Kue Mangkuk Mamak

Mamak membuang makanan. Itu sudah biasa. Bukan sekali dua kali. Bukan baru kali ini saja terjadi. Aminah, istriku, sering geram, lalu mengeluh kepadaku dengan marah, lalu aku menegur Mamak, lalu Mamak akan memakiku, lalu aku diam dan masuk kamar. Kubiarkan dua wanita itu saling berteriak marah, kepadaku tentu saja, lelaki yang dianggap tak bisa jadi penengah di antara keduanya. 

Mamak menjengkelkan dan memancing amarah. Itu sudah jelas. Bukan kepadaku saja. Bukan kepada Aminah saja. Sekaligus kepada seisi rumah. Anak-anakku selalu mendapat omelannya, mendapat ceramah panjang lebar. Mereka nyaris tak ada yang mau dekat dengannya. Akan tetapi, aku bisa apa? Hanya aku anak satu-satunya yang bisa merawat wanita berusia 75 tahun itu. 

Mamak memiliki tiga anak, aku yang bungsu. Anak pertama, Mas Dadang, sudah meninggal saat usianya masih empat puluh tahun dan meninggalkan tiga anak yang semuanya tinggal di luar pulau bersama ibunya. Anak kedua, Mbak Endang, ikut anaknya tinggal di luar negeri sejak pensiun dini empat tahun lalu. Mamak tidak punya pilihan, begitu pun aku. Meski keberadaan Mamak sering memantik emosi dan pertengkaran di antara aku dan Aminah, aku tetap harus merawatnya. 

Meski tinggal satu rumah, Mamak tak pernah mau makan makanan yang ada di rumah kami. Dengan sisa tenaga tuanya, dia membuat kue mangkuk untuk dijual dan uangnya dipergunakan untuk kebutuhannya sehari-hari termasuk membeli makanan. Tentu saja itu menimbulkan pergunjingan warga, seolah-olah aku tak becus merawat Mamak.

Kue mangkuk buatan Mamak digemari banyak orang. Dengan warna merah muda yang cerah dan ujung yang mekar, setiap sore ibu-ibu di sekitar rumahku akan mengerubungi dan berebut membeli kue yang terbuat dari campuran tepung beras dan tapai itu. Meski kue mangkuk buatannya laris, Mamak tak pernah mau membuat lebih banyak dari yang biasa dia buat per harinya. Para pelanggan setianya harus rela menunggu sampai besok demi bisa menikmati kue beraroma tapai kukus itu. Aku tidak pernah tahu berapa banyak kue mangkuk yang dibuatnya dan berapa penghasilannya setiap hari.

“Uangmu haram!” Kata Mamak sambil meludah. Muncratan air liur bercampur kunyahan pinang berwarna merah membasahi lantai rumah. Jika sudah begitu, dia akan langsung masuk kamar dan menguncinya. Aku hanya bisa mengelus dada dibuatnya.

Bukan hanya menganggap uangku haram, Mamak juga sering mendoakan daganganku tak laku. Dia bahkan menyebarkan cerita kepada warga–pelanggan setia kue mangkuknya–bahwa di warung makan tempatku berjualan itu dulunya ditemukan tengkorak manusia. Aku pernah tanpa sengaja mendengar Mamak mengatakan itu. Mamak bahkan mengaku pernah melihat jari manusia dalam kuah masakan istriku yang hendak dibawa ke warung kami. Alhasil, warung makan yang kubangun dengan modal hasil menjual pekarangan milik Mbak Endang berangsur sepi pembeli. Pegawaiku ikut-ikutan berhenti dan mengaku menemukan hal-hal ganjil di dapur warung kami. 

Doa Mamak terkabul. Tentu saja. Dia adalah ibuku dan Tuhan tentu selalu mendengarkan doa seorang ibu. Seharusnya Tuhan juga mendengar doa dariku, gerutuku.

“Aku ingin Mamak mati,” kataku geram. 

“Ssttt.” Aminah meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Kepalanya celingukan. “Hati-hati, nanti doamu didengar malaikat.” Dia memelankan suaranya seolah dinding di rumah kami memiliki telinga. 

Sore itu Mamak di teras, mungkin sedang menggelar dagangannya sambil menggunjingkan kebangkrutanku. 

“Kalau malaikat memang mendengar ucapanku, tentu dia akan mengabulkan semua doaku. Bukan hanya doa agar Mamak mati.” Aku tidak mau merendahkan suara mengikuti saran Aminah. Aku beranjak dari dipan, berdiri di depan jendela sambil berkacak pinggang. Di luar, terlihat jalanan di depan rumah kami sedang ramai. Aspal yang mulai berlubang membuat debu-debu beterbangan saat roda-roda kendaraan melewatinya.

