
Dari balik jendela apartemennya yang beruap embun, ia melihat pendar keemasan cahaya lampu jalan dipantulkan genangan leleh salju membentuk kolam, dan Jiwa tak bisa melupakan pengalamannya melewati bagian jalan tersebut—satu-satunya bagian jalan yang adalah lubang menganga—pada musim panas. Saheed, si Mesir, teman jalannya bilang, “Negeri ini sama buruknya dengan negara dunia ketiga,” sambil minum Coca Cola zero sugar ; kalengnya berwarna hitam, bukan sembarang hitam, namun hitam yang mengingatkan Jiwa pada warna tinta cumi-cumi, dan tulisan zero berwarna putih, seperti kapas, seperti salju. Menurut Saheed —yang punya persediaan lebih dari dua belas kaleng di kulkasnya—rasa Coca Cola zero lebih nendang dari Coca Cola biasa. “Kau tahu sensasi ketika soda seperti menampar tenggorokanmu, dan membuat otakmu seperti disengat arus listrik berdaya kejut rendah. Ugh, jauh lebih enak daripada orgasme. Coca Cola zero ini yang dibilang orang-orang new age sebagai orgasme kosmik. Coca Cola biasa seperti orgasme biasa. Eh, itu tadi bukan hasil pemikiranku. Savannah, pacarku, bilang begitu. Aku setuju saja. Kadang perempuan ada benarnya juga.”
Jiwa memperhatikan lubang di jalan, yang satu-satunya itu, berusaha menyingkirkan perkataan tentang orgasme atau orgasme kosmik dari otaknya. “Karena cuma satu bagian yang cacat, bisa saja ada sesuatu yang jatuh dan menghantam. Entah apa, ya? Menurut kau apa? Menurut saya meteor.” Pastor Michael, lengkapnya Michael O’Keefe, berdarah Irlandia-Yahudi mengatakan kepadanya untuk menghindari segala sesuatu yang berbau mesum atau porno, dan bila perlu lari sejauh mungkin dari godaan-godaan. Sebagai lelaki muda, dan pastor Michael yang juga pernah muda sungguh-sungguh memahami ini— jika ada godaan ia harus berlari, jika waktu dan tempatnya memungkinkan untuk berdoa, maka ia harus sesegera mungkin berdoa. “Santo Fransiskus dari Assisi melemparkan tubuhnya ke semak berduri untuk mengatasi godaan.” Kata Pastor Michael, masih dalam nada ‘aku sungguh mengerti yang terjadi pada dirimu, aku pernah muda’—membuat Jiwa nyaris meneteskan air mata karena tiba-tiba saja ada sebuah ruang dalam dirinya yang merasa ia sedang menerima cinta seorang ayah ; tak ingin terjebak pada sentimentalitas murahan itu, ia gegas berpamitan untuk pulang, dan menerima nasehat yang tak akan dilupakannya: kau tak boleh berpikiran mesum, seekor succubus tak akan melepaskan mangsanya begitu saja, dan pikiranmu bisa jadi pintu terbuka yang dilihatnya sebagai jalan masuk. “Tapi, perempuan ular dengan kaki bercakar serigala itu sudah diusir, kan?” Wajah Jiwa pucat, suaranya bergetar takut karena ia tak bisa melupakan malam-malam di musim semi ketika ia selalu didatangi perempuan telanjang dalam mimpinya, menghadiahkan persetubuhan-persetubuhan yang membuat segala dirinya terkuras habis, pucat-pasi persis jenazah yang hendak dikubur dan dirawat di rumah sakit karena kekurangan darah. “Ya, sudah diusir, tapi pasti cari celah untuk datang lagi. Iblis tidak mudah menyerah, Nak.” Pater Michael memberinya air berkat, garam dan rosario yang bulir-bulirnya terbuat dari kayu berwarna cokelat tanah lengkap dengan salib dan medali Santo Benediktus. “Ini, dan rutin misa, cukup. Kristus lebih berkuasa!” Perempuan itu tak lagi mendatangi mimpinya.
