
Memang tak mudah untuk senantiasa mengedepankan hati yang lapang dan legawa kepada pihak lain yang menganut, meyakini, dan mengamalkan Islam degan cara yang berbeda dengan diri kita. Ketidakmudahan ini pada dasarnya alamiah dan manusiawi. Tentu, sumber yang mendenyarkannya sulit adalah hawa nafsu. Jadi, kealamaiahan dan kemanusiawiaan tersebut berada di sisi golakan hawa nafsu kita.
Ketidakmudahan karena hawa nafsu ini seyogianya sekaligus membuhulkan pemahaman pada diri kita bahwa benarlah hanya “orang-orang tertentu” yang bisa mencapai derajat mendapatkan rahmat Allah Swt. Atau, dalam bahasa al-Qur’an, hanyalah “orang-orang yang dikehendakiNya”.
Secara logika, kita bisa bertanya-tanya: mengapa Allah Swt. hanya memilih sebagian orang dan tidak semua orang?
Tentu saja, Allah Swt. Maha Adil, juga Maha Pengasih dan Penyayang, kepada semua makhlukNya, tanpa kecuali. Jangankan manusia yang diciptaNya paling sempurna (ahsanu taqwin), bahkan kepada dabbah (makhluk melata) pun Allah Swt. senantiasa mengaruniakan Kasih dan SayangNya berupa rezeki dan kehidupan.
Kehamadilan Allah Swt. dihamparkanNya secara terbuka kepada semua manusia, tanpa kecuali, tidak pilih-pilih. Begitu muasalnya. Tetapi, pada fase selanjutnya, siapakah yang bisa menerima karunia rahmatNya, jelas tak semua orang.
Ketika al-Qur’an, misal surat al-Hadid ayat 29, mengatakan: “….mereka tidak punya kuasa sedikit pun kepada karunia Allah Swt. dan sungguh karunia Allah Swt. berada dalam kekuasaanNya yang diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya dan sungguh Allah Swt. adalah Dzat Pemilik karunia yang agung.”, ada banyak ayat lain yang menunjukkan bahwa “pilh-pilihnya Allah Swt.” tersebut berjalan seiring dengan kualitas kebaikan yang kita jalankan.
Kita telah membahas hal ini di bagian Hikmah SunnatuLlah Keragaman.
Pendeknya, karunia rahmat Allah Swt. berjalan seiring dengan seberapa kita bisa menguarkan kebaikan-kebaikan dalam hidup ini. Itu clue-nya. Dan kita dibebaskanNya untuk memperjuangkan hal tersebut atau tidak. Silakan saja. “Siapa yang hendak beriman, berimanlah, siapa yang hendak kufur, kufurlah….” begitu tegasNya dalam surat al-Kahfi.
Kepada urusan perbedaan pendapat di antara kita, apakah ia akan mengarahkan kita kepada jalan rahmat ataukah tidak, Allah Swt. pun telah dengan adil dan terbuka memberikan clue-nya kepada kita.
Lihatlah surat an-Nisa’ ayat 59: “Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kalian kepada Allah Swt. dan patuhlah kalian kepada RasulNya dan ulil amri (pemimpin) di antara kalian. Maka jika kalian berbeda pendapat dalam suatu hal, kembalikanlah ia (perbedaan pendapat tersebut) kepada Allah Swt. dan RasulNya jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir. Hal itu lebih baik bagimu dan lebih baik hasilnya.”
Saya ingin menukil dulu di sini penjelasan tafsir al-Mishbah, jilid 2, karya Prof. Quraish Shihab. Tafsir beliau ini amat menarik: lengkap, argumentatif dan rasional, serta kekinian kontekstualnya dengan khazanah kita. Kadangkala, walau jarang, berwangi sufistik.
Beliau—semoga Allah Swt. memberikan kesehatan dan keberkahan—mengatakan bahwa diulanginya kata “athi’u” (patuhlah, taatlah) dua kali di depan kata Allah Swt. dan Rasul Saw., mengandung makna hierarkis:
Pertama, kepatuhan kita kepada Allah Swt. (al-Qur’an) adalah mutlak tanpa pengecualiaan.
Kedua, kepatuhan kita kepada Rasul Saw. (sunnahnya) adalah mutlak tanpa pengecualiaan. Penyamaan kata “untuk dipatuhi” yang digunakan kepada Allah Swt. dan RasulNya melalui “athi’u” tersebut juga menisbatkan makna bahwa segala yang disampaikan dan diamalkan Rasul Saw. tidak ada satu kesalahan pun di hadapan ketentuan hukum Allah Swt. Segalanya.
Yang lalu menarik lagi ialah tidak digunakannya kata yang sama, “athi’u”, kepada ulil amri; ia menisbatkan makna bahwa boleh jadi ada bagian dari ketetapan atau hukum atau pendapat dari mereka yang tidak sejalan dengan kandungan nilai al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw., dan itu telah sangat tsiqah (kokoh, terang, muttafaq), kepada hal demikian boleh bagi kita untuk tidak mematuhinya.