Aminah terdengar menghela napas panjang. 

“Mari kita buat Mamak mati,” ucapnya sambil menepuk bahuku. Aku menoleh, rupanya Aminah sudah berdiri di belakangku dengan pandangan mata yang terang. 

“Kamu ada cara?” tanyaku. Anggukan kepalanya membuatku tersenyum lebar. Aku mengusap pipi perempuan yang kunikahi sepuluh tahun lalu itu. 

“Beneran mati?” tanyaku lagi. Aminah kembali mengangguk. Aku mengangkat kedua alisku. Perempuan tinggi kurus itu meraih tanganku dan mengajakku kembali duduk di dipan. Setelah aku duduk, dia berjalan ke depan jendela dan menutupnya pelan. 

Kamar kami memang mengarah ke halaman depan, tetapi tak terlalu dekat dengan teras. Meski begitu, menutup jendela merupakan langkah yang baik agar rencana besar itu tidak terdengar siapa pun. Bahkan kedua anak lelaki kami yang masih bocah itu juga tak boleh tahu. 

Aminah duduk di sampingku. Dia menjelaskan rencana membuat Mamak mati dengan terperinci. Aku manggut-manggut, sesekali mengerutkan kening, kemudian mengangguk lagi, sesekali memonyongkan bibir, kemudian mengangguk lagi. 

“Baik, aku paham,” kataku setelah Aminah selesai menjelaskan. “Jadi, pelaksananya aku?” tanyaku meminta ketegasan. 

“Tentu saja. Kamu darah dagingnya. Mereka akan mempercayaimu.” 

Aku kembali mengangguk. Kurasa tak percuma dahulu aku berjuang untuk menikahinya. Aminah memang menarik sejak aku pertama kali melihatnya. Dia bekerja di toko Haji Faisal di los pasar, sedangkan aku jadi sopir pick up yang sering mengantar barang dagangan ke toko itu. Aku semakin kagum kepadanya saat tahu kemahirannya mencari uang. Aku merasa kami adalah pasangan yang cocok sehingga aku menikahinya setelah kami saling kenal selama enam bulan. 

Meski Mamak termasuk orang berada di kampungnya dan dikenal berhasil menyekolahkan kedua anaknya, tetapi dia tak mau membiayai kuliahku. Kata Mamak, aku seharusnya belajar ilmu agama di surau Haji Idrus sambil membantu bapak di sawah. Kedua kakakku menjadi pegawai pemerintah, berseragam rapi, bersepatu mengkilat, tidak adil rasanya jika aku harus memanggul cangkul.

“Kau bisanya hanya bikin susah orang tua. Sudah berapa petak sawah kauhabiskan?” gerutu Mamak saat aku meminta sejumlah uang untuk kuliah. Meski Mamak dan bapak tak mau memberi uang, akhirnya aku bisa kuliah juga. Kuambil sertifikat sawah yang disimpan di lemari di kamar Mamak saat dia tak ada. Kugadaikan sawah itu dan uangnya untuk aku pergi ke kota. 

Bapak meninggal setelah tahu sawahnya digadai saat padinya sedang menguning. Mungkin dia terkena serangan jantung. Di hari kematiannya, aku tak pulang. Aku yakin Mamak tak akan memaafkanku. Aku baru pulang ke rumah setelah satu tahun berlalu, saat uangku habis, saat aku dikeluarkan dari kampus karena nilaiku buruk. 

Setelah itu aku menjadi pengangguran, kadang-kadang membantu Mamak ke sawah, tetapi lebih sering menghabiskan uang hasil panennya. 

“Ini sawah milik kakakmu, Dadang. Hasilnya untuk anak-anaknya. Kau tahu, kan, mereka anak yatim. Mereka masih tanggungan kita sebagai keluarga bapaknya.” 

Mamak mengamuk saat aku membeli sebuah pick up dari uang hasil panen padi dari sawah, yang menurut pengakuan Mamak menjadi hak kakakku. 

“Mas, kok malah melamun, sih?” Sentuhan pada lengan membuyarkan ingatanku akan perseteruanku dengan Mamak. “Ayo, sekarang aja!” Aminah memberi instruksi. 

“Tunggu Mamak masuk kamar saja, ya. Sebentar lagi pasti dagangannya habis,” ucapku ragu. 

