Negeri Dongeng: Tujuh Pendaki, Tujuh Mata, Tujuh Gunung

Negeri Dongeng. Sumber gambar:

“Gunung itu ibarat mimpi. Mimpinya nggak ke mana-mana, sama kayak gunung. Tapi bagaimana caranya kita ngejar mimpi.”

 

Mendaki gunung sepertinya sedang jadi salah satu tren kids jaman now. Ada yang mendaki karena pengin difoto bareng sama gerumbulan edelweiss. (Syukur-syukur foto doang, nggak plus memetiki bunga itu.) Ada yang pengin biar bisa unggah di Instagram foto di puncak pakai hestek semacam #pendakicupu, lalu menandai akun-akun komunitas pendaki dengan harapan fotonya dipos ulang, yang ujung-ujungnya adalah harapan menambah jumlah likes dan followers. Ada yang pengin kemah di pinggir Segara Anak biar bisa nyalain kembang api terus teriak-teriak kayak lagi nonton konser. Eeet dah! (Padahal di tenda sebelah ada yang pengin menikmati suasana malam di alam bebas sambil dengerin nyanyian serangga dan memandangi bintang. Nahas.)

Ada yang mendaki karena memang itulah kecintaannya. Jenis yang terakhir ini biasanya posesif akan gunung, menganggap para pendaki lain yang membawa segala hiruk-pikuk itu adalah gulma atau benalu belaka. Ada juga yang mendaki untuk melakukan misi tertentu, seperti bikin film dokumenter. Inilah yang dilakukan oleh tim Aksa 7 Artspedition demi memproduksi film Negeri Dongeng. Namun jika mereka ditanya, apa sebenarnya tujuan mereka melakukan perjalanan itu, mungkin mereka akan menjawab, “Ya demi perjalanan itu sendiri.”

Negeri Dongeng lahir dari ide yang dicetuskan pertama kali oleh Anggi Frisca. Bersama lima teman sesama sinematografer lulusan IKJ yang juga sama-sama suka melakukan perjalanan—Teguh Rahmadi, Rivan Hanggarai, Jogie K. M. Nadeak, Yohanes Pattiasina, dan Wihana Erlangga—mereka memutuskan untuk mendaki tujuh gunung tertinggi di Indonesia dan membuat film. Tujuannya adalah mengenalkan Indonesia lebih dekat pada khalayak, terutama para pemuda. Mungkin agar para pemuda termotivasi untuk melakukan perjalanan. Mungkin untuk men-skakmat celetukan semacam, “Yaelah, mau lihat puncak gunung, gue tinggal ngepoin Instagram para pendaki. Mau lihat sunrise? Gue tinggal streaming YouTube.” Bagaimanapun, perjalanan yang sejati adalah perjalanan yang benar-benar dijalani.

Di setiap pendakian, mereka berenam ditemani satu ekspeditor tamu. Jadi, ada tujuh orang dalam setiap pendakian. Inilah kenapa rumah produksi mereka dinamai Aksa 7. “Aksa” dalam bahasa Sanskerta berarti “mata”. Dalam melakukan perjalanan itu, mereka tak hanya memandang lewat mata, tapi juga merasakan dengan mata hati, dan terus melangkah dengan mata kaki[1]. Sementara itu, angka tujuh mewakili tujuh ekspeditor, tujuh gunung, dan tujuh “mata” kamera yang melambangkan tujuh perspektif dalam merekam perjalanan itu. Tujuh mata yang berbeda ini juga mewakili keberagaman, yang sejatinya adalah mewakili Indonesia itu sendiri.