Siapa yang dimaksud ulil amri?
Ini salah satu contoh betapa jenisunya tafsir al-Mishbah ini. Luar biasa.
Prof. Quraish Shihab menjelaskan tarkibnya, susunan kata dalam bahasa Arab, bahwa uli atau ulu bentuk jamak (plural) dari mufrad (single) “waliy”, yang artinya pemilik atau pengurus atau yang menguasai, sehingga ia memungkinkan bagi suatu jumlah yang banyak dan bahkan tak terbatas. Dalam detail saya, ia dengan sendirinya menunjuk bukan pada kemanunggalan guru atau fatwa, ketunggalan kebenaran fatwa atau pendapat ataupun sosok guru.
Kita bisa membayangkan di titik ini bahwa kemajemukan dan keragaman pendapat, fatwa, hukum memang adalah niscaya belaka yang telah diakomodir oleh ayat tersebut. Boleh jadi, Anda mengikuti seorang guru dan jamaah tertentu dengan fatwa tertentu dan itulah wali Anda, lalu saya mengikuti guru dan jamaah tertentu lain dengan fatwa tertentu lainnya dan itulah wali saya, dan dia mengkuti guru dan jamaah tertentu lain lagi dengan fatwa lain lagi dan itulah wali dia, dan seterusnya.
Semua guru, waliy, tersebut dapat dinyatakan sebagai bagian dari uli atau ulu tadi: yakni pihak atau orang yang memang ahlinya, kompetensinya, disiplinnya, wilayahnya, tugasnya, wewenangnya, dan sejenisnya.
Kemudian, menarik lagi kala Prof. Quraish Shihab menjelaskan makna “al-amri”, dari ulil amri, itu yang berbentuk ism makrifat, sesuatu yang jelas dan pasti, menunjuk kepada urusan-urusan yang sifatnya kemanusiaan dan keduniawiaan yang memang menisbatkan perkembangan, pertumbuhan, perubahan, pertambahan, pengurangan, dan pendek kata dinamika.
Dengan demikian, kita kini memiliki pemahaman yang terang bahwa derajat kepatuhan kita kepada seorang atau lembaga ulil amri adalah wajib sepanjang fatwa atau ketetapannya tidak bertentangan dengan kandungan terang (tsiqah, muttafaq) al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw. Jika misal ada seorang tokoh atau bahkan pemerintah yang membolehkan perzinahan, maka pada hal tersebut kita tidak boleh patuh. Tetapi pada hal-hal yang secara nilainya tidak terjelaskan dalam al-Qur’an maupun sunnah Rasul Saw., dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai prinsip keduanya, seperti “Bagaimana hukum Islam berbisnis secara online?”, maka fatwa ulil amri yang mengatakannya boleh, itu wajib diikuti.
Penting pula untuk dipahami di titik ini bahwa kewenangan ulil amri ini tak hanya terkait dengan landasan nilai-nilai terang tesktual al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw. Ia bisa meluas meliputi segala hal yang menjadi realitas hidup masyarakat, umat, dan membutuhkan pengaturan.
Maka boleh jadi ada guru atau pemimpin masyarakat, atau pemerintah, yang mendasarkan fatwa dan ketetapannya kepada asas-asas kemanusiaan, kemaslahatan, keadilan, kemajuan, ketahanan, dan sebagainya. Semua boleh, terbuka, sepanjang tidak bertentangan dengan kandungan sharih al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw.
Pada derajat kepatuhan kepada al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw., tentunya kita semua sepaham. Tidak mungkin ada muslim dan mukmin yang tidak mematuhi keduanya. Tidak.
Hanya memang, boleh jadi kepada ayat-ayat atau hadis-hadis tertentu yang multitafsir (mutasyabihat), lalu lahirlah perbedaan dan keragaman fatwa atau pendapat di antara para guru, tokoh, agama itu, atau ulil amri pada konteks ini.
Maka, bagaimana sebaiknya kita bersikap?
Mari, pertama, kita kembalikan saja hal tersebut kepada pengertian ulil amri di atas. Ia meniscayakan pluralitas, atau kemajemukan, secara muasalnya. Bentuk redaksinya ya jamak, maka maknanya pun menunjuk kejamakan.
Jadi, sedari awal kita mesti legawa menerima katakterbatasan orang atau pihak yang ahli, kompeten, dan berwenang dalam hal ini. Wajar bila buahnya pun tak terbatas. Upaya memanunggalkan muasal ini sama dengan pengingkaran kepada khittah yang telah ditetapkanNya begitu rupa.
Kedua, di antara kemajemukan guru, anutan, dan fatwa itu, kita bebas untuk memilih dan mengikuti yang mana saja, sesuai dengan keyakinan dan pertimbangan personal kita. Entah atas dasar kecocokan karakter, kedekatan ilmu, tradisi, kultur, latar belakang, tujuan, dan sebagainya.
Pada konteks fatwa murni, semuanya dapat dinyatakan sahih untuk digugu dan diikuti.
