Lawan Fiksi bukanlah Fakta. Lawan Fiksi adalah Fiksi

pinterest.com

Anda tahu apa fakta yang paling acap kita lupakan terkait serial kolosal The Avengers? Fakta yang mengemuka telanjang di hadapan kita namun kita lebih gandrung membicarakan perseteruan moral para tokohnya, keberadaan mereka di film-film mendatang, arti dari adegan akhirnya yang senantiasa ambigu? Fakta bahwa ia tak lebih dari fiksi.

Benar. Mungkin Anda insaf bahwa ia adalah film yang diciptakan untuk menghibur penontonnya belaka. Anda pun terus-menerus disadarkan bahwa masa kontrak para aktornya tinggal tersisa satu-dua film lagi—bahwa betapa pun gagah para jagoannya berlaga di layar bioskop mereka pada akhirnya hanya memerankan tokoh-tokoh fiktif. Mereka adalah para profesional yang dibayar untuk melakukan pekerjaannya. Penulis naskah dan sutradaranya juga para profesional—di tangan mereka lahir suatu bohong-bohongan yang mencekam, mencengangkan, dan memantik katarsis Anda.

Akan tetapi, saya jamin fakta ini pun berlaku untuk Anda: Anda hampir tidak pernah memperlakukannya sepatutnya suatu bohong-bohongan. Bila Anda penasaran dengan bagaimana nasib dunia—bahkan alam semesta—selepas satu filmnya berakhir menggantung, mengapa Anda tidak menyusun cerita kelanjutannya sendiri? Anda dapat melakukannya. Ia, toh, dianyam dari imajinasi para penulisnya. Segenap bahaya yang menghadang jagat raya dan drama perjuangan menyelamatkannya tak pernah terjadi kecuali di dalam kepala mereka.

Lantas, mengapa Anda harus menunggu serial selanjutnya secara menyiksa dalam hitungan waktu tahunan? Mengapa Anda mesti menafsirkan segenap tanda yang terpapar dalam filmnya untuk menaksir ke mana film selanjutnya bergulir ketika Anda seharusnya dapat menguntai akhir ceritanya sekehendak hati?

Saya sempat menyusun beberapa cerita pendek. Cerita-cerita tersebut berakhir dengan mengganjal—sangat mengganjal. Nasib protagonisnya kabur. Dramanya tidak jelas berakhir bahagia atau tragis. Tidak ada tanda-tanda perjuangan sang tokoh tuntas atau gagal. Suatu hari, seorang pembaca yang kelewat antusias menginterogasi saya karenanya.

“Apa yang terjadi dengan Ananda? Apa yang terjadi dengan Asat?”

Saya jawab, saya tidak tahu. Saya, toh, benar-benar tidak tahu. Saya tidak pernah memikirkan alur cerpen-cerpen tersebut lebih jauh dari apa yang sudah tertulis. Ambiguitas punya efek sangat mengganggu pembaca—itu saja yang saya harap akan timbul ketika seseorang membaca cerita saya.

Tetapi, sang pembaca tidak mau tahu.

“Bilang dong kalau mereka masih hidup. Tolong…,” pintanya berkali-kali.

Saya kehilangan kata-kata.

***

Fiksi adalah satu idiom yang hari-hari ini tengah marak diperbincangkan. Dan benar kata Rocky Gerung, ia tak bisa dipertentangkan seenteng itu dengan fakta.

Saya berharap Robb Stark, tokoh serial kondang Game of Thrones, orang-orang tersayang dan bala tentaranya tidak terbantai dengan cara mengenaskan seperti yang mereka alami di episode “Pernikahan Merah”. Tetapi, apa yang bisa saya perbuat untuk mereka—tokoh rekaan yang menjadi nyata hanya di imajinasi saya? Tidak ada. Saya tak bisa melakukan apa-apa. Saya pun tak berdaya ketika HBO mengumumkan musim terakhir dari serial ini baru akan tayang dua tahun lagi. Saya tak bisa memejamkan mata, mengimajinasikan bagaimana cerita ini berakhir, lantas merasa ia benar-benar sudah tamat bagi saya, terlepas skenario yang akan tayang pun sama-sama tercetus dari imajinasi.

Benar. Kita menciptakan fiksi. Namun, fiksi tidak pernah sepenuhnya tunduk di bawah kuasa angan-angan kita. Kita akan memperlakukannya sebagai sesuatu yang hadir di luar diri, sebagaimana fakta, betapa pun ia hadir berkat kita panggil melalui imajinasi kita. Ketika ia rampung, ia memiliki kehidupannya sendiri. Alam semestanya sendiri. Derap waktunya sendiri. Menukil istilah Mikhail Bakhtin, kronotopnya sendiri. Dan kita tak dapat memanipulasinya sekehendak hati kita sendiri.

