
“Dek jaman berjuang…. Njur kelingan, anak lanang…. Mbiyen…, tak openi….” Sayup-sayup, suara radio itu mengecil. Baterainya mulai habis. Seperti empunya, mata mulai meredup. Kenangan tak termakan waktu. Zaman terus berubah. Hanya, segelintir orang lebih suka mempertahankan masanya dulu.
Saat radio benar padam, suasana berisik di lantai dua Beringharjo juga hilang. Dia lelap dalam mimpi. Tentang datangnya satrio piningit yang akan mengubah angkara jadi kebajikan. Datang menunggang kuda hitam, berpakaian Jawa lengkap, dengan keris terselip di pinggang.
Saat bangun nanti, dia akan mencari mimpinya dan memperbincangkan ke seisi pasar. “Sebentar lagi datang zaman itu!”
Mbah Karjo sudah empat puluh tahun berdagang batik di pasar ini. Dia masih cinta dengan dagangannya. Tak pernah sekali pun terbayang mengganti dagangan, apalagi pindah. Karena ini tempat usaha turun-menurun yang harus dipertahankan. Selain itu, katanya, dekat dengan batik membuat hatinya merasa tenang. Baunya mengingatkan masanya dulu saat perjaka, juga kehidupannya. Kepada sekitarnya selalu ditanamkan kata-kata bijak, urip mung nunut ngombe. Tidak usahlah kau kejar harta, cukuplah bisa makan pasti sudah tenang.
Saat ingin membeli baterai untuk radionya, seseorang telah mengusik hatinya. Dia melihat seorang laki-laki kaya berkelakuan tidak pantas. Laki-laki itu menendang ibu-ibu penjual dawet di bagian depan pasar. Suasana jadi ramai, para tukang becak hanya mengerumuni, tidak ada yang menolong karena takut dengan centeng yang di sekitar laki-laki itu. Si ibu meraung, namun tidak terdengar jelas karena telinga Mbah Karjo sudah seuzur tubuhnya.
“Laki-laki kok mempermalukan kebudayaannya! Memalukan orang Jawa. Mentang-mentang punya uang banyak terus bisa seenaknya! Tukang becaknya goblok semua! Sama satu orang saja takut!” celoteh Mbah Karjo di sepanjang jalan kembali ke lapaknya, tanpa tahu kalau penyebab takutnya para tukang becak adalah banyaknya centeng di sana.
“Sabar, Mbah,” nasihat penjual sayur di lantai pertama.
“Sabar, sabar apa?! Orang kalau sabar terus akan diinjak-injak. Harus berani melawan, seperti aku waktu melawan Belanda dulu! Orang sekarang kok maunya dijajah!” Amarah Mbah Karjo meluap. Si penjual sayur hanya diam, tidak lama memilih untuk meninggalkan ocehannya dan pergi ke lapak sebelah.
“Woooo, dibilangin kok malah pergi! Tidak tahu sopan!” teriak Mbah Karjo dengan napasnya yang terbatas. Para kuli angkut di belakangnya menertawakan Mbah Karjo, namun tentunya dengan pelan, karena itu sudah cukup untuk tidak terdengar olehnya.
Mbah Karjo kembali melanjutkan jalannya. Tidak lupa mampir ke Kang Pardi si penjual rokok, hanya ada di tempat itulah rokok kegemarannya dijual. Rokok klobot jagung sekaligus menyan.
Sesampai di lapaknya, Mbah Karjo memasang baterai radionya untuk menenangkan diri. Uyon-uyon Jawa terbukti manjur meredam emosinya. Ditambah segelas kopi pekat dengan sedikit gula dan rokok yang asapnya sanggup membunuh bayi yang baru lahir membuat Mbah Karjo ngantuk.
Kata orang-orang, jika sudah tua, kelakuan kita akan kembali seperti kanak-kanak. Sama halnya dengan Mbah Karjo, dia cuma ingin didengarkan semua ceritanya, sayangnya tidak ada yang mau, bahkan untuk sekadar basa-basi. Hal tersebut sering membuat Mbah Karjo sambat. “Orang-orang sekarang itu lebih suka memenuhi kebutuhannya sendiri daripada memperhatikan yang lain.”
“Pak…,” sapa halus seorang perempuan membangunkan mimpi Mbah Karjo bertemu dengan satrio piningit.
“Ya, ada apa?” jawabnya sembari mengusap kedua matanya, rokoknya telah jatuh entah ke mana. Untungnya itu rokok klobot, yang mengharuskan untuk disulut terus karena gampang mati.
“Batiknya, yang itu berapa?” sembari tangannya menunjuk batik yang tergantung di atas Mbah Karjo persis.
“Ooo, yang ini lima puluh, Nduk. Boleh kurang, kok,” jawab Mbah Karjo.
