KEDAI BAMBU DEKAT JEMBATAN

Dia bisa mengingat dengan jelas jalanan sedikit menurun itu; setelah rumah limas, sebuah jembatan kecil, lalu gerumbul bambu, dan dia—setiap kali bersepeda melewati jalan itu—akan berhenti sebentar untuk mendengarkan gerisik daun-daun bambu yang dielus-elus angin pagi, dan tangan kecilnya yang usil segera memungut sebutir batu di pinggir jalan, lalu melemparkannya ke sungai kecil yang mengalir tenang di bawah jembatan tempat sekelompok wader pari bergegas sembunyi di antara dedaunan kering yang luruh dari pohonnya. Dari tempat itulah, akan tercium aroma khas pagi hari: asap penggorengan, rempeyek, atau ikan asin yang baru diangkat dari wajan.

Namun, kini di tempat yang sama dia tidak bisa mencium aroma itu lagi. Barangkali situasinya akan sedikit berbeda jika dia bisa datang lebih cepat. Seminggu lalu, ketika ibunya menghubungi, dia masih berada di pelosok pesisir yang jauh dari kampung halamannya. Dia takjub—antara senang dan tidak menyangka—mendengar suara ibunya yang sudah lama tidak didengarnya. Namun, ketakjuban itu berubah menjadi kemurungan ketika ibunya mengabarkan sesuatu yang tidak pernah ingin didengarnya.

“Bulikmu tutup usia. Bulik Win ….”  Suara ibunya terdengar seperti sedang tersendat di seberang telepon. Menurut ibunya, Bulik Win masih sempat berjualan sebelum jatuh tertelungkup di depan kedai pada Sabtu pagi.

Kini, dia telah berhadapan langsung dengan ibunya yang telah menunggu di depan kedai. “Kata orang-orang di kampung, bulikmu itu tak pernah mengeluh soal penyakitnya,” jelas ibunya, mengulang kembali apa yang pernah disampaikan kepadanya melalui telepon. “Jarang ada yang tahu kalau dia punya darah tinggi. Waktu bulikmu ditemukan dalam keadaan semaput, itu karena darah tingginya sudah melewati batas, dan hanya bisa bertahan beberapa jam di rumah sakit.”

“Kalau saja lebih cepat sampai rumah sakit, mungkin masih bisa tertolong ya, Bu?”

Ibunya mengangguk ragu, seraya mengulurkan sebatang kunci—itu kunci kedai milik Bulik Win. Semasa hidup, adik kandung ibunya itu menghabiskan sebagian besar hari-harinya berjualan di kedai. Kedai itu berada di jalanan yang sedikit menurun tidak jauh dari jembatan kecil, hanya terpisah oleh gerumbul tanaman bambu yang tumbuh subur di lahan milik keluarga. Bambu itu terus bertahan dari tahun ke tahun. Orang-orang di kampung itu tahu, ke mana harus pergi jika suatu saat membutuhkan bambu. Mbah Taslim—kakeknya—tak pernah melarang orang-orang itu mengambil bambu, bahkan rebungnya, asal seperlunya saja dan tidak sampai merusak. Suatu kali di hari Minggu, sejumlah orang menebang bambu lebih banyak dari biasanya. Bambu-bambu itu mereka bersihkan, mereka jemur, mereka bentuk, ada yang dipotong-potong, ada yang dibelah. Di bawah komando kakeknya, bambu-bambu itu mewujud sebuah kedai setelah beberapa hari: kedai yang terlihat sederhana, antik, dan kuat.

Itu masa-masa selepas Bulik Win muda lulus Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA). Gadis berambut ikal sepundak itu, menolak untuk melanjutkan sekolah. Dia memilih tetap berada di kampung halaman ketimbang masuk perguruan tinggi di kota. Padahal, dia bukan berasal dari kalangan keluarga yang kurang berada. Sebagai orangtua, Pak Taslim sudah berusaha membujuknya, bahkan dengan sikapnya yang paling tegas. Namun, Win muda tetap bersikukuh dengan pilihannya. Pak Taslim tidak bisa berbuat banyak. Meskipun begitu, diam-diam—sepelan waktu berjalan—dia berterima kasih dengan pilihan anak bungsunya itu. Keberadaan Win membuat masa tuanya tidak terlalu sunyi dan menyedihkan. Apalagi setelah sendi-sendi kakinya kerap dihinggapi oleh nyeri-panasnya asam urat. Dia butuh seseorang tetap berada di dekatnya. Dan itu tidak mungkin didapatkannya dari istrinya yang telah berpulang terlebih dahulu, tidak lama setelah melahirkan anak bungsunya. Untuk harapan-harapan yang lain, Taslim bisa menggantungkannya kepada Ning, anak perempuan pertamanya yang tidak lain adalah kakak kandung Win. Ketika kedai bambu itu berdiri, Ning memasuki tahun ketiga pada sebuah perguruan tinggi negeri di kota.

