiahnya berkurang, maka akan berkurang pula volume hasratnya terhadap segala sesuatu yang fana dan artifisial. Dan ketika sama sekali denyut itu susut hingga ke titik nadir ketiadaan, maka segala benda dan suasana rayuan di luar dirinya akan teronggok begitu saja, tak mungkin tersentuh oleh hasrat dan keinginannya. Karena adanya korelasi itu kini telah terputus dan bahkan ambruk.
Tentu saja manusia diciptakan oleh Tuhan semesta alam tidak hanya untuk terinjak oleh kekalahan. Di samping Dia menciptakan batu ujian yang memiliki potensi destruktif bagi diri mereka sendiri dan orang lain yang berupa hasrat nafsu terhadap segala yang centang perenang, Tuhan itu pun juga menciptakan potensi spiritual dalam rangka menerangi perjalanan hidup manusia menuju kepada hadiratNya.
Baik potensi positif maupun potensi destruktif yang bersemayam dalam diri manusia, salah satu di antara keduanya sama-sama dimungkinkan untuk kalah sekaligus untuk menang. Tergantung kepada keberpihakan manusia itu sendiri, pada nafsu ammarah atau pada roh, juga tergantung kepada pertolongan hadiratNya.
Manusia tinggal menjalankan instruksi Tuhan semesta alam: berpihak sekaligus memberikan pertolongan pada roh setiap kali terjadi pertikaian dengan nafsu ammarah yang bangsat dan sialan. Sehingga potensi positif menjadi menang, merajai perjalanan hidup mereka dan bermanfaat juga untuk sesama.
Akan tetapi jika manusia lebih tertarik kepada godaan nafsu ammarah ketimbang terhadap keindahan dan nasihat roh, maka mereka berarti betul-betul mengikrarkan diri bergabung dengan tentara-tentara kekelaman yang siap memberondong dan memusnahkan diri mereka sendiri. Di saat itulah panorama alam bendawi akan tampak secara saksama sebagai jebakan. Na’udzu biLlahi min dzalik. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024