“Kalau saya mau beli dua puluh ada tidak, Mbah?” lanjut perempuan itu tanpa menawar. Mata Mbah Karjo terbelalak. Semenjak pertama dagang di tempat ini, belum pernah dagangannya laku sebanyak ini.
“Ada, Nduk!” Mbah Karjo segera mengambilkan sejumlah yang diinginkan. Sementara, perempuan itu sibuk menghitung uang yang hendak dibayarkan. Tepat saat Mbah Karjo selesai membungkus batik, perempuan itu selesai juga menghitung uangnya.
“Ini, Pak, satu juta. Silakan dicek uangnya, asli tidaknya,” kata perempuan itu, Mbah Karjo langsung menerima uang itu dan memberikan batik yang dibeli.
Sangat sulit digambarkan kebahagiaan Mbah Karjo saat itu. Batik yang harga kulakannya dua puluh ribu sanggup dijual lima puluh ribu sebanyak dua puluh sekaligus. Sekarang, Mbah Karjo mengantongi keuntungan enam ratus ribu. Segera dibayar lunas semua utangnya, masih sisa tiga ratus ribu.
“Mau buat apa uang sebanyak ini?” kata Mbah Karjo. Padahal, bagi orang lain itu cuma sedikit. Namun karena jarangnya dagangan Mbah Karjo laku membuat uang tersebut sangat banyak. Segera ditukarkan radio lamanya dengan yang baru, yang sudah memakai listrik.
Besok paginya, tiba-tiba saja dagangan Mbah Karjo jadi laris. Empat puluh batik terjual. Mbah Karjo kebingungan dengan banyaknya keuntungannya hari ini. Akhirnya Mbah Karjo mengubah lapaknya menjadi lebih baik. Dulu kesannya kuno, sehingga membuat orang jarang mampir di lapaknya. Sekarang lapaknya sudah modern dan sama dengan lapak-lapak di sebelahnya.
Benar juga, hari-hari berikutnya usaha Mbah Karjo semakin pesat. Tentunya hal tersebut menimbulkan kecurigaan dari sekitarnya. Ada yang bilang pakai tuyul, pengasihan dari dukun, atau memelihara demit supaya laris. Mbah Karjo mendiamkan mereka.
Menyadari badannya tidak sanggup menopang kesibukannya, Mbah Karjo menyewa pegawai, rata-rata diambil dari kampung halamannya. Sekarang, Mbah Karjo bisa menikmati pekerjaan barunya, sebagai penghitung uang ditemani uyon-uyon Jawa klangenannya. Segelas kopi dan rokok klobot masih setia menemaninya.
Suatu hari, Mbah Karjo diprotes pembeli karena rokoknya mengganggu dan membuat tidak nyaman pelanggan. Dengan berat hati, Mbah Karjo mengganti rokoknya dengan kretek biasa. Setelah itu, datang lagi saran dari pegawainya, supaya musiknya diganti dengan yang sedang digemari anak muda supaya semakin banyak yang berkunjung. Demi kebaikan pula, Mbah Karjo menurut.
Perkembangan usaha Mbah Karjo semakin pesat. Tokonya sudah mempunyai banyak cabang. Segera ditinggalkannya lapak di pasar dan pindah di tempat yang lebih besar. Bukan juragan lagi sekarang, namun bos besar. Mbah Karjo sudah terbiasa musik pop dan rokok yang ringan. Klobot dan uyon-uyon sudah hilang. Demi masa depan, semua bisa diubah.
Perluasan dan pengembangan terus dilakukan. Hidupnya semakin sibuk karena harus mengurus ini itu. Ke sana-kemari menengok cabang-cabang tokonya. Cucu-cucunya disekolahkan ke Jakarta, supaya pintar dan kelak jadi orang penting.
“Kita harus berusaha agar berubah. Kita tidak bisa menggantungkan hidup pada orang lain. Ini tuntutan jaman. Supaya tidak hilang, kita harus bergerak mengikuti.” Begitulah jawaban Mbah Karjo ketika diingatkan untuk tidak terlalu bernafsu mengejar duniawi.
Sudah tujuh tahun Mbah Karjo meninggalkan lapaknya di Beringharjo. Rumah Mbah Karjo yang sekarang sangat besar, dikelilingi tembok tinggi. Membatasi dirinya dengan sekitar. Di depan banyak centeng menjaganya. Mbah Karjo sudah lupa dengan urip mung nunut ngombe. (*)
- Mbah Karjo - 29 April 2016
- Seorang Lelaki dan Selembar Ijazah - 14 August 2015
Ari La Kasipahu
keren 🙂
Fahrizal Mukhdar
ternyata simerah jambu dan sibiru mampu mengubah prinsip mbah karjo ya 🙂
Indrisari
Suka😍