Bahkan, ketika para penggemar berhadapan dengan serial fiksi yang jelas-jelas diciptakan dengan jadwal yang mencekik, lebih mempertimbangkan bagaimana memikat penonton ketimbang kerunutan jalan cerita, mereka tetap akan memperlakukannya sebagai semesta yang lengkap. Kala berteori perihal jalan cerita yang akan datang, kekuatan para tokoh, rencana sesungguhnya dari para penjahat, mereka akan memungut setiap petunjuk yang tersaji dalam cerita yang dianyam di bawah segala keterbatasan tersebut. Di sana pengarang seakan sudah mendirikan dunia yang rampung dengan segala hukumnya dan para penggemar harus mematuhinya.

Contohnya? Manga atau komik Jepang. Tidak ada manga yang tak disusun dalam kesempitan. Komikusnya harus bergelut menghasilkan berhalaman-halaman panel gambar rumit hanya dalam kurun mingguan dan serialnya dapat dihentikan kapan pun popularitasnya anjlok. Tetapi, siapa kini penggemar Dragon Ball Z yang tidak menganggap semestanya satu-kesatuan yang lengkap? Bahwa di sana tidak tersaji bukti-bukti pasti siapa lebih kuat dari siapa dan kesaktian apa yang paling tiada tara?

Dan kita tahu, tak semua pencipta menunaikan tugasnya menenun semesta dengan telaten. Para tokoh Game of Thrones dapat menempuh perjalanan ribuan kilometer hanya dalam waktu yang terasa tak lebih dari satu-dua hari. Ada yang menghitung malah jarak yang ditempuh semua tokoh serial ini sepanjang tujuh musim serialnya kurang-lebih setara dengan jarak yang dibutuhkan untuk lima kali mengelilingi bumi.

Artinya? Setiap saat, artinya, kita selalu diingatkan bahwa kita berhadapan dengan jagat rekaan yang kepentingan paripurnanya sekadar bercerita. Kegalatan logis akan merangsek sewaktu-waktu dan menyeret kita keluar darinya. Tetapi, adakah satu momen yang cukup kuat meyakinkan saya untuk tak sudi menonton Game of Thrones lagi? Belum. Dan apa pun yang terjadi, saya yakin, setidaknya untuk diri saya sendiri, tidak akan ada sembulan ketidaklogisan yang dapat memaksa saya tidak menonton musim terakhirnya nanti hingga tamat.

Satu ilustrasi lagi. Di pelosok Seram Utara, sebuah tempat di mana juru cerita tidak diganjar dengan kemewahan-kemewahan serupa yang diberikan kepada juru cerita Hollywood, cerita-cerita yang berkembang perihal asal-muasal suku-sukunya sulit dicerna dengan akal sehat. Pangeran dari negeri seberang mengarungi lautan bersama para prajuritnya dengan dua batok kelapa. Piring terbang turun dan meninggalkan nenek moyang mereka di pulau tersebut. Dan jangan kira dakwaan tidak masuk akal merupakan dakwaan saya. Ini adalah dakwaan dari banyak di antara mereka sendiri.

Namun, apakah mereka mempercayai bahwa peristiwa-peristiwa janggal tersebut benar-benar terjadi di masa silam? Menariknya, ya.

Dan percayalah, kita tidak terlalu berbeda dari saudara-saudara kita di tempat yang jauh tersebut. Betapa pun saya selalu digiring untuk meragukan kepaduan jagat Game of Thrones, saat ceritanya bergulir, saya menemukan diri saya kembali takzim di dalam kemelut dunianya. Takzim dan percaya dengan intrik-intrik yang merebak—sebagaimana seorang bocah menelan mentah-mentah bualan-bualan orang dewasa yang bertutur dengan meyakinkan.

***

Kendati saya tak bisa menjawab pembaca cerpen saya yang antusias bahwa, dalam kenyataannya, tak terjadi apa-apa lagi dengan Asat ataupun Ananda setelah kalimat terakhir diketik, saya selalu punya pilihan lain. Betapa pun fiksi mungkin tampak tidak demokratis pada titik ini—betapa pun pembaca, penonton, atau pendengarnya terkesan tak berkutik terbebat semesta yang dianyam sang pengarang—hal ini tak berarti fiksi sama sekali tidak mempan dilucuti.

Bila Anda mengikuti perkembangan sastra Indonesia setahun terakhir, barangkali Anda tak asing dengan nama Warto Kemplung. Warto Kemplung, sang juru cerita dalam novel Dawuk, dikenal sebagai seorang pembual. Namun, sepanjang ia mengisahkan drama bagaimana Mat Dawuk yang buruk rupa menikahi Inayatun, gadis paling jelita dari Rumbuk Randu, kehilangan istri dan anaknya yang belum lahir, lantas membalas dendam dan nasibnya tidak jelas setelah ia seharusnya mati dibakar massa, semua lupa dengan reputasi Warto tersebut. Para pendengarnya terbius. Mereka tak berdaya mesti mematuhi keinginan-keinginan menyebalkan Warto agar ia meneruskan ceritanya.