“Meteor? Kau terlalu sering nonton film Hollywood. Lubang itu ada karena pekerjaan yang tidak beres. Kelalaian manusia. Kalau karena meteor, pasti sudah heboh diberitakan di media-media. Pasti sudah ada yang meneliti. Ya, pokoknya, hebohlah. Lagipula, sejak kapan lubang itu ada?” Saheed mengernyit. Garis-garis di dahinya membuat ia terlihat seperti kakek-kakek. “Nah, sejak kapan? Musim gugur tahun lalu belum ada. Tiba-tiba di 1 November sudah ada. Kau ingat, kan? Kau yang menunjuk-nunjuk.” Saheed minum lagi Coca Cola–nya. “Tidak ada suara-suara aneh. Tidak ada berkas serpihan. Tiba-tiba saja. Ah, aku malah ikut-ikutan tolol.”
Sejak hari itu tak seorang pun di antara Jiwa atau Saheed yang mengungkit-ungkit lagi soal lubang di jalanan, dan jika melewati bagian jalan itu, Jiwa dan Saheed, kadang ditambah Ahmed dan Zain, selalu menyeberang. Jika kebetulan berjalan sendirian, Jiwa bahkan selalu menyeberang sejak dari kampus atau apartemennya, mengusahakan agar tak berada dekat lubang itu, seolah lubang itu lubang hitam yang bisa menghisap seluruh dirinya untuk dimuntahkan ke galaksi lain kalau bukan neraka. Kadang-kadang, selepas mengikuti sesi pengusiran setan bersama Pastor Michael di musim semi itu, ia menduga, jangan-jangan lubang di jalan itu adalah semacam portal, pintu keluar masuk incubus dan succubus. Namun, jika diingat-ingatnya pengajaran iman, iblis adalah roh muni yang bisa berpindah tempat seketika tanpa melalui portal, segera dilupakannya pikiran bodoh itu, dan didaraskannya berpuluh kali Salam Maria berbekal rosario pemberian Pastor Michael. Hari itu, dengan lebih sungguh-sungguh lagi, sebab sang pastor yang telah jadi bapak rohaninya, yang telah membimbingnya itu, meninggal dalam tidurnya pada pukul sembilan. Claire, staf rumah paroki menemukan sang pastor terbujur kaku di tempat tidurnya. Tubuhnya dingin. Bibirnya seperti tersenyum. Aroma mawar menguar di dalam kamar sempitnya yang disesaki oleh buku-buku karya orang kudus. “Dalam beberapa tahun, dia mungkin diangkat jadi orang kudus.” Komentar Claire, dituliskan pada laman facebook paroki St. Teresa dari Avila, yang dikomentari lebih dari seribu umat.
Beberapa telah menulis kesaksian tentang pengusiran setan, dan Jiwa tergoda mengetik kisahnya. Namun, setelah sejenak mempertimbangkan pilihan untuk mengetik atau tidak mengetik, ia memutuskan untuk mengetik “RIP”—ucapan standar. Tak seorang pun perlu tahu. Cukup ia, Pastor Michael, Tuhan, dan iblis betina itu yang tahu. Memandang-mandangi lubang yang telah jadi kolam kecil itu membuat suasana hati Jiwa jadi dingin-beku; malam murung, rembulan terkurung awan-awan tebal yang seolah mengepungnya dari segala arah untuk menutup jalur laju terang, dan mesin pemanas ruangannya tak berfungsi maksimal sehingga ia masih juga harus menahan gigil meski telah membungkus tubuh dengan dua sweater wol, celana dalam thermal dilapis celana katun tebal semata kaki, dan dua pasang kaos kaki.
(***)
Selimut melankoli musim dingin tak juga meninggalkannya. Jiwa bergerak malas, menuangkan moscato rose ke dalam gelas. “Minuman para pecundang!” kata Ahmad, diiyakan Saheed, ditertawakan Zain. Selalu ada keriangan di ruang tamu, namun ia memilih kembali ke kamar tidurnya, menyaksikan lagi pemandangan dari balik jendela. Seorang perempuan dan lelaki, tampaknya sepasang kekasih, bergandengan tangan. Jalanan licin. Siapa yang tak melangkah hati-hati, bakal terpeleset, dan dua orang asing itu cukup bodoh untuk berjalan dekat lubang yang telah jadi kolam. Jika terpeleset, lalu jatuh, bagaimana? Memang lubang berbentuk lingkaran itu tak dalam. Cuma empat belas sampai lima belas inci. Garis tengahnya sepanjang dua langkah kaki lelaki dewasa. Tapi, jika salah satu, atau bahkan keduanya terpeleset, malam romantis itu bisa berubah jadi petaka.
