Si sakit masih terbaring di ranjang beralaskan tikar yang lanjut. Kewisek, pemuda berumur tiga puluhan tahun itu, mengidap penyakit aneh. Tak ada gejala-gejala ganjil pada fisik yang menandakan bahwa ia sedang sakit. Misalnya, suhu tubuh panas, luka bekas cedera, ataupun pembengkakan pada bagian tubuh lainnya.
“Kata dokter RSUD Larantuka, hasil rontgen menunjukkan bahwa Kewisek sehat,” terang ibunya terbata-bata sambil menyeka tetesan air mata yang pasrah meleleh di pipinya.
Sekali lagi, dipandanginya putra tunggalnya itu dengan hati hancur. Perlahan, bunyi derit pintu ditutup. Menghalangi perjalanan mata wanita tua itu dari ritus penyembuhan dalam lango belen[1].
Di luar, tangis ibu-ibu pecah ketika hujan tumpah. Tak sebanding dengan peluh yang mengucur deras di sekujur tubuh molang[2], si Mata Lusi[3]. Semadi penyembuhan kali ini adalah sebuah ziarah abadi. Dan ia tak ingin diusik oleh siapa pun. Ketika mulutnya mengunyah beberapa sirih dan pinang, rasanya seperti melumat takdir dengan gelisah tiada ujung. Ritus awal penyembuhan bagi Kewisek sepertinya akan gagal. Matanya tak sanggup membaca lebih banyak dari biasanya. Apakah para dewa telah mencabut kekuatannya? Mengapa tiba-tiba ia berpikir demikian saat ia perlu konsentrasi? Akhirnya, rasa sesak mengganjal di balik dadanya yang renta. Tetapi apakah itu, ia pun tak tahu. Dibukanya kelopak mata yang sedari tadi terpejam. Guratan wajahnya menyiratkan hal yang begitu ganjil. Rumit. Sirih pinang yang dikunyahnya kini semerah darah. Keyakinannya pun kembali: Ia telah tahu, ini darah punya siapa.
***
Kelahiran Kewisek merupakan mukjizat terbesar dalam keluarga ini. Bagaimana tidak, Rina, wanita yang lanjut usia itu, sudah tentu mustahil melahirkan anak lagi. Ditambah lagi berkurangnya perhatian dari Goleng, suaminya, membuat penderitaannya semakin lengkap. Di masyarakat, perempuan itu dijuluki mandul, sementara di dalam keluarganya ia disebut sebagai pembawa sial.
“Dasar perempuan pendosa! Hanya memberikanku seorang anak saja susah!” bentak suaminya sepulang dari cekdam[4].
Omelan serupa selalu ia santap ketika melakukan kesalahan kecil secara tak sengaja. Menghadapi semua itu, rasanya kesengsaraan hidup memang tak pernah sebanding dengan harapan akan sebuah surga. Ia masih ingat. Ketika senja gilang gemilang di ufuk barat, ia melangkah meninggalkan rumah.
“Goleng masih di desa tetangga dan lusa pula kembalinya.” Sesungging senyum perlahan tercipta di bibirnya ketika otaknya mencerna sebuah rencana baru.
Aku harus ke lewo okin[5]. Mungkin, di sana para leluhur akan mendengar keluh kesahku, batinnya dengan kebahagiaan meletup-letup.
Di bawah terang purnama, perempuan itu berlutut sambil menangis. Memohon pada kewokot[6] agar segera dikaruniai seorang anak. Berjam-jam lamanya wanita itu berdoa lewat tangisnya yang keras kepala. Lamat-lamat, suaranya mereda karena letih. Tumpukan jerami yang terbakar seakan bercokol dalam jantungnya. Tatapannya berkunang-kunang. Samar-samar. Tak jelas apa yang ditangkap kedua matanya. Seperti sosok seorang pria bermandikan cahaya berjalan pelan mendekatinya. Memapahnya menuju sebuah nuba nara[7]. Melumuri bibirnya dengan ciuman kekal, tak tercekal. Kesadarannya masih bekerja ketika kewatek[8] pembungkus tubuhnya perlahan terlepas dan sepasang jemari yang lembut membelenggu payudaranya.
Ketika jago berkokok dan fajar bertengger sejenak di ufuk timur, perempuan itu terjaga. Sekujur tubuhnya terasa lapang. Hanya sedikit sisa nyeri di antara kedua pahanya. Dilemparkannya tatapan ke segala arah. Memastikan mungkin saja ada orang di tempat itu. Sejauh mata memandang, tak seorang pun yang ia jumpai selain berderet kubur para leluhur.