Pada akhir cerita, apa yang nyata sudah tidak jelas lagi batasannya dengan apa yang fiktif. Wartawan yang menerbitkan cerita tentang Mat Dawuk di hariannya didatangi Mat dan diancam untuk tidak meneruskan ceritanya lagi. Ia meragukan bahwa sosok intimidatif tersebut, yang lebih menyerupai preman ketimbang pahlawan tragis, benar-benar Mat. Tetapi, lantas, ia tersadar, mengapa ia mempercayai cerita Warto Kemplung?

“Siapa yang mati?” batinnya. “Siapa yang hilang? Siapa yang membunuh siapa?”

Cerita Warto Kemplung adalah kuda Troya. Para pendengarnya mempunyai narasinya sendiri perihal Rumbuk Randu, desa yang diceritakan Warto, perihal bagaimana kenyataan seharusnya berlaku, dan karena itu mereka menyandangkan Warto dengan predikat pembual. Tetapi, pada satu titik, drama menakjubkan Warto membuai para pendengar dan membuat mereka menurunkan penjagaannya. Fiksinya, pada titik tersebut, tegak menggantikan fiksi lain menjadi kenyataan baru.

Sebuah semesta naratif, artinya, bukan tidak mungkin untuk digugat. Hanya saja, gugatan terhadapnya mensyaratkan kuda Troya—pengembaraan yang dramatis, sebut saja. Pergulatan mencekam dengan nasib di mana para insan mempertaruhkan keberadaannya di sana. Banyak simpul yang lepas dari cerita Warto Kemplung. Bagaimana ia bisa tahu dengan terperinci setiap peristiwa yang dialami Mat Dawuk—bahkan sampai dengan waktu-waktu intimnya dengan Inaya? Tetapi, semua mengabaikannya begitu saja.

Seseorang, dengan demikian, tidak bisa melawan fiksi sekadar dengan menampik kefaktaannya atau menginginkan ceritanya bergulir sesuai kehendaknya. Seseorang butuh menganyam cerita yang sama atau lebih menakjubkan, pada akhirnya, bila ingin merombaknya. Apakah teori-teori penggemar yang paling mudah menjangkiti khalayak pemirsa Game of Thrones? Bukan teori yang paling memuaskan, sayangnya, melainkan yang paling mencengangkan. Spekulasi, misalnya, bahwa Sang Raja Malam, musuh terbesar, ancaman terhadap setiap wujud kehidupan, ternyata Brandon Stark, salah satu protagonis yang mampu merasuki makhluk lain, dan penyerbuannya ke selatan adalah untuk membunuh dirinya sendiri.

Kemungkinan yang logis? Belum tentu. Tetapi, ia adalah kemungkinan yang menarik—yang bagi beberapa penggemar, terlalu sayang apabila tidak terjadi.

Apa, toh, yang mendorong suku-suku yang sempat saya jumpai di lapangan penelitian menerima dewa-dewa baru dari daerah lain dalam kepercayaannya? Karena dewa-dewa baru tersebut terdengar lebih meyakinkan? Saya tidak yakin kita bisa mengatakan sosok dewa yang bertubuh separuh ular atau yang bersayap dan terbang melintasi lautan meyakinkan. Tetapi, pastinya, dewa-dewa baru tersebut terdengar spektakuler. Cerita bagaimana dewa-dewa ini menjadi bagian dari kosmologi suku-suku ini, tanpa kita perlu mengetahui detailnya, sudah pasti spektakuler.

Dan apa yang memungkinkan Raden Mandasia dapat mengisyaratkan dengan seenaknya di penghujung cerita bahwa kisah para tokohnya yang fantastis merupakan Babad Tanah Jawa sementara reaksi pertama kita, pembacanya, bukan skeptis? Karena ia menawarkan sebuah kemungkinan yang menyenangkan—bahwa boleh jadi, petualangan gila namun berkesan Raden Mandasia adalah sejarah yang pernah benar-benar terjadi.

Lawan imajinasi, dus, bukanlah kenyataan. Lawan imajinasi adalah imajinasi. Fiksi memang menjerat. Tetapi, apa yang akan melepaskan insan manusia—sang homo fictus—dari jeratannya bukanlah fakta.

Lantas, apa? Fiksi yang lain.

Sebagaimana saya dapat menjawab kepada pembaca antusias saya: ya, para tokoh kesayanganmu mati. Tapi, tidak untuk selamanya.

Geger Riyanto

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!