“Sungguh mengerikan. Mau berjalan-jalan ke suatu tempat tapi terjatuh. Kacau. Benar-benar kacatu.”
Ia merasa malu atas pikirannya sendiri, pikiran yang membayangkan kecelakaan yang bakal menimpa orang lain, seolah-olah sepasang kekasih yang bergandengan tangan itu tak bisa hati-hati, tak sanggup jaga diri. “Oiy, oiy, Jiwa, hendak jadi pahlawan di negeri orang?” tutur batinnya setelah darahnya mulai disesaki sedikit alkohol yang meninggalkan jejak manis-mawar di lidah. Hangat menjalar, mula-mula di dadanya, sebelum menyebar ke seluruh bagian tubuhnya yang lain.
(***)
Sirene ambulans menambah pekatnya takut. Lampu kedap-kedip dari mobil polisi menyingkirkan pantulan cahaya lampu jalan pada permukaan lubang yang telah jadi kolam itu sepuluh menit setelah menerima telepon dari Saheed. ”Kami mendengar suara tembakan, ya benar ada tembakan, Apartemen Birchwood. Ya, temanku melihatnya…” Ahmed terus-terusan menggumamkan “Laa Ilaaha Illallah” dan Zain rebah di sofa sambil menutup wajahnya dengan bantal, berteriak kencang, “Aku mau pulang ke rumah sekarang!” Ditimpali Saheed yang mengumpatnya “Bocah sialan, kau pikir kita punya pintu ke mana saja macam Doraemon?” Zain yang tak tahu Doraemon membalas sengit “Bedebah, siapa Doraemon? Tukang sihir kufur yang jual jimat di pasar-pasar di Mesir sana?”
Jiwa mengusulkan ketiganya agar tak keluar. Jiwa berteriak agar tak seorang pun keluar. Ia melihat segalanya. Lelaki yang menodongkan pistol ke dahi perempuan dan menarik pelatuknya tiga kali. Saat perempuan itu roboh, lelaki itu berlari.
“Jangan ke mana-mana. Siapa tahu ia masih berkeliaran di sekitar sini dan menembak semua orang. Kecuali kalau polisi mengetuk pintu. Jangan bodoh. Jangan tolol. Tetap di tempat. Tidak boleh ada yang mati lagi!”
“Kami memang tak mau keluar, Idiot. Dengan tampang arab begini, jangan-jangan kami yang diborgol! Ya, Tuhan, mestinya aku tak mengambil beasiswa ini, rasanya mau pulang!” Teriakan Zain, yang cicit tikus pada perangkap penangkap, terdengar lebih jelas di kuping Jiwa dibanding raungan sirene ambulans.
(***)
“Bagaimana rasanya jadi saksi di kepolisian? Apa mereka mencecarmu dengan pertanyaan-pertanyaan yang bikin kau stres?”
Lampu ruang tamu benderang. Savannah, Si Ceko, bugil, rebah-telentang ruang tamu setelah bercinta dengan Saheed di kamar; lenguh keduanya bersahut-sahutan selama sepuluh menit sebelum dibungkam sunyi yang ganjil. Kepalanya beralas dua bantal. Dari meja makan, tempat Jiwa menaruh sekotak pizza, wajahnya terlihat jelas: putih porselain, dengan rona kemerahan pada pipi, hidung dan dahinya. Savannah, Si Ceko, bugil… Tidak. Tidak. Ia tak bugil, ia menutupi tubuhnya dengan selimut, dan Jiwa-lah yang membayangkannya bugil. Whisky dalam botol di meja sofa tersisa seperempat saja. Jam sebelas malam. Beruntung lampu gantung di atas meja makan dimatikan sehingga ia berdiri di tempat yang remang-remang saja. Savannah tak bisa melihat dengan jelas perubahan pada wajah Jiwa yang bersemu juga kemerah-merahan karena tubuhnya mendadak seperti disesaki ribuan lebah yang berdengung-dengung memohon agar dikeluarkan, entah lewat rintih atau teriakan marah, atau… lenguh yang bertalu-talu dari rekaman otaknya sendiri, hasil mendengarkan Savannah dan Saheed.