“Apa Ibu belum memaafkannya?” ujarnya, setelah pintu kedai terbuka.

Ibunya menatapnya dengan kening berkerut. Tidak asing lagi, ibunya selalu menatapnya dengan cara seperti itu. Namun, kini lipatan di kening itu tampak lebih tua dan terasa lebih alami tanpa sapuan pelembab apa pun untuk mewakili sebuah perkabungan.

“Kamu tahu?” tanggap ibunya kemudian. “Ibulah orang pertama dan satu-satunya yang mengabarimu tentangnya.”

Ibunya tidak berlebihan soal itu. Meskipun tidak lagi tinggal di kampung halaman, ibunyalah satu-satunya yang sesekali menjadi penghubung dengan kehidupan masa lalunya di kampung tempat dia dilahirkan.

“Ibu tak ingin masuk?”

Ibunya tidak menjawab pertanyaan sederhana itu, hanya mematung beberapa langkah di depan pintu kedai yang menganga lebar. Serta-merta bau busuk menguar dari dalam. Sejak peristiwa mengenaskan itu, seorang kerabat dekat mengunci pintu kedai dan tidak seorang pun yang sempat membukanya kembali. Baru kini, setelah tujuh hari berlalu, ibunya menyerahkan kunci kedai kepadanya.

“Bagaimanapun, tempat ini harus segera dibersihkan,” ujarnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Ibunya masih bergeming. Bibir perempuan yang pernah merelakannya pergi jauh dari rumah itu terkatup rapat, tidak menampakkan sedikit pun tanda-tanda ingin masuk ke dalam kedai. Dia sempat terpikir untuk membujuk ibunya masuk, tapi tiba-tiba mengurungkan niatnya karena sesuatu hal yang pernah terjadi di masa lalu—dan dia tidak ingin membebani ibunya dengan ingatan semacam itu. Yang dilakukannya kemudian adalah membereskan semua yang berantakan agar kedai itu terlihat lebih terawat.

Sumber bau tidak sedap itu berasal dari masakan terakhir Bulik Win. Sebuah kuali dipenuhi sayur lodeh yang sudah dikerumuni jamur. Campuran daging pepaya mengkal, kacang panjang, kacang tolo, juga rebung, sudah tidak bisa dikenali secara saksama bentuk aslinya. Kuahnya yang telah mengendap, turut menyuburkan tumbuhnya sekumpulan belatung. Pada salah satu wadah, beberapa porsi lontong potong dadu berwarna kekuningan—sebagian menghitam karena jamur, terlihat nyaris seperti tape singkong yang sudah terlalu lama kedaluwarsa. Dia juga menemukan lauk kesukaannya dalam sebuah stoples kaca: ikan asin goreng tepung yang sudah berbau tengik ketika dia membuka tutupnya. Dalam beberapa wadah yang lain ditemukan bubuk kedelai sangrai, kerupuk puli, rempeyek kacang, juga sambal kacang. Dia memasukkan semua makanan basi itu ke dalam sebuah plastik, sebelum kemudian menampungnya dalam tong sampah yang teronggok di belakang kedai. Setelah mencuci semua wadah di dapur, dia menyapu lantai kedai yang dibaluri semen kasar. Kursi-kursi, hanya ada sedikit kursi—dua kursi kayu panjang dan dua kursi kayu berlengan pendek—dia bersihkan dengan kemoceng dan dinaikkan ke atas meja. Selama dia melakukan itu, ibunya mondar-mandir di depan kedai seperti seseorang yang sedang merasa tidak betah berlama-lama di suatu tempat. Hanya sekali saja dia melongok ke dalam untuk membuka sebuah obrolan sambil lalu.

“Di tempatmu yang sekarang, apa kamu juga pernah ketemu makanan kesukaanmu dulu?”

