Ketidakadilan Sosial, Materialisme, dan Hedonisme

Ketidakadilan Sosial, Materialisme, dan Hedonisme
Ketidakadilan Sosial.

Judul               : The Happy Prince and Other Tales

Penulis             : Oscar Wilde

Penerbit           : Gramedia

Tanggal terbit : Februari 2017

Desain sampul : Staven Andersen

Editor              : Nina Andiana

Tebal               : 136 halaman

ISBN               : 978-602-03-3563-6

Harga              : Rp 40.000,00

Versi asli kumpulan cerita anak The Happy Prince and Other Tales yang terbit pada bulan Mei 1888 terdiri dari lima cerita, yaitu “The Happy Prince”, “The Nightingale and the Rose”, “The Selfish Giant”, “The Devoted Friend”, dan “The Remarkable Rocket”. Gramedia Pustaka Utama, yang menerbitkan versi berbahasa Inggris-nya di Indonesia untuk kali pertama, menambahkan “The Sphinx without a Secret”, yang pertama kali muncul di koran The World pada bulan Mei 1887, dan “The Birthday of the Infanta”, yang pertama kali terbit pada tahun 1891 dalam antologi House of Pomegranates.

You’re No Longer Useful if You’re No Longer Beautiful

Ini adalah kali kedua saya berkenalan dengan Oscar Wilde lewat karyanya. Kesempatan pertama saya alami ketika membaca Lukisan Dorian Gray terjemahan Penerbit Laksana. Nah, di kesempatan kedua berkenalan dengannya ini, saya baru mendapat kesan humoris Wilde. Misalnya, dalam “The Remarkable Rocket”, saya tertawa saat si Halaman berhasil menyenangkan Raja sehingga beliau menaikkan gajinya dua kali lipat. Bagian lucunya adalah, si Halaman sebelumnya tidak mendapatkan gaji sama sekali, sehingga niatan Raja tak ada gunanya. Yah, dua kali nol sama dengan nol, kan?

Buku kumpulan cerita ini mengembuskan ruh yang mengingatkan saya akan Lukisan Dorian Gray, tepatnya tentang paham estetika. Paham ini berkembang di Eropa pertama kali pada pertengahan abad ke-19 sebagai suatu pergerakan seni. Prinsipnya, “Art for art’s sake[1] berarti bahwa seni berada di atas segalanya dan kesenangan bisa ditemukan pada hal-hal yang indah[2]. Dalam Lukisan Dorian Gray, prinsip yang nantinya berhasil “meracuni” Dorian—hingga ia menjual jiwanya agar bisa muda selamanya—ini disuarakan secara agresif oleh Henry Wotton.

Dalam The Happy Prince and Other Tales, prinsip ini disuarakan nyaris secara sambil lalu. Dapat kita jumpai, antara lain di cerita pembuka, “The Happy Prince”, saat Profesor Seni berkata, “As he [patung si Pangeran yang Bahagia] is no longer beautiful he is no longer useful,” (hlm. 21). Awalnya memang patung itu sangat indah, tapi setelah ia meminta si Burung untuk memberikan batu-batu indah dan lapisan emas yang menghiasinya kepada rakyatnya yang miskin, ia jadi tak lebih dari patung yang jembel.

Dalam “The Birthday of the Infanta”, para Tulip di taman istana Raja Spanyol mencibir si Cebol, “He is really far too ugly to be allowed to play in any place where we are,” (hlm. 117). Meski para Bunga mengejeknya, si Cebol tetap menari dengan percaya diri. Yah…, sampai tak sengaja ia melihat cermin dan menyadari bahwa fisiknya ternyata sungguh mengerikan. Akhirnya tidak menyenangkan, baik bagi si Cebol, bagi sang Putri, dan bagi sang Raja sendiri. Tidak seperti Beauty and the Beast, yang si pangeran buruk rupanya pada akhirnya menjadi ganteng kembali, si Cebol buruk rupa di sini tak punya kesempatan untuk berdansa dengan sang Putri, apalagi menjadi ganteng.

Ketidakadilan Sosial, Materialisme, dan Hedonisme

Setelah “diracuni” oleh serangkaian khotbah Henry, Dorian menjalani kehidupan mudanya yang menyenangkan dengan bersenang-senang. Di dalam kumpulan cerita ini, Wilde menggambarkan betapa penguasa dan pejabat bersikap materialistis dan hedonistis—seperti Dorian—sedangkan rakyat jelata menderita. Di bagian awal “The Happy Prince”, saat sang Pangeran memperkenalkan diri pada si Burung Layang-layang, secara eksplisit Wilde sudah memperkenalkan idiom “sans-souci” sebagai nama istana tempat sang Pangeran dulu tinggal. Secara harfiah, “sans-souci” berarti “tanpa kekhawatiran”.

