
Beliau adalah Bundar bin Ya’qub Abu al-Khair al-Maliki. Beliau termasuk bagian penting dari kalangan para sufi agung. Beliau merupakan seorang sufi yang sangat cerdas. Bahkan sangat terkenal bahwa beliau telah mengumpulkan banyak sekali ilmu pengetahuan di zamannya.
Sebagai testimoni, Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif pernah menyatakan bahwa pada masa mudanya dulu dia pernah berpuasa wishal, yakni menyambung puasanya dan tidak berbuka puasa di saat Maghrib tiba. Dia tidur di Masjid Jamik. Orang-orang menyalakan satu lampu untuk dia.
Malam itu turun hujan deras sekali. Lampu itu jadi padam. Ada seseorang yang mengetuk pintu masjid. Pelayan masjid tidak memberikan jawaban. Dada dia menjadi sesak karenanya. Dia pergi ke pintu masjid. Di saat itulah dia menyaksikan Syaikh Abu al-Khair al-Maliki berdiri sedang mau memasuki masjid.
Beliau memasuki masjid. Beliau duduk sebentar. Lalu dengan perlahan tapi pasti beliau mengeluarkan sapu tangan yang di dalamnya ada makanan. “Makanlah. Aku tadi dekat dengan ahlul bait. Mereka memberiku makanan. Tabiatku tidak bisa menerima. Dan aku tidak bisa makan sendirian. Hatiku terpaut denganmu.”
Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif tidak memiliki kesanggupan untuk menampakkan puasa wishal di sisi Syaikh Abu al-Khair al-Maliki. Kenapa? Ada apa sebenarnya? Tak lain karena kehebatan rohani beliau. Karena keagungan spiritual beliau. Sehingga Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif seolah tidak memiliki dirinya sendiri.
Akhirnya Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif makan bersama Syaikh Abu al-Khair al-Maliki. Setelah selesai makan, Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif menyatakan: “Syaikh, aku memiliki pertanyaan.” “Silahkan tanyakan,” kata Syaikh Abu al-Khair al-Maliki. “Kapankah kehidupan menjadi bersih bersama Allah?”
“Ketika perbedaan sudah diangkat.” Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif betul-betul takjub terhadap jawaban itu. Dan ketika ungkapan tersebut disampaikan di hadapan para sufi, mereka pun juga takjub. Bahkan mereka mengatakan bahwa mereka ingin mendengar langsung dari Syaikh Abu al-Khair al-Maliki.
Ketika mereka bertanya langsung kepada beliau, mereka mendapatkan jawaban bahwa apa yang telah berlangsung di waktu malam sama sekali tidak disebut-sebut lagi di waktu siang. Demikian pula sebaliknya. Sungguh merupakan jawaban yang tandas. Sebuah keikhlasan yang mencapai puncaknya.
Syaikh Abu al-Khair al-Maliki betul-betul merupakan anak sang waktu. Tidak terpaut hatinya baik dengan sesuatu yang telah lalu maupun dengan sesuatu yang akan datang karena keduanya sesungguhnya tak lebih dari sebuah ilusi, merupakan sesuatu yang sama sekali tidak nyata.
Satu-satunya yang nyata bagi seorang sufi adalah waktu kekinian. Ash-shufi ibn al-waqti=seorang sufi adalah anak waktu kekinian. Fokus seorang sufi adalah Allah Ta’ala di waktu kekiniannya itu. Tidak “melebar” kepada apa pun yang lain. Karena apa yang disebut sebagai yang lain itu adalah ketiadaan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025