Dia menatap ibunya dan tertawa kecil. “Sesekali, Bu,” ujarnya. “Kalau ketemu orang Jawa Timur, terutama yang tua-tua, terkadang kami ngobrol soal makanan jadul. Tapi, ya cuma ngobrol saja, Bu.”

Sompil?[1]

Ibunya mengatakan itu seraya melangkah kembali ke depan kedai. Tentu, dia cukup sering membicarakan kuliner jadul kelas pekerja itu dengan seorang temannya yang berasal dari Tulungagung. Sebatas membicarakannya saja, hingga mereka bersumpah, bahwa suatu hari jika memiliki kesempatan menjenguk kampung halaman, hal pertama yang akan dilakukan adalah mencari warung atau kedai yang menjual makanan khas orang dusun itu. Kini, sumpah itu telah terpenuhi. Namun, terasa ada yang belum sempurna dan dia tahu penyebab utamanya adalah kepergian Bulik Win untuk selama-lamanya.

“Di sini, sudah mulai banyak orang yang jual makanan seperti itu,” ujar ibunya. “Di kota, malah sudah jadi menu pilihan untuk sarapan pagi.”

Setelah merampungkan tugasnya, dia menutup pintu, lalu bergegas menyusul ibunya yang tengah duduk di balai-balai bambu di bawah pohon jambu di depan kedai. Ibunya bercerita sedikit perihal perkembangan kampung halamannya yang kini sudah tidak ditinggalinya, termasuk bagaimana orang-orang lebih mudah mencari makanan semacam itu tanpa harus memasaknya terlebih dahulu, melainkan tinggal memesan di sejumlah warung atau kedai.

“Tapi kalau boleh jujur, rasa-rasanya sompil bikinan Bulik Win masih belum terkalahkan. Pedasnya, gurihnya…”

Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Gerak-gerik ibunya seolah-olah menahannya untuk mengutarakan kesan mendalam terhadap cita rasa yang khas dari makanan pengobat rindunya itu. Ibunya bukannya tidak pandai memasak, tetapi lebih sering tidak memiliki waktu yang panjang di dapur. Untuk makan sehari-hari, ibunya memilih memasak makanan yang lebih sederhana, yang lebih cepat disajikan. Ketika ibunya sedang tidak sempat memasak, hanya masakan Bulik Win yang menjadi penyelamat bagi dia dan keluarganya. Maka tidak heran, jika dia dan ayahnya ketika sedang di rumah, sering terlihat makan di kedai milik Bulik Win. Bahkan, jika suatu hari dirinya tidak muncul di kedai, Bulik Win akan mengirimkan makanan ke rumahnya.

Dia belum genap dua belas tahun ketika ibunya diterima menjadi seorang guru di sebuah Sekolah Dasar (SD) swasta di desanya. Sebagai wali kelas, orangtua perempuannya itu lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah. Sore ketika pulang ke rumah, rasa letih membuat ibunya hanya bisa memanfaatkan waktu beristirahat yang pendek. Selepas Magrib, ibunya harus kembali berkutat dengan tugas-tugas harian. Belum lagi, jika dirinya—anak perempuan satu-satunya—masih dibebani pekerjaan rumah dari sekolah, ibunya harus siap mendampinginya. Namun, adakalanya ayahnya berada di rumah dalam waktu yang lebih lama. Itu pernah menjadi masa-masa yang cukup menyenangkan bagi dia dan ibunya. Ibunya merasa terbantu karena sebagian urusan domestik bisa diselesaikan oleh ayahnya. Dia sendiri lebih gembira, karena ayahnya selalu memiliki alasan untuk mengajaknya bermain-main—sekadar jalan-jalan mengunjungi kota untuk membelikannya es krim. Ayahnya adalah seorang sopir truk sebuah perusahaan ekspedisi yang sering bertugas ke luar daerah.

“Sekarang, ibu punya lebih banyak waktu untuk memasak,” ujar ibunya, mencairkan kebekuan di antara keduanya. “Kapan-kapan, ibu akan masak sompil buatmu. Kamu mau, kan?”