I did not know what tears were, for I lived in the Palace of Sans-Souci, where sorrow is not allowed to enter. […] Round the garden ran a very lofty wall, but I never cared to ask what lay beyond it, everything about me was so beautiful. My courtiers called me the Happy Prince, and happy indeed I was, if pleasure be happiness. So I lived, and so I died. And now that I am dead they have set me up here so high that I can see all the ugliness and all the misery of my city, and though my heart is made of lead yet I cannot chose but weep.” (sang Pangeran, hlm. 9)

Dalam cerita selanjutnya, “The Nightingale and the Rose”, materialisme mewujud dalam karakter putri Profesor. Si Bulbul telah mengorbankan nyawanya demi menghidupkan setangkai mawar merah. Ini berawal dari si Murid yang mengeluh karena ia tak bisa menemukan mawar merah di kebunnya, padahal ia membutuhkannya untuk diberikan pada si putri Profesor agar mau pergi ke pesta dansa dengannya. Nahas, si Bulbul mati sia-sia karena gadis itu lebih memilih pemuda kaya daripada si Murid. Dan si mawar merah berakhir terinjak roda gerobak.

Tokoh yang lebih menyebalkan lagi adalah si Tukang Giling yang kaya di “The Devoted Friend”. Dengan begitu percaya diri, dia mengklaim diri sebagai sahabat yang penuh pengabdian bagi Hans, padahal ia tak pernah melakukan apa pun bagi Hans. Sebaliknya, Hans yang miskin melakukan semua permintaan si Tukang Giling. Hasil kebun bunga, yang merupakan sumber penghasilan Hans, bahkan diberikan kepada si Tukang Giling saat dengan tidak tahu diri ia memintanya. Kisah klasik ini masih relevan di dunia sekarang, saat kemerosotan moral menggerogoti empati manusia. Yang kaya menindas yang miskin; yang licik menguasai yang lugu. Si penindas bahkan yakin bahwa yang mereka lakukan itu benar. Lewat si Tukang Giling, Wilde juga mengatakan bahwa di dunia yang moralitasnya terjungkal, pencitraan lebih penting daripada aksi nyata.

Lots of people act well, but very few people talk well, which shows that talking is much the more difficult thing of the two, and much the finer thing also.” (hlm. 50)

“The Remarkable Rocket” juga dihuni tokoh super-menyebalkan setara si Tukang Giling, yaitu si Roket. Tokoh ini sangat yakin bahwa ia hebat, padahal sebenarnya ia hanyalah sangat sombong. Namun, tidak seperti si Tukang Giling yang bisa tetap hidup dengan nyaman, si Roket merasakan akibat dari kesombongannya. Nah, pada akhirnya saya mempertanyakan, apakah sang Pangeran yang Bahagia benar-benar bahagia? Atau, si Raksasa yang Egois benar-benar egois? Juga, apakah Nyonya Alroy dalam “The Sphinx without a Secret” benar-benar misterius seperti yang dikira Tuan Murchison? Tapi tentu saja, si Roket yang Hebat tidak benar-benar hebat.

Saya pikir, buku ini tidak benar-benar untuk anak-anak, tetapi “untuk saya”, yang dikamuflasekan dalam bentuk cerita anak. Seperti kata Wilde sendiri, yang dikutip oleh Penerbit Penguin[3], kumpulan cerita ini “… not for children, but for childlike people from eighteen to eighty”.

Akhirnya, berhati-hatilah, para pembaca yang kurang menyukai cerita yang berakhir tragis. Meski ada tokoh putri dan pangeran, dalam buku ini, Wilde tak akan menyuguhkan cerita putri dan pangeran yang hidup bahagia selamanya. Ini bukan Beauty and the Beast, ngomong-ngomong.[]

[1] http://www.britannica.com/EBchecked/topic/7474/Aestheticism

[2] http://www.vam.ac.uk/content/articles/s/style-guide-aestheticism/

[3] http://www.penguin.co.uk/ladybird/books/1051307/the-happy-prince-and-other-tales

Frida Kurniawati

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!