Siapakah yang mendatangiku semalam? Ah, mungkin karena kelelahan, aku pun tertidur dan selanjutnya bermimpi, desisnya dalam hati sambil berjalan pulang. Satu hal yang membahagiakannya adalah kini ia merasa begitu bebas. Tanpa kesedihan. Tanpa air mata.
Kini, masa lalu yang pekat itu telah berlalu. Perhatian Goleng kepadanya meningkat. Mengecup keningnya sebelum ataupun sepulang kerja. Tak ada lagi omelan cemberut dan cibiran bibir dari tetangga. Sungguh, Kewisek adalah hujan pertama bagi kemarau di hatinya. Sungguh, betapa murah hatinya Rera Wulan Tanah Ekan[9] yang sudi mengindahkan doa dan air matanya. Sungguh, Rina, wanita lanjut usia itu, merasa terberkati dari antara semua wanita. Sungguh, tiada seorang pun yang tahu ketika perutnya mulai membesar dengan jabang bayi di dalamnya. Sungguh, orang hanya tahu ketika Kewisek terlahir begitu tampan.
Waktu bergegas menanggalkan ingatan yang lugas. Menyeret masa depan sekaligus menyamarkan masa lalu. Membesarkan seorang bayi menjadi pemuda tampan yang menyihir perhatian seluruh manusia. Bukan hanya cerdas dalam diskusi-diskusi adat, Kewisek juga ahli dalam mengobati orang sakit, apa pun penyakitnya. Maka berbondong-bondonglah manusia dari segala penjuru baik kota maupun desa memohon bantuannya. Kadang, hanya dengan menjamah ujung snae[10]-nya saja, si sakit segera pulih dari sakitnya. Bahkan ada yang kini berani menjulukinya nabi, putra dewa, dan titisan Rera Wulan Tanah Ekan. Sekejap saja, Kewisek telah menjadi primadona. Di sumur, orin[11], lango belen, dan berbagai kesempatan, orang ramai membincangkan kehebatan Kewisek.
Hingga di suatu malam yang ramah, seperti biasa, Kewisek sibuk melayani para tamu. Di tengah menunaikan ritus penyembuhan, Kewisek terjatuh dari ranjang. Menggelepar di tanah. Bagai seekor ikan yang tersesat di darat dengan insang mendamba air.
“Kewisek kerasukan arwah leluhur…!”
Demikian terdengar teriakan memecah keheningan malam yang rebah. Segesit kilatan petir, tersiarlah kabar menyedihkan itu ke seluruh penjuru daerah.
“Kewisek kerasukan arwah leluhur. Ia menjadi sakit. Dan kini sulit sembuh kembali.”
Memahami semuanya itu, aktivitas masyarakat pun terhenti. Beberapa menit. Beberapa jam. Beberapa hari. Beberapa minggu. Desa Nurri menjadi seperti seonggok bangkai kapal yang karam. Petani mogok melancong ke ladang. Anak-anak enggan bermain. Kegiatan belajar mengajar di sekolah bolong. Ternak absen mencicip rerumputan segar. Karena rasa kehilangan hadirnya sosok Kewisek, masyarakat tersihir untuk hening. Diam. Sepi. Tak terbayangkan betapa melumutnya duka di mata Rina, perempuan yang melahirkan Kewisek.
Karena kehabisan cara untuk menyembuhkan Kewisek dari kerasukan, massa pun meledak di halaman rumah. Mereka berbaris sambil mengusung Kewisek menuju Kabaleton Blolon, pemilik ua moge[12]. Sesajian penyembuhan berupa gebia[13], koli[14], arak, kabo[15], sehelai daun lite[16], braha[17], ayam jantan, dan kebi[18] pun dipersiapkan. Kabaleton Blolon rupanya sudah memperkirakan semuanya. Sorot matanya yang tajam memperlihatkan bahwa sesuatu yang buruk telah, sedang, dan akan terjadi.
Ritus lena manu telu[19] pun dimulai. Semua mata memandang dengan napas tertahan. Siapakah yang sanggup menyembuhkan Kewisek? Adakah orang yang memiliki kekuatan lain melebihi titisan Rera Wulan Tanah Ekan itu? Semua orang berpikir keras.
Dengan langkah penuh keraguan yang panjang, pemilik ua moge itu menemukan kekhawatiran yang mendalam di mata orang kebanyakan.
“Saudara-saudara, dari sekian dukun di daerah ini, hanya Sarabitilah yang sanggup,” ucapnya, diiringi senyum pendek.
Tanpa berpikir panjang, iringan massa menelusuri jalan menuju rumah Sarabiti yang letaknya tak jauh amat. Sekitar sepelempar batu jaraknya. Memasuki pekarangan rumahnya, mata para pengiring menangkap sosok dukun muda itu sedang bergelut dengan pikirannya. Duduk di bawah pohon kenari sambil menghabiskan sebatang koli. Sesekali dilepaskannya asap melalui hidungnya. Seperti melepas beban yang berat. Beban yang akan dipanggulnya.
