Jika Siang Akan(g) Datang

etsy.com

 

Tadi siang Akang datang. Setelah mengucapkan salam, ia langsung duduk membelakangiku yang sedang mengolesi roti dengan selai kacang. Ia tak melirikku, apalagi menciumku. Tidak. Ia hanya lewat sebentar lalu duduk di depan meja kerjanya. Bukan meja kerja sebenarnya. Di atas meja itu hanya ada sebuah laptop dan tumpukan buku-buku.

Setiap kali aku berusaha membereskan, Akang akan marah, tapi disampaikannya kemarahan itu dengan lembut. “Kau boleh membereskan apa saja dalam hidupku, Sayang.” Jemarinya menyentuh tengkukku. “Kecuali yang ini.” Ia menjauhkan tanganku dari buku-buku lalu menciumi leherku.

Aku mematung. Sejak itu aku sadar, pasangan Akang yang sesungguhnya bukanlah aku, melainkan buku-buku itu.

Meja kecil dekat jendela dibeli setahun yang lalu, saat Akang menang lomba sayembara penulisan. Uangnya dipakai untuk menyewa kontrakan ini selama setahun. Sisanya dikirim ke orang tua dan sisanya yang sedikit lagi digunakan untuk makan sehari-hari. Dari uang itu, aku juga mendapatkan dua lipstik baru, satu set eyeshadow berwarna nude dan satu blush on berwarna merah jambu.

“Aku ingin makan ramen, Kang.” Setelah membeli seperangkat make up baru itu, perutku keroncongan.

Akang menatapku dan berkata, “Di kepalaku ada sebaris puisi. Kalau tidak segera dituliskan, kata-kata ini akan hilang.”

Maka begitulah malam itu berakhir. Aku hanya memesan nasi goreng dan es teh manis di warung makan langganan seberang gang. Sementara Akang bersetia duduk menghadap laptopnya di depan jendela. Dari jendela itu, jalan kecil menuju kontrakan terlihat. Akang tidak pernah menutup gordennya.

“Mengapa tidak ditutup?” tanyaku, sehari setelah tinggal bersamanya.

“Kadang ada ide yang lewat tiba-tiba, muncul begitu saja dari balik jendela itu. Aku ingin menangkap semuanya, tak terkecuali.”

Bagiku, apa pun yang Akang katakan terasa seperti kebenaran. Aku tak bisa protes sebab ia selalu punya jawaban mencengangkan. Kadang, aku bahkan tak mengerti perkataannya. Aku sadar, usia dan latar belakang berbeda memengaruhi itu semua.

Delapan tahun. Aku dua puluh tahun, Akang dua puluh delapan tahun. Saat pertama kali berkenalan, ia bertanya padaku, “Tuhan di mana?”

Aku tak tahu jawabannya. Ibu bilang, keberadaan Tuhan tak bisa dijangkau akal manusia. Tapi Akang memaksa. Aku bilang, Tuhan ada di Arsy, singgasananya. Akang bilang, tidak mungkin Tuhan terikat materi yang diciptakannya sendiri. Aku menjawab lagi, Tuhan ada di mana-mana. Akang menjawab lagi, kalau begitu, akan ada terlalu banyak Tuhan. Aku tidak pernah mengerti bagaimana akhirnya ia mempercayai keberadaan Tuhan. Tapi sejak perdebatan itu, aku sadar: aku mengaguminya. Lagi pula, mempertanyakan Tuhan saat perkenalan pertama terasa sangat janggal, maka percakapan itu tak kuteruskan.

“Kau percaya ada cinta pada pandangan pertama?” Pertanyaannya pada kencan pertama.

“Entahlah, aku tak tahu.” Sejujurnya, aku sendiri tak tahu apa arti cinta dan mengapa manusia bisa sekonyong-konyong jatuh cinta begitu saja, apalagi pada pandangan pertama.

Akang menatapku. Ia hanya tersenyum, tak melanjutkan pertanyaannya. Wajahnya teduh. Senyumnya manis. Giginya berjajar rapi. Alisnya tajam runcing. Kumis dan jenggot tipisnya justru semakin membuat wajah itu tampak begitu tenang. Saat itu aku menyadari, aku telah jatuh cinta padanya.