Negeri Dongeng dibuka dengan petikan dari Anggi Frisca, “Hidup adalah perjalanan, lakukan perjalanan untuk kehidupan,” kemudian tanpa ba-bi-bu, langsung dilanjutkan dengan potongan-potongan adegan, salah satunya adalah dialog perdebatan mereka saat perjalanan. Barulah setelah itu muncul timestamp November 2014, dan tiba-tiba mereka sudah mendaki Gunung Kerinci. Sebagai penonton yang masuk ke ruang bioskop cuma berbekal ingatan akan trailer film dan kenangan personal akan pendakian Rinjani dan Merbabu, saya justru butuh ba-bi-bu yang memadai di awal film. Saya membayangkan, betapa saya tidak akan kebingungan kalau di awal ada narator—ah, saya membayangkan itu narator dengan sudut pandang orang pertama berganti-ganti antara para ekspeditor—yang mengantarkan saya memasuki rangkaian pendakian itu dengan bekal yang cukup. Ini rangkaian pendakian dengan misi apa, sih? Siapa para pendaki ini?

Kerinci lewat begitu saja, saya cuma ingat adegan saat mereka mencapai puncak, dengan visual yang goyang, remang-remang, dan suara percakapan yang sayup-sayup. Maklum, karena pengambilan gambar dilakukan secara “gerilya”, di kondisi ekstrem dan mungkin juga dengan peralatan yang tidak terlalu neko-neko. Juga adegan saat mereka bercengkerama dengan para pemetik teh di lereng Kerinci. Sehari-hari mereka memetik teh, yang grade pertama dan keduanya diekspor, sedangkan yang dipasarkan di dalam negeri adalah grade ketiga. Bahkan para pemetik teh itu sendiri belum pernah mencicipi rasa teh dengan kualitas terbaik itu. Sampai kapan hasil terbaik alam negeri kita bukan milik kita sendiri?

Negeri Dongeng kemudian berlanjut ke pendakian Gunung Semeru. Dalam pendakian ini ada seorang ekspeditor tamu, Matthew Tandioputra, yang katanya adalah pendaki termuda Indonesia yang sudah mendaki tujuh puncak di Indonesia. Menariknya, saat adegan wawancara dengan pendamping Matthew, diungkapkan bahwa anak itu menderita ADHD, dan olahraga serta mendaki adalah terapi untuk meredakan ADHD-nya.

Kalau di Semeru ekspeditor tamunya adalah pendaki cilik, nah, yang menyertai rombongan Aksa 7 di pendakian Gunung Rinjani, Lombok, adalah seorang pendaki senior, Djukardi Adriana, atau yang lebih akrab dipanggil “Kang Bongkeng”. Selanjutnya adalah Gunung Bukit Raya di Kalimantan Barat, dengan perjalanan melewati hutan rimba yang terlihat masih jarang tersentuh manusia. Uniknya, sebelum memulai pendakian, para pendaki wajib menjalani ritual adat yang disebut “Ngukuih Hajat”, yang bertujuan agar mereka selamat sampai kembali[2]. Seandainya sepanjang adegan ini ada narator atau kepsyen yang menjelaskan tentang ritual tersebut, maka mungkin saya tak perlu gugling sekadar untuk tahu apa nama ritual itu. Medina Kamil menjadi ekspeditor tamu dalam pendakian ini. Dia sedikit bercerita tentang profesinya sebagai perempuan petualang yang kerap dipandang aneh oleh orang-orang di sekitarnya.

Negeri Dongeng menegangkan dengan caranya sendiri, seperti yang sering kita lihat di film-film survival, tapi di sini seluruh peristiwa terjadi secara nyata dan tanpa skenario. Saat mendaki Gunung Latimojong, Sulawesi, terjadi adegan yang paling menegangkan sepanjang film. Abex, sang ekspeditor tamu, mengalami cedera kaki akibat suatu kecelakaan. Bagaimana ia mengalami kecelakaan itu, bagaimana proses evakuasinya, betapa menyayat teriakan-teriakan kesakitan Abex, semua itu membuat mata saya tak bisa lepas dari layar dan hati saya ikut ngilu. Banyak pula adegan yang membuat hati saya bergetar—makin menggetarkan akibat soundtrack-nya, seperti musikalisasi puisi Sapardi “Pada Suatu Hari Nanti” yang diaransemen oleh Ari–Reda. Salah satu yang paling menggetarkan adalah adegan pembacaan Sumpah Pemuda di masing-masing puncak gunung.