***
“Bakar wanita itu hidup-hidup!” Riuh rendah suara massa yang membeludak di tanah lapang. Sebuah tempat penghukuman bagi orang-orang yang dianggap melakukan perbuatan keji dan mengganggu ketenteraman. Suara massa semakin keras membahana ketika api unggun yang disiapkan mulai menjilat ujung kaki wanita itu. Di hadapannya, berdiri Sarabiti dengan angkuh. Setinggi hatinya, ketika ia membongkar rahasia yang selama ini dipendam. Rahasia yang membuat Kewisek pulih dari sakitnya.
Ketika api semakin sukses melahap habis tubuhnya, terdengar suara lirih dari mulut wanita itu melafalkan nama putranya: “Kewisek….”
Entah apa yang mendorongnya, sontak Kewisek melompat ke dalam api. Mencium telapak kaki ibunya bersama api yang tak pernah lepas membelenggu.
Massa tersentak. Ramai-ramai orang berusaha memadamkan api yang berkobar, sekadar untuk menyelamatkan Kewisek. Sayangnya, usaha mereka gagal. Api baru padam ketika hari menjelang petang.
Wanita dan putranya itu wafat dengan sebagian besar tubuhnya gosong.
Ketika malam mulai beranjak mendekat, desa kembali geger.
“Sarabiti kerasukan arwah para leluhur!”
Maumere, 5 April 2015
[1] Rumah adat.
[2] Molang (dukun) merupakan pemimpin seremoni penyembuhan orang sakit.
[3] Mata Lusi adalah julukan bagi molang yang memiliki penglihatan setajam rajawali.
[4] Tempat yang digunakan oleh masyarakat sebagai daerah pertanian.
[5] Pekuburan nenek moyang. Para leluhur tersebut dipercaya masih memperhatikan kehidupan manusia di bumi.
[6] Para arwah nenek moyang yang bisa kapan saja datang dan berbicara dengan manusia lewat penglihatan-penglihatan.
[7] Sebuah batu seperti tugu persembahan yang digunakan masyarakat sebagai tempat meletakkan sesajian. Di tempat itu juga, masyarakat biasa merayakan ritus “memberi makan” para leluhur.
[8] Sebuah sarung yang ditenun dengan motif tertentu, khusus dikenakan kaum perempuan.
[9] Sebutan bagi Tuhan Allah atau wujud tertinggi dalam budaya masyarakat Lamaholot, Flores Timur.
[10] Seperti sarung, hanya saja ditenun dengan motif tertentu dan dikhususkan untuk kaum pria.
[11] Rumah dengan atap rumbia atau daun kelapa yang terletak di daerah perkebunan, digunakan sebagai tempat peristirahatan sejenak, melepaskan lelah setelah bekerja.
[12] Sebatang rotan seperti tongkat, merupakan warisan leluhur suku Blolon. Pemilik ua moge merupakan orang yang merekomendasikan ke dukun mana pasien atau si sakit hendaknya berobat. Caranya dengan menjengkal panjang au moge. Jika hasilnya bilangan genap maka dukun itulah yang mampu menyembuhkan pasien. Jika hasilnya bilangan ganjil maka nama dukun tersebut tidak bisa menyembuhkan pasien tersebut.
[13] Tempat sirih dan pinang yang terbuat dari anyaman daun lontar kering.
[14] Daun lontar yang telah dihaluskan sebagai pembungkus rokok dari tembakau kasar.
[15] Buah kelapa muda yang belum memiliki isi.
[16] Jenis daun yang dapat menurunkan suhu tubuh jika dihaluskan dan ditempelkan pada tubuh yang panas.
[17] Gumpalan kapas yang diikat dengan seutas benang berwarna merah. Biasa digunakan dalam ritus penyembuhan orang sakit.
[18] Sulaman daun lontar yang menyerupai sebuah piring.
[19] Ritual menggoyang pelan-pelan kuning telur ayam yang utuh/bulat yang diletakkan di telapak tangan. Jika kuning telur tersebut pecah maka dukun pengobat pasien yang tepat telah ditemukan. Jika tidak maka perlu mencari dukun yang lain.
- Puisi-Puisi Hans Hayon - 4 October 2022
- Catullus, Lacan, dan Cinta yang Performatif - 28 March 2020
- Memikirkan Karl Marx dan Foucault dalam “In Time” - 18 January 2018
kadarwati TA
penasaran sebenarnya Kawisek itu titisannya siapa ya?
keren buat bacaan pagi-pagi gini 🙂