Dia mengangguk. Senyumnya mengembang senang. Dalam beberapa kesempatan, ibunya pernah memasak makanan itu dan dia bisa menikmatinya. Namun, ketika lidahnya kembali bertemu dengan masakan Bulik Win, ingatan akan rasa masakan ibunya pelan-pelan menipis. Kini, dia mencoba menebalkan kembali ingatan itu: pedas-gurih lodeh, tekstur lembut lontong potong dadu, gurih-renyah rempeyek dan kerupuk puli, aroma intimidatif ikan asin yang membikin perutnya lebih cepat merasa lapar, dan tidak lupa bubuk kedelai sangrai—pelengkap yang nyaris sempurna bagi kelezatan sebuah hidangan. Namun, yang muncul terlebih dahulu justru ingatan tentang peristiwa pada malam celaka itu.

Itu malam yang dingin pada hari-hari bediding bulan Agustus. Ibunya sudah tidak lagi mengajar di sekolah yang lama. Wali kelas tiga itu pindah ke tempat yang baru, ke sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN) di kota kecamatan, mengikuti penugasannya sebagai guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jaraknya lumayan jauh dari rumah, dan hari itu ibunya pulang menjelang Isya. Di rumah sepi. Dia sedang berada di rumah kakeknya. Ayahnya sejak sore pamit pergi ke kota karena sebuah urusan. Sekitar pukul sembilan malam, ibunya menyusul untuk menjemputnya. Setelah mengobrol barang sebentar dengannya, ibunya tertidur di sofa ruang tamu. Ibunya baru terbangun sekitar pukul sebelas malam, dan langsung mengajaknya pulang. Dalam perjalanan pulang—yang jaraknya tidak jauh dari rumah kakek—dia mengatakan kepada ibunya bahwa hari itu Bulik Win menutup kedainya lebih cepat dari biasanya.

“Memangnya Bulik Win pergi ke mana? Kok, ibu juga tak melihatnya di rumah kakek?” tanya ibunya ketika itu.

“Kata Kakek, Bulik Win pergi belanja ke kota. Ayah juga begitu. Katanya, ayah ada keperluan di kota. Tapi ini sudah malam, kok belum pulang ya, Bu?”

Ibunya hanya manggut-manggut mendengar penjelasan singkatnya. “Mungkin urusan ayah belum selesai di kota. Kamu tahu, kan? Ayah kadang-kadang pulangnya memang agak malam.”

Setelah itu, dia tidak ingat apa yang dibincangkan bersama ibunya. Namun, dia bisa mengingat dengan jelas, bahwa malam itu ibunya menghentikan sepeda kayuh di depan kedai Bulik Win. Dia tidak tahu bagaimana cara ibunya mendapatkan kunci cadangan. Tiba-tiba saja ibunya bisa membuka pintu kedai dengan mudah. Itu malam yang dingin pada hari-hari bediding bulan Agustus. Suara musik dangdut lamat-lamat masih terdengar dari kejauhan—barangkali berasal dari rumah seorang warga yang sedang menyelenggarakan hajatan. Sementara itu, di dalam kedai terdengar suara-suara yang lain: dengkur halus yang saling bersahutan. Dalam keraguan, ibunya sempat menduga, barangkali ada makhluk lain yang sedang iseng mampir ke tempat itu. Dia sendiri bertanya-tanya, siapa yang tertidur di kedai bambu milik Bulik Win pada malam seperti itu. Segalanya menjadi benderang setelah ibunya menyalakan lampu. Sepasang lelaki-perempuan tengah tertidur pulas di lantai beralaskan tikar mendong, seperti baru saja melakukan sesuatu yang mendesak-desak dan melelahkan. Mereka saling bergelung. Si lelaki bertelanjang dada, dan si perempuan mengenakan daster tipis yang ritsleting-nya terbuka memamerkan kutang berwarna merah muda yang tidak terpasang sempurna di dadanya. Ibunya memekik tertahan dan dia melihat pemandangan yang akan diingat selamanya: sepasang lelaki dan perempuan itu adalah ayahnya dan Bulik Win.

Maka, sejak malam itu, ayahnya yang tidak sanggup menanggung malu, langsung pergi meninggalkan kampung dan tidak pernah kembali. Bulik Win tidak punya pilihan, dia tetap tinggal di kampung karena harus tetap menjaga kakek. Dia berkali-kali meminta maaf kepada ibunya dan mengakui tindakan lacur yang telah dilakukannya.

