Telinga Agama

Telinga Agama
Telinga Agama. Foto: Daniel Ortiz

Pada cerpen “Telinga Van Gogh” karya Moacyr Scliar yang menerima penghargaan Prize of Amerika di tahun 1989—yang diterjemahkan oleh Anton Kurnia dalam buku Cinta Semanis Racun (2016)—fungsi telinga yang lazimnya untuk mendengarkan berubah tak lebih dari sekadar sebuah labirin yang menenggelamkan. “Jika kau perhatikan sepotong telinga baik-baik—telinga siapa pun, apakah Van Gogh atau bukan—kau akan melihat bahwa benda itu dirancang amat mirip dengan sebuah labirin. Di dalam labirin itu aku lenyap dan tak pernah menemukan jalan keluar.

Berubahnya fungsi positif telinga untuk mendengar dan menyimak suara-suara kebaikan sangatlah relevan untuk menggambarkan bergesernya fungsi substansial agama pada sebagian penganutnya. Agama, tepatnya spiritualitas, yang oleh Viktor E. Frankl dalam Psychotherapy and Existentialism (1973) dilukiskan sebagai jalan eksistensial untuk mendapatkan “makna hidup” dan “kebermaknaan hidup” tampak makin jauh dari sophia perennis-nya (kebajikan-kebajikan abadi). Padahal, kita semua tahu bahwa semua agama secara ontologis mengajarkan keadilan, kebaikan, keadaban, dan kemanusiaan.

Hilangnya nilai-nilai kebajikan universal dalam lalu lintas sosial majemuk bangsa kita belakangan ini, misal, dengan merunyaknya klaim takfiri (kafir-mengafirkan), truth claim (klaim kebenaran), salvation claim (klaim keselamatan), penistaan atas nama agama (blasphemy), dan ujaran kebencian (hate speech), mencerminkan pergeseran fungsi substantif “telinga agama” itu. Ia pun, dalam tamsil Moacyr Scliar tersebut, menjadi tak lebih dari sebuah labirin yang membuat “aku lenyap dan tak pernah menemukan jalan keluar”.

Mengapa telinga suci agama bisa menjadi tuli?

Neurosis noogenik, inilah biang keroknya. Istilah kunci dalam psikologi eksistensial-humanistik yang dipopulerkan oleh Victor E. Frankl ini menunjuk pada situasi babak-belurnya dimensi spiritualitas manusia akibat depresi psikologis yang berkepanjangan. Frankl mencirikan pengidap neurosis noogenik ini dalam dua tipe: pertama, mengalami frustrasi eksistensial (bisa karena gagalnya keinginan, cita-cita, atau tujuan, termasuk yang bernuansa ideologis dan religius), dan, kedua, mengalami kehampaan eksistensial (perasaan hampa, gersang, bosan, meaningless, dan hopeless).

Pada derajat ini, dapat dipastikan bahwa depresi eksistensial itu dipantik oleh jauhnya kita dari asupan nilai-nilai spiritualitas. Manusia urban-modern yang mekanis akibat terjebak dalam rutinitas, kompetisi, hingga kemacetan menjadi contoh terbaik atas situasi dahaga spiritualitas ini. Wajar belaka bila mereka lalu berusaha “menemukan obat” neurosis noogenik tersebut. Dalam ungkapan Huston Smith di buku Kebenaran yang Terlupakan (2001), kaum sekuler itu berbondong-bondong mencari mata air spiritualitas melalui berbagai lembaga keagamaan demi menuntaskan rasa hausnya; untuk menyembuhkan perasaan meaningless-nya. Maka berlabuhlah mereka ke berbagai kajian, ritual, dan event-event keagamaan.

Sayangnya, dalam banyak kasus, telinga yang diasah untuk kembali tajam dan peka pada suara-suara spiritualitas itu, demi menyembuhkan depresi eksistensial itu, justru menjatuhkan mereka ke jurang depresi eksistensial lainnya, yakni perasaan spiritual paling benar dan paling selamat (truth claim, salvation claim). Neurosis noogenik pertama (dahaga spiritual) digantikan oleh neurosis noogenik kedua (arogansi spiritual). Penyakit lama digantikan oleh penyakit baru; telinga tuli pertama digantikan oleh telinga tuli kedua—yang sama-sama memberikan dampak depresi eksistensial. Dalam ilustrasi Scott Peck, situasi ini serupa dengan “jump from frying pan to the fire” (melompat dari panci yang mendidih ke dalam api).

Arogansi spiritual inilah yang dalam ekspresi sosialnya yang majemuk sangat rawan meletupkan ujaran-ujaran kebencian (hate speech). Keragaman pemahaman keagamaan yang sejatinya merupakan wacana manusiawi yang alamiah belaka—dalam studi Hermeneutika disebut “dampak logis penerjemahan ‘bahasa langit’ ke dalam ‘bahasa bumi’—bergeser menjadi klaim-klaim pongah yang menggerus mutu relasi antarmanusia.

Sangat mudah bagi kita untuk menemukan bukti-bukti nyata atas anomali absurd ini melalui runyakan debat kusir, serang-menyerang, hina-menghina, dan bahkan caci-memaki di sekitar kita—utamanya di sosial media. Di berbagai rumah ibadah, misal, teramat sering tersaji pidato atau khutbah yang tanpa tedeng aling-aling mendiskreditkan pihak-pihak lain secara vulgar dan disiarkan melalui speaker.

Anomali spiritual dalam ekspresi sosialnya ini jelas menisbatkan kemunduran keadaban (civilized society) yang meresahkan bagi keberlangsungan kualitas nation-state kita. Islam, misal, yang secara terminologis semata menahbiskan makna “keselamatan dan kedamaian”, kerap terekspresikan sedemikian berbedanya dengan filosofi tersebut. Narasi “takfir”, misal, menjadi begitu entengnya dideraikan. Parah lagi, justifikasi dalil-dalil normatif dipanggul ke sana-sini untuk meneguhkan klaim-klaimnya, dengan metode yang ala kadarnya, dangkal, dan tendensius.

Tiada cara lain untuk mengobati gangguan “telinga kedua” (neurosis noogenik) ini kecuali dengan mengembalikan spiritualitas, agama, kepada nilai-nilai substansialnya, yakni cinta dan kemanusiaan (rahmatan lil ‘alamin); dengan mengedepankan hati, karenanya berhati-hati. Bahwa segala macam pandangan, mazhab, aliran, dan sekte keagamaan sama-sama merupakan jalan spiritual untuk mendapatkan makna hidup (willing of meaning of life) yang dirasa tepat, cocok, dan memenuhi dahaga spiritual itu. Sikap toleran terhadap kemajemukan jalan itu mesti diterima sebagai khittah kemanusiaan belaka. Suara-suara yang mendengung di sekitar telinga spiritual kita biarlah tetap menjadi suara-suara alam yang menghadirkan orkestra kehidupan yang syahdu. Setiap upaya negasi kepada suara apa pun, atas nama kebenaran sekalipun, sama dengan menyumpal telinga sendiri pada merdunya orkestra kehidupan yang tentu hanya akan melahirkan labirin kesumbangan-kesumbangan.

“…telinga siapa pun, apakah Van Gogh atau bukan—kau akan melihat bahwa benda itu dirancang amat mirip dengan sebuah labirin. Di dalam labirin itu aku lenyap dan tak pernah menemukan jalan keluar.

Jogja, 9 Maret 2017

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!