Sikap mensahihkan semua fatwa wali yang kita ikuti ini tentu tidak dimaksudkan untuk “berbuat seenaknya”, misal pilih sana sini, yang paling ngepasi dan ngenaki, lalu loncat sana sini bagai kutu air. Tidak. Ia murni dalam konteks keniscayaan alamiah suatu keragaman pemahaman dan fatwa.
Lalu, ketiga, segala perbedaan pemahaman dan fatwa itu finalnya hendaklah dikembalikan belaka kepada Allah Swt. dan RasulNya, yakni al-Qur’an dan sunnahnya Saw. sebagai rujukannya. Maksud dari ungkapan ini adalah senantiasa menjaga kemurnian niat, ilmu, dan tujuan dalam memahami dan manakwil al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw. semata untuk beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., bukan untuk main akal-akalan.
Jika ada pertanyaan: umpama ada seorang maling memberikan uang kepada Anda untuk infaknya di masjid yang Anda kelola, dan Anda tahu sumber uang itu nyata-nyata haram, apakah Anda akan menerimanya atau menolaknya? Jika Anda menolaknya atas dasar haramnya sumber uang itu, dan itu benar secara hukum fiqh, tetapi Anda meyakini uang itu hanya akan dipakainya berjudi, misal, dan menghindarkan diri atau orang lain dari kemaksiatan adalah wajib, dan ini hukumnya pun benar secara fiqh, lantas sikap yang benar buat Anda yang mana sesungguhnya?
Ini sekadar contoh pertanyaan yang seyogianya kita memurnikan niat di hati, dengan ketulusan, mengembalikan kepada Allah Swt. dan RasulNya. Sikap mana pun yang Anda ambil kemudian, secara fiqh benar semua, tetapi ketulusan niat di hati akan menjadi pembedanya dan itulah yang akan kita pertanggungjawabkan kelak di hadapanNya.
Terakhir, mari renungkan bagian-bagian akhir dari ayat tersebut: “kembalikanlah ia (perbedaan pendapat tersebut) kepada Allah Swt. dan RasulNya jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir. Hal itu lebih baik bagimu dan lebih baik hasilnya.”
Kita bisa menarik suatu pemahaman yang menukik ke ulu hati di sini bahwa rupanya kemampuan kita untuk menerima keragaman pendapat, menghormati pihak atau orang lain yang berbeda, merupakan indikator bagi kalimat “jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir”. Artinya, dengan ungkapan terbalik, jika kita tidak sudi atau enggan atau menampik menghargai dan menghormati kemajemukan pendapat dan fatwa para ulil amri, ia sebarisan dengan pertanda tidak/kurangnya iman kita kepada Allah Swt. dan hari akhir.
Bayangkan! Mengerikan sekali, bukan?
Sekali lagi, jika kita ngotot, ngeyel, atau memaksa dengan segala cara, apalagi menggunakan hina-menghina atau kafir-mengafirkan, kepada orang lain yang berbeda pendapat dan fatwa hukumnya dengan kita, karena berbeda guru atau wali dengan kita, sejauh apa pun perbedaan itu, ia adalah cermin langsung dari kelamnya iman di hati kita.
Bagian “Hal itu lebih baik bagimu dan lebih baik hasilnya” dapat kita pahami sebagai dorongan untuk senantiasa mengedepankan kemaslahatan dan keadaban antarkita, seberbeda apa pun, demi merawat harmoni bersama. Ia bicara tentang “dampak atau akibat”. Jika kita tak legawa kepada perbedaan pendapat, itu tanda kita tak mengembalikan urusan yang mana yang benar semata kepada wewenang Allah Swt. dan RasulNya, sekaligus cermin bagi lemahnya iman di hati kepada Allah Swt. dan hari akhir (dan sungguh ini status rohani yang amat fatal alias kufur), maka dampaknya antarkita adalah perselisihan, perpecah-belahan, dan permusuhan.
Logis sekali bila dikatakan dalam ayat sebelumnya bahwa mereka yang begitu adalah golongan manusia yang terus berselisih sehingga jauh dari rahmat Allah Swt.—kendati lisannya lebat dengan asma-asmaNya, ayat-ayatNya, juga hadits-haditsnya Saw. Secara lahiriah lisan, mungkin mereka mukmin, ahli ilmu agama, tetapi secara rohaniah, imaniah, mereka mengidap masalah yang sangat serius, yakni kurang/tidak iman kepada Allah Swt. dan hari akhir.
Sefatal itulah gambaran bagi siapa pun yang egois, penuh hawa nafsu, dan menang-menangan pendapat dalam berislam. Ya, separah itu. Na’udzubiLlah min dzalik.
Semoga Allah Swt senantiasa menjaga iman kita, merahmati kita. Amin.
Wallahu a’lam bish shawab.
Jogja, 27 September 2019
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
fitri
terimakasih atas nukilannya pak..
Vika Maulani
terimakasih telah membagikan tulisan yang bermanfaat ini, pak.