Cinta yang Lain

img_20160617_151817
instagram: @avifahve

Namaku Mila. Beberapa bulan lalu, aku menikah dengan Mas Aryo, seorang pria berumur empat puluh tahun, dua kali usiaku saat ini. Selisih umur yang terpaut sangat jauh, tidak menghalangiku untuk menerima cintanya. Bukankah usia hanya sederet angka biasa ketika berhadapan dengan cinta?

Mulanya aku menganggap Mas Aryo sebagai ayah. Aku selalu betah serta merasa nyaman ketika bersamanya, ditambah aku sudah lama kehilangan kasih sayang seorang ayah. Namun seiring berjalannya waktu, aku mendapati Mas Aryo memiliki perasaan yang berbeda. Sebagai seorang direktur, seharusnya Mas Aryo tidak kesulitan untuk menarik hati perempuan mana pun, yang cantik, pintar, dan sederajat, bukannya malah menjatuhkan pilihan kepadaku yang sudah sangat girang mendapat pekerjaan sebagai cleaning service setelah ditinggal kedua orang tua.

“Kami berpisah sebelum ayahmu sempat diberi tahu tentang keberadaanmu dalam kandungan Ibu. Untung almarhum bapakmu mau menikahi Ibu dan menafkahi kamu.” Begitu jawaban Ibu suatu malam ketika aku bertanya lagi tentang Ayah. Ibu menjawab dengan suara pelan diiringi sorot mata redup yang sulit kuterjemahkan. Kasihan Ibu. Dia terpisah dari laki-laki yang meninggalkan benih di rahimnya, lalu beberapa tahun kemudian, bapak tiriku pergi untuk selamanya.

Setelah aku lulus SMA, Ibu meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Aku pun tidak punya siapa-siapa lagi. Tinggal seorang diri di rumah mungil yang penuh kenangan bersama Ibu dan Bapak membuatku lebur dalam kesepian dan kerinduan terhadap mereka. Hidup berkalang rindu sungguh bukan perkara mudah.  Apalagi rindu yang tak mungkin terbayar karena yang kemudian bisa kujumpai hanya sepasang pusara. Akhirnya aku terpaksa merantau ke Jakarta ketika menerima tawaran seorang teman untuk bekerja sebagai cleaning service di perusahaan tempat Mas Aryo bekerja. Hingga pada suatu siang, jatuhnya dompet Mas Aryo di depan pintu toilet membawaku kepada takdir yang tak pernah terpikirkan sebelumnya; dicintai dan dinikahi oleh Mas Aryo. Aku mengembalikan dompet tersebut. Keesokan harinya, Mas Aryo mengajakku makan siang, sebagai ucapan terima kasih katanya. Pada hari-hari berikutnya, Mas Aryo selalu menyapaku dengan ramah setiap kali kami berpapasan. Sesekali aku dan Mas Aryo mengobrol lebih lama dari sekadar basa-basi sampai kemudian dia memintaku berhenti menjadi cleaning service. Mas Aryo ingin aku bekerja di rumahnya dengan alasan dia butuh asisten pribadi.

“Saya hanya lulusan SMA, mana mungkin bisa jadi asisten Bapak?”

“Mila, kamu bisa ngetik pakai komputer, kan?”

Aku mengangguk. Sejak saat itulah aku tinggal di rumah Mas Aryo. Di dalam bangunan besar dua lantai tersebut, ada Mbok Tum dan suaminya yang sangat gembira menyambut kedatanganku.

“Waaah, saya senang sekali ada Mbak Mila di sini. Setidaknya rumah ini tak terlalu sepi seperti biasanya. Bapak juga jadi ada teman ngobrol. Kalau sama saya kan agak kurang nyambung, Mbak,” celoteh Mbok Tum seraya tertawa.

“Kok Bapak bisa betah ya,” sambung Mbok Tum.

“Maksud Mbok Tum?” tanyaku pelan namun penuh rasa penasaran.

“Saya heran, kenapa sampai sekarang Bapak tidak kunjung menikah. Apa dia tidak kesepian?”

“Jadi, beneran Bapak sama sekali belum pernah menikah, Mbok?”

Mbok Tum menggeleng. Tangannya masih sibuk mengelap gelas dan piring yang baru saja dicucinya.

Selama bekerja sebagai cleaning service, sering aku mendengar para karyawan membicarakan Mas Aryo yang melewati empat puluh tahun hidupnya tanpa menikah.

“Mungkin tidak mau terikat. Pak Aryo kan tajir, gampang tuh kalau mau kencan dengan wanita yang berbeda tiap malam,” ujar salah satu karyawan.

“Atau… bisa jadi dia tidak suka perempuan,” sahut karyawan lainnya sambil terkekeh.

Hampir tiap malam Mas Aryo menyuruhku mengetik surat-surat, namun itu berlangsung tidak sampai satu bulan karena setelahnya aku lebih sering diminta menemani Mas Aryo duduk, berbincang, atau bepergian ketimbang membantunya membereskan pekerjaan. Entah bagaimana awalnya, kedekatan kami tidak lagi seperti atasan dan asisten, melainkan sepasang kekasih. Bahkan tak jarang Mas Aryo tidur di kamarku yang berada tepat di seberang kamarnya.

“Aku punya segalanya, kecuali keinginan untuk menikah,” ujar Mas Aryo suatu hari.

Dengan secangkir teh di tangan, aku bergeming di hadapannya. Isi kepalaku mulai riuh, menebak-nebak apakah Mas Aryo pernah sangat terluka atau…

“Tapi itu dulu, sebelum kita bertemu,” sambungnya sedikit menghentakku.

“Di dirimu, aku seperti menemukan sesuatu yang sudah hilang,” kata Mas Aryo saat mengajakku menikah.

Tak perlu berpikir panjang untukku membangun rumah tangga dengan Mas Aryo. Dia sangat baik, memberiku materi dan kasih sayang yang teramat besar sampai akhirnya berhasil meyakinkanku bahwa hanya akulah wanita yang akan mengakhiri kesendiriannya selama ini.

Wanita belia dan sebatang kara sepertiku benar-benar tak punya alasan untuk menolak Mas Aryo beserta segala yang dia miliki. Setelah resmi menjadi istrinya, rasa cintaku kepada Mas Aryo kian besar. Kami pasangan beda usia yang saling menyayangi, yang memberikan kebahagiaan lahir dan batin satu sama lain. Semua keindahan itu seharusnya berlangsung lama, sampai aku pun menua, jika saja tidak kutemukan foto masa muda Mas Aryo yang merangkul mesra seseorang yang wajahnya mirip sekali denganku. Wanita itu adalah almarhumah ibuku.

Ini kisah tentang pernikahanku yang sudah membuahkan janin yang sedang tumbuh dalam rahimku. Berdasar perhitungan dokter, kehamilanku sudah berumur dua puluh delapan minggu. Calon bayi ini adalah buah cintaku dengan Mas Aryo, dan aku tak tahu harus menyebutnya ‘anak’ atau ‘adik’…

Avifah Ve

Comments

  1. Ocyid Al Bahrawi Reply

    Ini mengejutkan.

    Madridista akhir zaman. Tetap mencuri perhatian. He

  2. gustihasta Reply

    so deep 🙁

  3. herman yoze Reply

    Serasa membaca karya-karya O’Henri

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!