Manifesto Sastra Profetik: Mengenang Kuntowijoyo

eksposisia.com

 

Ketika frase “sastra profetik” dikumandangkan, ingatan kita akan segera tertuju pada satu sosok ini: Kuntowijoyo. Ya, sastra profetik memang acap dilekatkan pada sastrawan sekaligus ilmuwan sejarah terkemuka itu. Ia adalah salah seorang yang getol mempromosikan penggunaan etika profetik dalam setiap laku penulisan kreatif. Menurutnya, di tengah keterasingan spiritual (spiritual alienation) yang melanda masyarakat pasca-modern saat ini, sastra profetik kian relevan untuk kembali digemakan. Sastra profetik tak lain adalah sebentuk upaya yang coba menaut-kelindankan antara keluhuran seni dan keagungan Sang Pencipta.

Selain itu, wacana menggiatkan sastra profetik juga beranjak dari kecemasan melihat masifnya praktik dehumanisme dan materialisme di masyarakat. Fenomena tersebut, menurut Kuntowijoyo, pada gilirannya akan menggiring manusia menjadi “manusia mesin dan masyarakat massa”. Dengan begitu, hidup manusia tak lagi didasarkan pada nalar sehat, nilai, dan norma. Individu-individu tak lebih hanyalah kerumunan yang menilik realitas secara sepotong-sepotong, tak utuh. Karena itu, bagi Kuntowijoyo, sastra profetik dimaksudkan sebagai simbol perlawanan terhadap sistem yang membelenggu tersebut.

Kendati kental beraroma sufistik, sastra profetik tentu tak melulu berurusan dengan masalah ketuhanan. Sebab, seperti diakui Kuntowijoyo, “kesadaran ketuhanan barulah sepertiga dari kebenaran sastra profetik” itu sendiri. Pun sastra profetik sama sekali tak hendak memencilkan diri dari realitas. Ia justru turut andil untuk menyoal, menilai, dan mengkritik realitas sosial-budaya yang tengah berjalan. Dengan kata lain, sastra profetik sejatinya menghendaki tak hanya kesadaran ketuhanan, tapi juga kesadaran kemanusiaan (Horison, No. 5/2005: 8-9).

Etika Profetik

Kuntowijoyo menegaskan bahwa cakupan sastra profetik hanyalah merambah pada urusan etika. Etika profetik yang dimaksud sebenarnya bertumpu pada tiga aspek: humanisasi (amal ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tuminu billah). Humanisasi merupakan ikhtiar memperlakukan manusia sesuai kodratnya; liberasi ialah upaya membebaskan manusia dari sistem yang membelenggu; dan transendensi adalah usaha religius-spiritual untuk meredam godaan budaya sekular yang mengerdilkan. Untuk memadukan ketiga konsep etika itu, Kuntowijoyo memilih “strukturalisme transendental” sebagai bingkai.

Hadirnya konsep-konsep tersebut setidaknya menyiratkan bahwa Kuntowijoyo memang memiliki landasan pijak yang jelas dalam mengarungi proses kreatifnya. Ketiga aspek etika profetik yang diusungnya itulah yang menjelma bagai ruh yang mengidupi karya-karyanya. Ihwal bagaimana perlawanan terhadap praktik dehumanisasi disimbolkan, misalnya, dapat disimak dalam novel Mantra Penjinak Ular. Abu Kasan Sapari, tokoh novel itu, lebih memilih menjadi dalang tenimbang pejabat pemerintahan. Itu dilakukan sebagai wujud penolakannya terhadap hegemoni partai. Ia juga membuang ular beserta mantra penjinaknya dan tak lagi memercayai klenik saat mendalang. Penolakan itu dapat dimaknai sebagai simbol perlawanan terhadap dehumanisasi yang acapkali memperbudak.

Sementara dalam novel Wasripin dan Satinah spirit liberasi tampak begitu dominan. Lewat novel tersebut, Kuntowijoyo seolah ingin membeberkan betapa marginalisasi terhadap kelompok tertentu dilakukan secara rapi dan terstruktur. Kehadiran Wasripin bak seorang “Ratu Adil” sontak membuat pembesar pemerintah dan partai gusar. Apalagi Wasripin emoh diperalat untuk memuaskan dahaga kepentingan partai-partai itu. Alhasil, tuduhan dan fitnah datang silih berganti, hingga akhirnya Wasripin harus meregang nyawa di tangan militer. Nasib serupa juga dialami calon istrinya, Satinah. Novel tersebut seakan merepresentasikan bahwa di tengah ketakberdayaan menghadapi sebuah sistem yang mencekik, masyarakat biasanya menaruh harap akan ada seorang yang berperan sebagai messias atau pembebas.