“Jangan tegang gitu, sih! Harus tenang, supaya lancar.”

“Bukannya memang harus gugup, ya?”

“Bukan. Bukan gugup, tapi harus sedih, harus menyayat hati pokoknya.” 

Aku hanya mengangguk pelan. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. Sesekali aku mengusap peluh yang menetes di dahi. 

Kami diam, menajamkan pendengaran. Dari teras depan, tidak lagi terdengar suara orang mengobrol, hanya suara kendaraan yang lalu lalang di jalan. Setelah terdengar suara pintu ditutup, aku menoleh kepada Aminah. Kulihat dia mengangguk. 

Aminah bergegas ke meja rias, mengambil ponselnya yang berwarna hitam. Dia mulai menekan tombol. Nada panggil pada ponsel Nokia berlayar hijau itu membuat pacu jantungku lebih cepat tiga kali lipat dari biasanya. 

“Apa di sana masih malam, ya, Mas?” tanyanya cemas setelah nada panggil itu berhenti tanpa terhubung. 

“Ya, nggak.  Di sana lima jam lebih cepat dari sini. Mungkin siang,” jawabku. 

Tak berapa lama, terdengar suara poliponik dari ponsel Aminah. Layar hijau itu menyala berkedip-kedip. Jantungku terasa kebat-kebit. Mbak Endang menelepon.

“Ayo, Mas.” Dia menyorongkan ponselnya ke hadapanku. Aku menerima dengan tangan gemetar. 

“Mbak,” kataku setelah menarik napas panjang. Kudengar Aminah mulai terisak di sebelahku.

“Iya, Dik. Ada apa? Tumben nelepon.” 

“A-anu, Mbak. Ma-mak ….”

“Kenapa Mamak?” Suara Mbak Endang terdengar panik. 

“Ma-mak, Mbak.” Kubuat suaraku terbata-bata. Aminah semakin mengeraskan tangisannya.

“Kenapa, Dik?” Kakak perempuanku, yang jarak usianya nyaris lima belas tahun lebih tua dariku itu, terdengar semakin panik. 

“Pu-pulang.” Aku meniru istriku, terisak dengan suara yang lirih.

“Innalillahiwainnailaihirojiun. Bener, Dik? Kapan?” tanyanya gugup. Kudengar suaranya gemetar.

“Baru saja. Setelah berjualan kue mangkuk.”

“Kenapa, sih, kok masih diizinkan jualan?” Mbak Endang mulai terisak. Aku tak menjawab, hanya mengeluarkan suara mirip isakan. 

Akhirnya pemberian kabar bahwa Mamak meninggal selesai juga. Kusampaikan kepadanya bahwa Mamak sudah sakit sejak sebulan lalu, tetapi tidak mengizinkan aku memberi tahunya. Mbak Endang sangat menyesal tidak bisa pulang. Dan seperti biasa, dia menebus rasa bersalahnya dengan mengirimkan sejumlah uang untuk membantu biaya pemakaman sekaligus membantu biaya rumah sakit. 

Setelah telepon ditutup, Aminah tersenyum lebar, tetapi aku justru khawatir. Dahiku berkerut. 

“Kalau Mamak mati sekarang, alasan apalagi yang bisa kita buat untuk minta uang ke Mbak Endang nanti? Biasanya, kan, pakai alasan Mamak sakit.” Aku termenung, tiba-tiba merasa menyesal. 

“Sawah Mbak Endang dan Mas Dadang sudah habis kujual. Dapat uang dari mana lagi kita? Bikin usaha selalu gagal.” Aku mendesah, memijat-mijat kepala. 

Aminah tampak berpikir keras, tetapi tidak lama. Setelah itu dia kembali tersenyum lebar dengan pancaran mata yang cemerlang. Tampaknya dia kembali menemukan cara. Dia membuka pintu kamar. Di atas meja makan, piring berisi dua kue mangkuk yang selalu Mamak sediakan untuk kedua anakku terlihat menggiurkan. Amina menoleh ke arahku sambil menunjuk ke atas meja.

“Tenaga Mamak masih cukup kuat untuk memberi kita sumber uang baru.”

Amina tersenyum manis sambil mengedipkan sebelah mata kepadaku.

Puspa Seruni
Latest posts by Puspa Seruni (see all)

Comments

  1. Khusnul Khotimah Reply

    Akhirnya nggak terduga bgt, epik deh

    • farhan Reply

      mamak yang hebatt

  2. Taufan Reply

    Ceritanya menarik sekali!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!