“Jiwa, saya bicara denganmu.”
Sejak berpacaran dengan Saheed dan sering diajak ke apartemen, Savannah telah memposisikan dirinya sendiri jadi seperti seorang ibu, seorang kakak perempuan, tak hanya bagi Jiwa, tetapi juga Ahmed dan Zain yang kadang-kadang—seperti bayi—merengek-rengek minta dibawakan smirnoff atau budlight (menurut Savannah rasanya seperti air seni).
“Yah… mereka menyodorkan lima sketsa wajah setelah tanya-tanya. Laki-laki itu pakai topi kupluk. Jadi hanya rambutnya saja yang tak jelas. Bentuk mata, hidung, mulut, dagu, gampang saja dijelaskan. Gampang juga buat polisi menggambarnya. Tidak ada kesulitan. Cuma pilih satu yang paling mirip.”
Jiwa membuka kotak pizza. Tertinggal sepotong. Ia menarik kursi dan duduk, seolah keberadaan pizza itu sesuatu yang harus ia renungkan seperti ketika ia menghitung kemungkinan menganimasikan vektor-vektor tak bergerak untuk karya pertamanya di kelas podcast. Sialan, ia baru makan sepotong, mestinya masih tersisa lebih dari separuh! Kerakusan manusia memang tak kenal batas. Jatah teman pun disikat. Otaknya dengan cepat menghitung, siapa gerangan pelakunya. Mungkinkah Si Ceko yang kelaparan setelah bercinta? Zain sedang menginap di apartemen temannya. Ahmed, yang menghindari suasana canggung jadi semacam orang ketiga yang tak diharapkan kehadirannya ketika Saheed dan Savannah mulai bercumbu—sama seperti dirinya—belum keluar kamar. Si Ceko? Jiwa mengamati bibirnya, mencari tanda-tanda bekas makan pizza; barangkali ada minyak atau saos atau remah-remah roti.
Di benaknya muncul juga gambar-gerak lelaki yang menodongkan pistol, dan perempuan yang seketika roboh, terjatuh ke dalam lubang yang telah jadi kolam itu. Perut Jiwa seolah ditinju tangan tak kasat mata. Ia lapar, mual, dan jijik, sekaligus mengagumi raut Savannah yang terlihat perawan tak berdosa setelah melenguh-bersetubuh.
“Saya baca di situs berita. Perempuan yang kena tembak itu pelacur. Ia punya bayi yang umurnya delapan belas bulan. Tetangganya bilang, mereka sering melihat bayinya keliaran di halaman depan apartemen, berguling di rumput, cuma pakai kolor di musim gugur kemarin. Bayangkan, bayi itu kedinginan.”
Kelopak mata Savannah setengah terbuka. Tangannya berusaha meraih botol whisky, yang terlalu jauh dari jangkauannya, sehingga terdengar keluhannya “Ugh!” sebelum ia menampar halus pipinya sendiri agar melek, agar ia terbangun dan dengan kesadaran utuh mendengarkan Jiwa. Tak enak rasanya teler. Ucapan-ucapan yang keluar dari dirinya keluar begitu saja, tanpa dipikir dua kali.
“Mungkin dia tidak punya uang.”
Seorang perempuan tak mungkin tidak membelikan bayinya pakaian rangkap jika punya uang. Bagaimana mungkin ada perempuan yang mengabaikan tubuh dari tubuhnya, manusia lain yang kecil-ringkih-menggemaskan yang adalah perpanjangan dari dirinya sendiri?
“Mungkin kalau tidak mati, dia akan terjerat dalam siklus samsara dan menimbun karma buruk dari perbuatannya kepada bayinya, kau tahu, kan? Kejamnya… Syukurlah, bayi itu diambil orang dinas sosial.”
Savannah menggeserkan tubuhnya ke pinggir sofa. Masih mencoba meraih botol whisky. Ia terlihat seperti anjing laut yang bergerak malas ke darat. Mulutnya setengah terbuka. Kantuk seolah menghisap seluruh kemampuannya untuk bernapas. “Taik!” Ia gagal lagi.