Jatuh cinta pada seorang penulis adalah sebuah kenekatan. Selain harus mau diduakan dengan buku-buku, aku juga harus merelakan waktu-waktu yang seharusnya dihabiskan berdua untuk waktu membaca dan menulis Akang. Selain itu, aku pun harus terbiasa melihat Akang melamun sendirian selama berjam-jam.

“Jangan pernah menggangguku jika aku sedang memikirkan sesuatu.”

Maksud Akang tentu saja melamun. Tapi, ia selalu mengelak. Baginya, tak ada waktu berpikir yang sia-sia. Saat melamun, ia mengaku tengah memikirkan sesuatu. Misalnya saja, mengapa Tuhan menciptakan kejahatan atau mengapa manusia menyembah uang. Setiap harinya, ada banyak hal yang Akang pikirkan. Lantaran otaknya tak pernah bisa berhenti berpikir, ia menyiasati dengan jalan kaki, berkeliling kota. Saat berjalan kaki, ia mengaku mengamati banyak hal. Pikirannya pun bekerja maksimal. Ia memikirkan, menganalisis, lalu menuliskannya.

Begitulah Akang bekerja. Hanya dengan berjalan kaki, ia mendapat banyak ide untuk menulis. Ia biasa bangun jam tiga subuh lalu shalat Tahajjud. Selesai Tahajjud, ia menulis atau membaca di bawah remang lampu sampai waktu Subuh tiba. Saat azan Subuh berkumandang, ia cepat-cepat shalat dan mengaji. Setelah itu, ia keluar untuk jalan pagi.

Waktu jalan pagi Akang tak menentu. Kadang, ia pulang tepat jam dua belas siang. Pernah juga ia sampai di kontrakan jam dua siang. Aku jadi marah-marah.

“Kenapa lama sekali?”

“Tadi bertemu teman di jalan. Dia mengajakku nongkrong di warung kopi dan mengobrol.”

“Besok bawa handphone ya kalau jalan kaki.”

Akang diam sebentar. Ia mungkin merasa bersalah. “Iya, Sayang.”

Satu kecupan mendarat di keningku. Ia lalu memelukku dan merebahkan tubuhku di atas ranjang. Kesalahannya pun kumaafkan. Siang itu berakhir tanpa pertengkaran.

Dalam malam-malam yang seharusnya biasa saja, aku justru merasa sangat kesepian. Jika tidak menulis, Akang pasti membaca. Kegiatan selain itu, paling Akang hanya jalan kaki dan nongkrong bersama teman, atau menghadiri undangan acara kepenulisan. Kami sangat jarang terlibat percakapan. Akang hidup sangat teratur, tidur jam sebelas malam dan bangun di jam tiga pagi. Selalu begitu setiap hari. Ia kadang melonggarkan waktu di hari Senin untuk memanjakanku.

Akang begitu mencintai hari Senin. Kami sepakat boleh berbuat apa saja di hari Senin. Akang kadang mengajakku jalan-jalan atau sengaja bangun kesiangan. Pernah di satu Senin pagi yang sesungguhnya biasa saja, ia memelukku erat, memakuku di atas ranjang.

“Aku harus memasak dan mencuci baju, Kang.”

“Nanti saja, agak siangan.”

“Kalau aku tidak bangun sekarang, tempat ini akan semakin berantakan.”

“Biarkan saja sesekali berantakan.”

Ia memelukku lebih erat. Aku memejamkan mata kembali, mencoba memahami jalan pikiran Akang. Desah napas Akang terasa hangat menembus telingaku. Setelah puas memeluk dan menciumiku, ia bangkit dari ranjang dan duduk di kursi, menghadap meja kecil itu lagi. Aku tetap berbaring, menghadap ke punggungnya. Punggung yang bungkuk lantaran terlalu banyak duduk. Rambut Akang dibiarkan gondrong melewati bahu. Meski tak lurus, rambutnya mudah diatur, jatuh sempurna dan tak nakal saat disisir atau diikat karet gelang.

Jika Akang sudah duduk di situ, artinya aku harus menahan napas untuk tidak membuat keributan berarti. Maka aku memutuskan untuk berbaring saja, menatap punggungnya yang rapuh, memperhatikan gerakan jemari tangannya yang sedang mengetik, mengagumi otot kakinya yang kekar lantaran dipakai berjalan kaki lebih dari lima jam sehari.

