Judul : Buku Latihan Tidur
Penulis : Joko Pinurbo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : Pertama, 2017
Tebal : 68 halaman
ISBN : 978-602-03-6768-2
Kita mungkin sempat merindukan bahasa Indonesia yang jenaka, kocak, lucu, imut, atau menggemaskan. Bahasa Indonesia tidak seperti pelajaran atau ujian menyusahkan yang sempat dikeluhkan oleh anak-anak sekolahan, guru, orang tua, dan pemerintah pemangku pendidikan. Hal ini juga bukan seperti gaung pemerintah berkoar baik dan benar. Bahasa adalah permainan, eksperimen, atraksi, atau akrobat saat kita membaca kumpulan buku puisi terbaru Joko Pinurbo, Buku Latihan Tidur (2017). Pembaca bisa saja bermufakat bahwa Jokpin memang sedang ingin mengajak latihan “mengacaukan” bahasa Indonesia demi beranjak dari riwayat berbahasa yang administratif.
Puisi-puisi di Buku Latihan Tidur bertanda tahun 2014-2016 masih bernuansa humor-satire khas Jokpin. Kumpulan puisi ini juga lahir sebagai bentuk rekonsiliasi iman. Ada puisi-puisi yang menghentak dengan santun atas nasib beragama di tengah keberagaman hidup atas nama Indonesia. Jokpin mengemas puisi religius untuk meredakan kebencian, mereduksi nasihat-ancaman berbau agamis, mengingatkan beragama dengan santai, dan membayangkan Tuhan sebagai teman ngobrol sembari minum kopi. Puisi “Pisau” berisi dua larik berbunyi; Ia membungkus pisau dengan namaMu/ Ia ingin melukai Kau dengan melukaiku. Orang yang melukai sesama atas nama agama tentu tidak merasa bahwa ia melukai Tuhan. Sebaliknya dengan melukai orang lain karena perbedaan, seolah hal itu menjadi misi agung membela Tuhan.
Merumuskan tentang bahasa, Jokpin justru lebih sungguh-sungguh mengurusi bahasa daripada guru, dosen, atau badan bahasa. Kita cerap “Kamus Kecil” yang membolak-balik dan mengasah-asuh kata. Huruf, suku kata, dan rima saling dipertukarkan untuk mencipta kata-kata mujarab dan mengena dalam biografi raga menghimpun kata-kata. Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia/yang pintar dan lucu walau kadang rumit/ dan membingungkan. Ia mengajari saya/ cara mengarang ilmu sehingga saya tahu/ bahwa sumber segala kisah adalah kasih;/ bahwa ingin berawal dari angan; bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;/ bahwa segala yang baik akan berbiak;/ bahwa orang ramah tidak mudah marah;/ bahwa seorang bintang harus tahan banting; bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;/ bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;/ bahwa orang lebih takut kepada hantu/ ketimbang kepada tuhan;
Logika Berkalimat
“Pengacauan” tata logika berkalimat segala kelas sosial bahasa tampil di puisi “Buku Latihan Tidur”. Puisi ingin mewartakan bahwa kalimat adalah daya cipta imajinatif, bukan soal teknis. Kita hampir selalu mendapati nuansa kekanakan yang mesra di puisi Jokpin. Cerap petikan bait pertama yang dibuka dengan ritual masa kanak nyaris setiap anak Indonesia. Jokpin memilih menggunakan istilah “bermain kata” daripada belajar apalagi mengerjakan PR atau tugas. Malam-malam ia suka bermain kata/ bersama buku latihan tidur. Buku latihan tidur/ memintanya terpejam dan tersenyum/ sambil membayangkan bahwa di ujung tidur/ …
Kalimat-kalimat mulai keluar dari tatanan yang nyaris disepakati seluruh umat bahasa Indonesia. Cerap bait kedua “Buku Latihan Tidur”; Gantungkan cita-citamu setinggi gunung./ Gantungkan terbangmu pada sayap burung-burung./ Rajin pangkal pandai./ Jatuh pangkal bangun./ Anak kucing lari-lari./ Anak hujan mencari kopi./ Hujan menghasilkan banjir./ Hujan melahirkan pelukan-pelukan yang berbahaya./ Mataharimu terbit dari timur./ Matahariku terbit dari matamu./ Mandilah sebelum dingin tiba./ Cantiklah sebelum lipstik tiba./ Buanglah sampah pada tempatnya./ Buanglah benci ke tempat sampah. Kalimat-kalimat yang tercetak miring sesuai teks, tentu amat jarang diajarkan oleh mulut pengajar bahasa kita karena berbahasa sering harus lugas. Kalimat imajinatif barangkali hanya untuk puisi, bukan ujaran sehari-hari.
Kekacauan makin tampak saat menyimak puisi “Keluarga Puisi.” Jokpin semakin merevolusi bahasa demi menghalau jauh kalimat klise masa sekolah dasar, seperti ibu memasak di dapur, bapak pergi ke sawah, atau ayah berangkat ke kantor. Sematan kata kerja yang biasa ada untuk benda-benda sekitar justru dialihkan ke tokoh hidup nan bertubuh dan berdaging. Pagi-pagi ibu sudah mengepul di dapur,/ ayah berderai di halaman,/ dan aku masih gemericik di tempat tidur./ Kakek sudah menguning,/ tak lama lagi terlepas dari ranting/ dan menggelempar di pekarangan./ Nenek sudah matang,/ sudah bersiap meninggalkan dahan/ dan terhempas di rumputan.
Kita memang pernah diajari membuat kalimat metaforis lewat majas. Namun, majas sering berlaku pada benda-benda yang berperistiwa atau bersifat layaknya manusia. Sebaliknya, Jokpin berniat memberlakukan peristiwa tetumbuhan, angin, nasi, air, dan hal-hal di sekitar pada raga manusia. Ada niatan tulus “mengacaukan” tatanan bahasa Indonesia yang pakem. Puisi memuat kalimat-kalimat yang bereksperimen dengan kebebasan. Model kalimat Jokpin tentu akan sulit diterima konsensus kelogisan berbahasa publik. Kalimat terdengar mengada-ada dan tidak realis.
Masih butuh kenekatan, Buku Latihan Tidur akan dibawa guru bahasa Indonesia ke kelas untuk belajar bahasa. Guru perlu juga latihan merevolusi berkalimat seperti dilakukan Jokpin, bahwa yang berembus itu tidak selalu angin atau yang diperbaiki bukan hanya benda. Nasib bagi Jokpin pun perlu diperbaiki. Buku Latihan Tidur paling tidak telah ada di perpustakaan sekolah, menemukan para pembaca remaja yang gembira dan terkejut menemukan kata-kata bermain, melompat, berakrobat, berlarian, saling sapa, saling tendang, saling memeluk. Bahasa tidak hanya menjadi urusan pemerintah dengan anjuran baku, baik, benar, lugas, atau logis. Lewat puisi, Joko Pinurbo yang bukan guru bahasa Indonesia mengantarkan gemar belajar “mengacaukan” bahasa Indonesia.
- Bahasa Indonesia dari Telinga Asing - 18 January 2020
- Paris: Ras Pekerja dan Minuman Keras - 4 May 2019
- Latihan “Mengacaukan” Bahasa Indonesia - 10 February 2018