“Masalahnya, dia melarat, Savannah. Tak mungkin ada seseorang mau jadi pelacur…”
Jiwa menggigit pizza. Dingin. Beku. Jika ingin, ia bisa memanaskannya di microwave. Tiga puluh detik saja. Lalu menghilang ke kamar. Berhadapan dengan jendela yang tirainya selalu ia tutup sejak peristiwa penembakkan itu; ia selalu merasa si perempuan, yang roboh ke dalam lubang yang jadi kolam, masih di sana, melotot kepadanya dari dunia orang mati sambil bilang: apa kau lihat-lihat? Dan, ia selalu menyesalkan juga kematian Pastor Michael. Jika bapa rohaninya itu masih hidup, ia bisa mengadu, mendapat saran penyejuk meski ia tahu saran yang diberikan tak pernah baru. “Berdoalah bagi keselamatan jiwa-jiwa di api penyucian.”
“Kau terlalu naif. Bisa saja dia mau ngeseks sekaligus dapat uang. Umurnya baru dua puluh tahun. Dia bisa kerja online, kerja paruh waktu. Atau apalah selain jadi pelacur. Banyak laki-laki brengsek di luar sana. Tapi dia ingin ngeseks. Saya berani bertaruh. Saya ini perempuan, saya tahu bagaimana tubuh perempuan bekerja.”
Savannah nyerocos tanpa sensor. Bicara tentang birahi yang sisa-sisanya masih menempel di tubuhnya, yang menggelenyar, yang mestinya takluk oleh kantuk atau jika ia tersadar, namun begitu leluasa bergerak cuma karena ia masih berada di alam antara itu; tak lelap namun juga tak sepenuhnya sadar.
“Mungkin dia tidak punya pilihan seperti yang kau sebutkan.”
“Atau, kau yang terlalu naif. Sudahlah. Dia dan laki-laki itu pasti terikat karma buruk dari kehidupan lalu. Dia mati agar tidak menimbun lebih banyak karma. Mungkin nanti dia terlahir kembali sebagai kura-kura berumur panjang untuk menebus dosa.”
Omong kosong Savannah menderas. Diperhatikannya Jiwa yang menatap kepadanya seolah ia binatang yang tak punya akal sehat. Jiwa menghitung-hitung kemungkinan yang akan terjadi jika ia membantu meraih botol whisky. Gelap. Tak ada kemungkinan yang muncul.
“Kau membenarkan pembunuhan? Sebaiknya kau tidur saja.”
Savannah tertawa kecil. Tertawa mengolok. Jengah Jiwa mendengar tawa yang seolah-olah berkata “Tahu apa kau tentang urusan ini?” Ia yang menyaksikan segalanya, namun Si Ceko yang baru saja melahap pizza dan menyisakan cuma sepotong saja, merasa ia tahu segalanya, bahkan sampai menilai-nilai segala. Tak cukupkah fakta bahwa ada seseorang mati terbunuh?
“Tidak. Tidak. Maksudku, begini, ada kekuatan yang lebih besar yang mengatur alam semesta ini. Si lelaki dan perempuan yang mati adalah bagian dari permainan takdir.”
Takdir selalu jadi kata yang disukai Savannah, dan ia yakin, takdir juga balik menyukainya sejak berpindah bersama ibunya pada usia tiga tahun. Meski awal hidupnya tak mudah, setelah usia sepuluh, ibunya telah jadi manajer perusahaan kosmetik. Takdir berpihak, selalu, pada mereka yang mau bekerja keras. Perempuan itu hanya seorang pemalas.
“Kau sedang membenarkan pembunuhan, Savannah. Itu menjijikkan.”
“Menjijikkan?”
Savannah bangun dari sofa, langkahnya sempoyongan.
“Apa saya tidak salah dengar? Kau bilang saya menjijikkan?”
(***)
Apa yang dikatakan Adam kepada Hawa sebelum makan buah terlarang itu? Apa yang dikatakan Hawa kepada Adam ketika sadar keduanya telanjang. Adakah raut penolakan sebelum buah itu tergigit? Adakah kata-kata selain perintah untuk menutupi rasa malu?
Jiwa berlari, meninggalkan Savannah yang sempoyongan menuju ke arahnya. Terdengar teriakan “Taik! Kau bilang saya menjijikkan?”
Malam itu, si iblis perempuan, succubus, kembali menghantui mimpi buruk Jiwa.
(*)
S.
Keren banget.