Ia tak beranjak dari kursinya sampai tengah hari. Aku tak beranjak sampai ia menghampiriku dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa kau tidak membuatkan aku kopi?”

Aku menggeliat kecil. “Ini hari Senin. Akang bisa membuat kopi sendiri.”

“Itu tugasmu, bagian kesepakatan kita.”

“Tapi ini hari Senin, Kang.”

“Ya. Tapi itu tugasmu.”

Tak kusangka, bukannya memeluk dan menciumiku lagi—hal yang biasa dilakukannya di sela-sela menulis—ia justru turun dari ranjang dan melenggang menuju dapur kecil di belakang, menyeduh kopinya sendiri. Lagi-lagi aku mematung. Ia memang tak pernah marah. Hanya saja, ia selalu meninggalkanku dalam kebingungan. Aku selalu merasa kalah sebab tak bisa menebak apa yang ia pikirkan.

Sejak hari itu, aku merasa tak mengenalnya sama sekali. Setiap akan berangkat latihan teater di jam tiga sore, aku tak mencium tangannya lagi. Ia terlihat tak peduli. Ia hanya diam, entah marah atau tidak. Bila sudah saling diam, aku jadi serba salah. Aku bertanya, Akang akan mementahkan. Aku diam saja, Akang semakin membingungkan.

Jika ada lelaki yang mengantarku ke kontrakan setelah selesai latihan, Akang biasanya akan bertanya, siapa ia dan mengapa ia harus mengantarku. Aku pun menjawab seadanya, sejujurnya. Tapi, dua mata bulat di bawah alis tebalnya berkata lain. Aku tahu, ia sangat cemburu.

“Lain kali, naik angkot saja. Atau ojek.”

“Uangku sangat terbatas.”

“Minta saja padaku.”

Percakapan singkat itu berlangsung di depan pintu. Akang tak menggeser tubuhnya dari depan meja, tubuhnya tetap tegak menghadap monitor.

Malam ini, aku pulang sendirian. Setelah mengucapkan salam, aku langsung melangkah menuju toilet, tanpa menoleh ke arah meja. Di toilet tak ada satu pun sisa piring dan mangkuk atau alat masak yang kotor. Itu artinya, Akang belum makan seharian.

Setelah mandi dan mengganti baju, aku duduk di bibir ranjang, mengeringkan rambut dengan handuk. Sudah lewat jam sebelas malam dan Akang belum beranjak tidur. Itu artinya, ia sedang menyelesaikan deadline tulisan (biasanya pesanan) atau sedang ada ide mengganas dalam kepalanya, tak mau berhenti menderas.

“Akang belum makan?” Pertanyaan itu kuucapkan dengan sangat pelan. Sebenarnya, aku takut Akang terganggu. Tapi kutanyakan saja. Sebab, rasa khawatirku jauh melampaui ketakutanku.

Hening.

“Kang….” Aku tak berani mendekat. Menulis adalah momen sakral bagi Akang. Aku tak mau merusak itu.

Bunyi papan ketik yang ditekan per huruf memantul ke tembok. Dari bunyinya yang konstan dan cepat, aku tahu Akang sedang menulis tulisan yang sangat panjang. Kalau tidak cerita pendek, ya esai. Atau mungkin ia sedang meneruskan novelnya. Meski terbiasa menulis puisi, Akang mengaku sedang menggarap sebuah novel. Aku tak pernah membaca tulisannya yang belum jadi. Aku hanya diperbolehkan membaca tulisannya yang sudah terbit.

Tak ada jawaban. Aku pun diam.

Malam ini terasa begitu panjang. Karena tak mendapat jawaban, aku jadi tidak bisa tidur. Mataku terus menatap Akang yang duduk di depan laptop. Aku berbaring menghadap punggungnya. Banyak hal melintasi pikiranku. Pentas teater sebentar lagi. Ibu menyuruhku pulang bulan depan. Uang listrik dan air belum dibayar. Utang di warung semakin menumpuk. Barang-barang elektronik terbengkalai di pegadaian. Pikiran-pikiran itu beterbangan di sekitar kepalaku, membuatku semakin tak bisa tidur.

Gorden tidak ditutup. Kipas angin di langit-langit berputar sangat lamban. Tembok kontrakan berwarna suram. Seprai belum kuganti selama dua minggu. Baju kotor menggunung di ujung ruangan. Rambutku belum kering, sisa-sisa airnya membasahi bantal dan guling.