Selain novel dan sajak-sajaknya yang sarat akan renungan transendental khas sufistik, cerpen-cerpen Kuntowijoyo tampaknya juga menyuarakan hal yang sama. Cerita “Sepotong Kayu untuk Tuhan”—yang terhimpun dalam buku Dilarang Mencitai Bunga-Bunga—bisa disebut salah satunya. Dikisahkan seorang laki-laki tua sekuat tenaga menebang pohon nangka miliknya demi menyumbang untuk pembangunan surau. Setelah ditebang, kayu itu diletakkan di pinggir sungai dan akan didorong ke lokasi surau keesokan paginya. Namun nahas, karena hujan semalaman, kayu itu hanyut dan si kakek akhirnya gagal menyumbang. Kandungan sufistik dari kisah tersebut sebenarnya bukan soal sampai atau tidaknya wujud fisik sumbangan itu, melainkan terletak pada nilai keikhlasannya.

Mereduksi Dunia Simbol (?)

Melalui novel, cerpen, dan sajak-sajaknya, Kuntowijoyo seperti tengah merentangkan simbol-simbol yang mampu menjembatani kefanaan perjalanan hidup manusia menuju keabadian Sang Pencipta. Kuntowijoyo seolah ingin mengundang kita bertamasya menyelami dalamnya dunia tasawuf sembari tetap berpijak di bumi dengan tak melupakan persoalan keduniawian. Nampaknya model tasawuf seperti itulah yang pas untuk kehidupan kita saat ini.

Kendati begitu, sastra profetik bukannya sama-sekali tanpa pertentangan. Dengan misi kenabian atau nilai-nilai keagamaan yang diembannya, ia akan rentan dituding menyaru sebagai khotbah yang doktrinal. Selain itu, dengan memakai konsep-konsep tertentu dikhawatirkan akan mereduksi sastra sebagai dunia simbol. Sastra tak lagi murni kerja imajiner yang mampu menafsirkan realitas, melainkan telah menjelma menjadi produk pemikiran ilmiah. Kuntowijoyo tentu mafhum dengan tuduhan semacam itu. Menurutnya, konsep-konsep yang digunakan dalam karya-karyanya memang analitis. Tapi, seperti pengakuannya, sastra tetap harus deskriptif-naratif karena, bagaimanapun, sastra bukanlah karangan ilmiah atau laporan jurnalistik.

Karenanya, agar sastra profetik tak menyaru sebagai khotbah dan tetap deskriptif-naratif, Kuntowijoyo menawarkan apa yang disebutnya sebagai “menulis sastra dari dalam dan menulis sastra dari bawah”. Yang pertama maksudnya: rangkaian peristiwa yang tersuguh dalam cerita harus dipahami sebagaimana tokoh-tokohnya memahami dunianya. Sedangkan yang kedua ialah pengarang tak boleh tergoda untuk menelusupkan teori-teori yang ruwet dalam jalinan kisah. Artinya, jika yang bicara adalah orang-orang biasa, maka tutur dan perbuatannya juga mesti sesuai dengan gelagat orang biasa. Tokoh-Tokoh seperti Pak Mantri Pasar, Kasan Ngali, atau Paijo dalam novel Pasar, contohnya, tentu tak tahu-menahu bila mereka tengah mengalami perubahan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern yang dilematis. Mereka hanya bertindak alamiah dan sewajarnya dengan segala pernak-pernik persoalannya masing-masing.

Sastra profetik atau sufistik tentu bukanlah hal baru di altar dunia kesusastraan kita. Beragam ungkapan personal tentang keilahian juga telah menjadi tema utama yang dianggit oleh para sastrawan awal semisal Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, atau Amir Hamzah. Dan bagi Kuntowijoyo, sastra profetik atau sufistik itu bisa dijadikan semacam diskursus alternatif yang potensial untuk meningkatkan kualitas sastra kita. Apalagi menengok tren dunia susastra kita dewasa ini yang cendrung meremehkan isi dan pesan. Maka dengan menyertakan etika profetik dalam menyuguhkan persoalan sosial diyakini Kuntowijoyo sebagai salah satu cara mendongkrak mutu sastra tersebut. Dan barangkali begitulah cara Kuntowijoyo—meminjam selarik puisi Paul Goodman yang juga dikutip Kuntowijoyo—“mengabdikan diri pada Tuhan dan Tanah Airnya”.

Aan Arizandy
Latest posts by Aan Arizandy (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!