Puisi Andreas Mazland

Pohon Cempaka

namaku fais, aku ingin mencuri bintang dari langit malam
dan menempelnya satu per satu di jendela rumah sakit
tetapi ternyata tempat ini bukan wahana pasar malam
yang dulu sering kudatangi bersama ibuku

yang buta. tidak ada keriangan di sini
orang-orang datang hanya untuk menangis.
aku jadi teringat akan seorang pria 
yang tertidur di bawah pohon cempaka
dan ibuku selalu meratap di sana

(ingatan masa kecil yang ingin kubunuh)

andai saja perang dapat dihentikan
sebagaimana perawat mematikan lampu
tentu rumah dapat kutinggali sebagaimana
kumasuki ruang kelas dengan kaki

tak gemetar. namaku fais,
aku ingin membeli sebuah celengan besar
yang dapat menyimpan empat warna
ke dalam kotaknya untuk kuhadiahi pada ibuku

yang buta. tapi aku kembali teringat
akan seorang pria yang tubuhnya
tumbuh sebagai pohon cempaka
dan aku selalu bergelayut di dahannya

(ingatan yang harusnya tak pernah ada)

andai saja nasib adalah buku bergambar
yang selalu diterjemahkan ibu sebagai taman bermain
mungkin hidupku tak akan berakhir serupa pertanyaan rumit
yang diajukan seorang guru botak dan menyebalkan
dalam pelajaran dasar-dasar berhitung

Pekanbaru, 2024

Boneka Beruang

aku adalah seorang bocah yang melarikan
boneka beruang perempuan berbaju putih
yang setiap hari memaksaku minum obat
kupeluk boneka itu dengan erat
seolah memeluk kampung halamanku

kampung halaman?

aku jadi teringat ibuku
wanita yang namanya
kutulis dengan huruf berantakan
sedang tubuhnya kugambar
dengan tujuh warna pudar

(dulu sebelum pagu rumahku
dipanjati bunga-bunga api)

aku berlarian di sepanjang koridor
kulewati satu per satu kamar sesak
di mana setiap anak membubuhi huruf-huruf
dalam nama mereka dengan rengek-tangis

aku terhenti, di depan sebuah lukisan
yang terpajang miring di lemari kayu
kulihat hamparan sorgum berona hijau
dan sekaum bocah bermain di musim biru

tetapi kalian tidak akan pernah menemukan
rumahku yang teduh sekaligus museum masa kecilku
di dalam lukisan buram itu. tidak akan pernah

sebab rumah dan masa kecilku telah terkubur
di bawah reruntuhan bersama ayah dan ibu
dan dua kakak lelakiku setahun lalu

kini hanya tinggal aku sendiri
seorang bocah yang tengah bersembunyi
di balik lemari dari mata perempuan
yang saban waktu memaksaku
minum obat pahit sehari tiga kali

Pekanbaru, 2024

Sore Bersama Kakek

beratus-ratus tahun lalu
karena cengkeh dan pala
lampu-lampu bandar dihidupkan

negeri ini justru didatangi kematian
sejarah ditulis dengan darah
harga nyawa tak semahal rempah

“kakek memang tukang kaba
padahal di dalam buku sekolah
tidak tertulis segitu parah”

aii siampa cindaku hantu blau
lebih baik kau percaya padaku
sebab buku yang kaubaca di sekolah

ditulis oleh orang-orang ngantuk
dan mereka tak pernah benar-benar tahu
bahwa tempat ini pernah didatangi mimpi buruk

lantaran tiap kali kapal orang putih menepi
mereka berteriak-teriak dunia baru
tapi kami ketakutan seperti melihat hantu

Pekanbaru, 2024

Orang Rantai

kuhitung kembali sudah berapa jumlah umurku
tertimbun di bawah lubang galian bersama akar-akar besi
yang memagari kubur ayah dan menujah tubuh moyangku

dan ibuku selalu menangis
saat melihat katrol naik-turun
mengangkat tubuh mereka
untuk dijual ke dunia maju

namun ibu lupa bahwa setiap detik jam
yang berdetak dalam diriku dan dirinya
juga akan berakhir sebagai derap langkah
yang tertinggal di lorong-lorong pengap itu

lorong di mana rantai terus beradu
di atas mata kakiku dan kakinya
almanak ditutup dengan darah
jam digerakkan oleh peluru

kini di bawah galian tambang
sebagian dari usia kami telah dihitung
sebagai masa depan dari sebuah kota
kota-kota yang jauh di belahan sana

Pekanbaru, 2024

Andreas Mazland
Latest posts by Andreas Mazland (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!