Sementara aku menatapnya, Akang masyuk menulis di depan laptop, tanpa menoleh sama sekali. Jika bisa, aku ingin sekali bertanya pada Tuhan, apa yang sebenarnya Akang pikirkan? Sebab aku tak pernah mengerti. Aku tak pernah bisa memahami. Meski berada dalam satu ruangan, aku merasa Akang berjarak jauh sekali. Bahkan, jarak yang membentang itu tak bisa kuukur sebab terlalu panjang dan gelap.

Kutarik selimut dari ujung ranjang. Selain mengetik, gerakan tubuh Akang hanya mengisap rokok dan membuang abunya tanpa pernah mengalihkan mata dari monitor. Aku menatap punggungnya sambil menelan ludah berkali-kali. Besok pagi ia akan pergi, nanti siang ia akan datang. Aku berjanji pada diriku sendiri, ia tak akan pernah melihat wajahku lagi.

Ayu Alfiah Jonas
Latest posts by Ayu Alfiah Jonas (see all)

Comments

  1. Kamal Suwargi Reply

    ending yang wow!

  2. Zaki Reply

    Ngakak baca di awal”, endingnya tak terduga. Cerpen yang keren

  3. Kesatria Pena Reply

    luar biasa……. menarik dan epik…

  4. Kal Reply

    Saya gagal paham mengapa cerpen ini bisa disebut luar biasa, keren, dan endingnya wow?

    • Initial A Reply

      Betul bung. Mungkin suruh mereka baca cerpennya om seno atau mas raga. Biar tau ending yg wow itu seperti apa.

  5. Alivia Sasa Reply

    Jatuh cinta pada seorang penulis adalah sebuah kenekatan. #sepakat #tos

    • Nova Anjas Safitri Reply

      Jatuh cinta pada seorang penulis adalah kenekatan:)
      Bagaimana jika jatuh cinta pada seorang yang pura-pura terlihat sibuk menulis, padahal hanya sedang menyibukkan diri tanpa tau alasan:’)

      • Ren Reply

        bagian terkerennya “jatuh cinta pada seorang penulis adalah kenekatan”.

  6. Arina Nafisatul Reply

    ini teh ending? ini ngapain baca ending… saya ngapain baca ending… T_____T

  7. Kreta Amura Reply

    Ada yang bisa jelasin maksud dari endingnya apa? hmmm

    • Dilz Reply

      Sepertinya istri si akang akan pergi meninggalkan akang. 😁 Gitu sih yg aku tangkap mah.

      • Jojo Reply

        Mereka belum menikah 🙈

        • Zahro Reply

          Aku pahamnya mereka udah nikah…..#jadibingung wkwkwk

  8. Yuni Gustisra Reply

    Endingnya blm ngerti😂

    • Kemal Hubby Reply

      Jawaban dari judulnya terletak pada endingnya. Cerpen + curhat

  9. khayrah Reply

    aku malah ikut terbawa suasana nya.. suka 🙂

  10. s-t Reply

    bagus

  11. Angelina Monita Vichario Reply

    Endingnya mereka putus karena akang terlalu cuek. Menurutku sih gitu.

    • Nur Ria Reply

      iya terus mau pergi sama orang yg sering antar si perempuan itu pulang dari teater kyaknya hemmm

  12. Latifah Febriani Reply

    Keren endingnya. Saya kira si aku adalah tokoh yang sabar, tapi ternyata dia udah gak kuat dgn pasangannya itu.

  13. chris setiawan adi putra Reply

    apakah mereka kakak adik?

  14. Hyemi Reply

    Endingnya gimana ini? Kenapa otakku tidak paham pada bagian akhirnya

  15. Wisnu Reply

    kalo tanya “luar biasanya di mana ?”, biasanya bakal ada yang bilang, “Dasar, emang ga bisa menghargai seni !”

  16. rin Reply

    tadinya berekspektasi kalo si akang ini nulis kisah tentang pasangannya, tapi open ending gak buruk juga sih

  17. Titik Hitam Reply

    Keren banget endingnya.

  18. Nur Ria Reply

    bagus sekali ceritanya:)

  19. Icha Reply

    Sebagai penulis saya memahami…

Leave a Reply to khayrah Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!