Hanya selang beberapa hari setelah peristiwa itu, ibunya membawanya pindah ke kota kecamatan. Mereka menempati sebuah rumah kontrakan tidak jauh dari sekolah tempat ibunya mengajar. Bertahun kemudian, ketika dia menjadi seorang gadis yang mulai mengerti mengapa sebuah pelukan bisa menyakiti, Bulik Win menemuinya. Dia masih ingat dengan jelas sosok yang sesekali masih dirindukannya itu, terutama ketika dirinya sedang ingin makan sompil atau makanan lainnya yang kerap dinikmatinya semasa kecil. Dalam kunjungan diam-diam itu, Bulik Win membawakan makanan kegemaran untuknya. Dia menerimanya dalam suasana hati yang bercampur aduk: antara kegembiraan yang samar, sedikit salah tingkah, dan selebihnya adalah haru.

“Terima kasih ya Nduk, bulik merasa senang kamu masih mau menyentuh masakan bulik,” ujar Bulik Win sebelum mengatakan sesuatu yang akan membuatnya bimbang. “Tapi bulik ragu, apa kamu masih mau menerima bulik kalau tahu kejadian yang sebenarnya…”

“Maaf…  Maksud Bulik, kejadian yang mana?” 

“Malam itu, kamu pasti masih ingat kejadian di kedai itu…”

Dia mengatakan dengan jujur bahwa dia memang masih mengingatnya. Namun, dia segera membayangkan sesuatu yang berbeda: bahwa ingatan masa kecilnya sedikit banyak telah menipunya. Bahwa dia tidak menginginkan apa pun yang akan membuat ayah dan ibunya berpisah malam itu.

“Itu sudah berlalu, Bulik,” ujarnya. “Jaraknya terlalu jauh dengan pertemuan kita hari ini. Bahkan, ibu tak pernah sekali pun menyinggung soal itu lagi.”

“Bulik juga tak bermaksud mengungkit-ungkit yang sudah lewat. Hanya ingin menyampaikan sesuatu yang bulik simpan selama bertahun-tahun. Kamu mau mendengarnya kan, Nduk?”

Jeda yang hening. Dia tidak ingin menebak apa pun. Pasrah saja dia menunggu Bulik Win melanjutkan apa yang semestinya ingin dikatakan.

“Selain hari itu, ada banyak hari lain di mana ayahmu diam-diam menemui bulik. Tapi bulik selalu bisa menolaknya, bahkan sewaktu ayahmu nekat mengajak bulik pergi meninggalkan kampung…”

Hening kembali. Namun, hatinya mulai beramuk. Dia telah mempercayai Bulik Win untuk waktu yang lama dan ingin terus melakukannya. Kini, ketika Bulik Win menyibak sesuatu yang tak pernah tampak dalam diri ayahnya—terutama dari pandangan kasat matanya sebagai anak usia belasan—serta-merta dia membandingkan perempuan itu dengan ibunya. Nyaris seperti ibunya, paras Bulik Win memiliki daya pikat yang lembut dan awet, yang tidak mudah dijelaskan bahkan oleh seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta. Satu-satunya hal paling terang yang membedakan dengan ibunya adalah bentuk kakinya. Semasa sekolah, sejumlah teman lelakinya kerap memanggilnya dengan Win Pengkor—panggilan ini juga berlaku di kampung, terkadang disebut-sebut orang dalam obrolan sambil lalu dan secara diam-diam. Meski sejak balita kerap mendapatkan perawatan dari tukang pijat bayi, tapi pergelangan kaki sebelah kanannya tetap saja terpiuh sedemikian rupa ke dalam, sehingga membuatnya benci setiap kali melihat sepatu atau sandal.

“Kalau itu benar, apa Bulik berani sejujur ini kepada ibu?”

Bulik Win menatapnya, lalu menggeleng lemah.

“Kenapa?”

“Nduk, coba lihat Bulik dengan teliti.” Suara Bulik Win terdengar mengiba. “Siapa yang akan percaya, seorang laki-laki bertampang Arjuna seperti ayahmu menginginkan perempuan cacat seperti bulik? Tak tahu kenapa, bulik hanya berani menceritakannya kepadamu. Maafkan bulik…”

Bulik Win memeluknya dengan hangat sewaktu hendak meninggalkannya. Seketika dia berharap bahwa itu bukan pelukan yang bisa menyakiti siapa pun, termasuk hatinya. Dia juga tidak ingin ada pelukan lain yang menyakiti ibunya, seperti pelukan seorang ayah kepada perempuan lain—seperti pelukan ayahnya kepada Bulik Win pada malam bediding itu.