Berikutnya, mereka sampai di pendakian gunung keenam, yaitu Gunung Binaiya di Pulau Seram. Darius Sinatria, ekspeditor tamu di pendakian ini, batal ikut mendaki karena suatu alasan. Setelah itu, cukup lama mereka rehat sebelum pendakian terakhir—yang tersulit dan termahal—Carstensz. Mereka sempat kekurangan dana sebelum pendakian terakhir ini. Namun berkat dukungan sponsor dan crowdfunding yang diprakarsai oleh para pendukung yang menyebut diri “Warrior Aksa 7”, mereka bisa menyelesaikan misi. Dana yang terkumpul dari para warrior itu akhirnya disumbangkan dan diserahkan langsung oleh rombongan pendaki kita bersama Nadine Chandrawinata ke sebuah sekolah di Papua. Pada pendakian terakhir ini saya diajak merenung tentang mimpi dan tujuan hidup.

Salah satu adegan yang sangat menyentuh adalah ketika mereka kehabisan air, lalu alam menyelamatkan mereka dengan menurunkan hujan deras. Dengan amat girang mereka menampung air itu dan menari-nari. Betapa lemahnya manusia di genggaman alam raya! Maka, pendakian ini pun mengajarkan manusia untuk tidak merasa superior terhadap makhluk hidup lain dan tetap menyadari bahwa ia adalah bagian dari alam itu sendiri.

Menyaksikan film ini adalah menyaksikan kehidupan itu sendiri, yang penuh perubahan dari waktu ke waktu. Misalnya, kita bisa melihat jelas bahwa Teguh makin lama makin kurus. Di salah satu pendakian ia juga sempat absen karena sakit hingga perlu diopname. Saat itulah, Anggi terlihat yang paling sedih, tampak dari adegan flashback saat ia teringat percakapannya dengan Teguh. Namun, alih-alih bikin saya terharu, adegan flashback itu malah mengganggu mood alur.

Meskipun di awal pengambilan gambar kurang bagus, makin ke belakang, pengambilan gambarnya makin bagus, begitu pula dengan suntingannya. Namun, saya pikir tampilan visualnya akan lebih bagus jika tone-nya dibuat lebih konsisten. Setiap pendakian menyiratkan pesan yang berbeda, tapi sesungguhnya berkaitan. Tapi bak anyaman yang polanya berantakan, pesan-pesan ini seharusnya bisa dirangkai lebih padu hingga membentuk pola yang utuh dan jelas. Dengan begitu, penonton tidak merasa seperti dilemparkan ke antah-berantah tanpa bekal yang memadai.

Terlepas dari itu semua, film ini berhasil menyuguhkan keindahan alam Indonesia dan keberagaman budaya masyarakat di sekitar gunung. Seperti misi yang diusung Aksa 7, film ini menunjukkan kebersamaan sejati—kebersamaan yang telah teruji di kondisi-kondisi ekstrem—yang tak memandang keberbedaan. Film ini berhasil membangkitkan dalam diri saya hasrat untuk melakukan sesuatu yang besar dalam hidup: suatu perjalanan, perjalanan jauh untuk menjelajahi “negeri dongeng”, seperti judul film ini. Bagi tim Aksa 7, Indonesia adalah negeri dongeng, dengan banyak tempat indah, banyak budaya unik, yang mungkin sebelumnya hanya pernah mereka baca lewat dongeng. Untuk apa memimpikan tinggal di negeri dongeng, jika sebenarnya kita sudah berada di dalamnya? Tinggal mau atau tidak kita menjelajahi dan melihat keindahannya lebih dekat.[]

[1] Wawancara dengan Tim Aksa 7 http://negeridongeng.co.id/news-update/aksa-7-artspedition-7-anak-muda-7-kamera-7-gunung.

[2] Sumber: http://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/menyusuri-hutan-rimba-khas-gunung-bukit-raya.

Frida Kurniawati

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!