“Kapan kamu kembali ke pulau?”

Pertanyaan ibunya menariknya kembali dari ingatannya terhadap Bulik Win.

“Lusa, Bu.”

Setelah jawaban yang singkat itu, dia kembali terdiam, begitu pula ibunya. Keduanya terlihat seperti sedang tidak ingin melakukan apa pun selain menikmati gerisik daun-daun bambu yang merentangkan jarak panjang dari masa lalu. Angin menjelang siang bulan Agustus terasa kering dan dingin—terkadang diselingi debu tipis yang beterbangan dari pinggir jalanan ber-paving. Cuaca mulai terik, tapi daun-daun jambu di depan kedai melindungi mereka dari siraman cahaya matahari.

“Setelah kakek dan bulikmu tak ada, kamulah yang akan tinggal di rumah limas, kalau sudah waktunya pulang nanti,” ujar ibunya.

Dia menoleh ke ibunya dan dahinya mengedut. Ibunya menatapnya dengan cara yang sama.

“Apa Ibu tak ingin pulang ke kampung ini?”

“Kalau kamu tinggal di sini, ibu akan sering ke sini. Atau kamu yang akan sering berkunjung ke kota, ke rumah yang sudah bertahun-tahun kamu tinggalkan itu.”

Bertahun-tahun lalu, dia meninggalkan rumah itu—hanya berbekal hasrat petualangan yang kuat dalam dirinya. Meski melalui hal yang tidak mudah, akhirnya dia bertemu dengan orang-orang yang tepat. Dia senang dengan pekerjaan barunya: tergabung dalam sebuah tim peneliti kawasan pesisir di Nusa Tenggara Barat. Sejak saat itu, belum pernah sekalipun dia melihat rumah itu lagi—sebuah rumah kecil di kota yang akhirnya bisa dibeli oleh ibunya.

“Bagaimana dengan kedai ini?”

“Kedai dan tanah ini sudah jadi hak milik bulikmu,” terang ibunya. “Mungkin bisa disewakan dan uangnya bisa disumbangkan ke masjid, atau panti asuhan. Tapi ibu tak pandai mengurusi hal seperti ini…”

Tidak lama setelah mengatakan itu, ibunya bangkit dari balai-balai bambu dan berjalan menuju rumah limas. Dia bergegas menyusulnya. Tiba di jembatan kecil, dia berhenti untuk memungut sebutir batu dan melemparkannya ke sungai. Dia tidak menemukan wader pari di antara lumut dan semak kangkung yang tumbuh menggantikan air yang telah menyusut.

“Bu…” ujarnya seraya memandang ke bawah jembatan. “Apa Ibu benar-benar belum memaafkannya?”

Ibunya yang masih berdiri di sampingnya bergeming saja, seolah membiarkan dia mengulang pertanyaan itu sekali lagi.

“Ibu tak begitu sedih sudah berpisah dengan ayahmu,” tanggap ibunya kemudian. “Yang paling membuat ibu sedih adalah kenyataan bahwa ada bulikmu di sana. Kamu tahu, bahkan sebelum malam itu, ibu pernah berpikir dan yakin akan memergoki ayahmu dengan perempuan lain. Bukan dengan bulikmu. Kamu tahu, ibu juga menyayanginya…”

Jawaban ibunya itu sudah lebih dari cukup. Dan dia tidak ingin menyinggung persoalan itu lagi. Kini, dia kembali berjalan bersisian dengan ibunya menuju rumah limas, meninggalkan jembatan kecil, sungai kecil yang menyusut, gerumbul bambu, dan sebuah kedai bambu di belakang punggungnya. ()

Kolomayan, 2 September 2024


[1] Sompil merupakan makanan tradisional-jadul yang cukup populer di wilayah Mataraman Jawa Timur.  Isi utama kuliner legendaris ini adalah lontong dan sayur lodeh. Biasanya lontong yang sudah dipotong dadu, dihidangkan bersama sayur lodeh—perpaduan daging pepaya, kacang panjang, kacang tolo, rebung—ditambah rempeyek, ikan asin, kerupuk, juga bubuk kedelai sangrai sebagai topping.

Tjak S. Parlan
Latest posts by Tjak S. Parlan (see all)

Comments

  1. Abduhfikri Reply

    Sangat seru

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!