Mengapa Hornby? (3-Habis)

Saya baru mendapatkan Fever Pitch (yang betulan) akhir 2019, ketika terjemahannya sudah lebih separo jalan. “Perjalanan yang sangat-sangat panjang untuk menemukan buku brengsek ini. Kau bajingan, Nick!” itu yang saya tulis di tengara buku itu. Setelah itu, beberapa edisi berbeda dengan mudah saya dapatkan—entah kenapa selalu begitu. Kini saya bahkan punya tiga versi Fever Pitch, dan saya mungkin masih akan dengan senang hati memungut edisi lain yang belum saya miliki. Meski demikian, saya rasa, setelah terbitnya Keranjingan Bola (awal 2022), dan beberapa pembelian terakhir buku Hornby (paling akhir, saya mendapatkan Funny Girl sekitar Oktober 2024), obsesi itu sedikit mereda.

Dan, ya, di sinilah saya. Saya sendiri membenci apa pun yang berkait kepenggemaran (apa bahasa Indonesia yang pas untuk fandom?) dalam hal bacaan maupun kepengarangan, tapi saya pikir saya telah sah menjadi seorang penggemar. Secara kuantitatif, saya memiliki hampir semua buku Hornby, kecuali beberapa judul yang memang sulit ditemukan atau yang paling baru. Secara kualitatif, menggeluti Fever Pitch selama lima tahun, baik sebagai penggemar yang membaca maupun sebagai penulis yang menerjemah, rasanya lebih dari cukup. Secara verbal, barangkali saya adalah penulis di Indonesia yang, dalam obrolan maupun tulisan, paling banyak menyebut-nyebut Hornby—termasuk tulisan ini. (Lagipula, siapa yang menulis berpanjang-panjang dan berbusa-busa begini tentang seorang penulis dan buku-bukunya jika bukan seorang penggemar?)

Dan, tampaknya, demikianlah memang saya dipandang. Tak kurang-kurang beberapa teman yang pulang dari luar negeri membawakan oleh-oleh buku Hornby yang dipikirnya saya belum punya, sementara penjual buku bekas online yang tahu jejak belanja saya kerap kali menyodorkan buku-buku Hornby juga kepada saya.

Pada dasarnya saya tak keberatan dengan anggapan itu. Toh, dianggap penggemar Hornby tak membuat saya dilukai, tak seperti menjadi penggemar Liverpool selama 30 tahun terakhir. Mungkin tak sekeren menjadi penggemar Hemingway atau Rushdie atau Bolano atau bahkan Leila S. Chudori, meski Hornby juga tak buruk-buruk amat. Namun, jika boleh menjelaskan, sikap obsesif seperti yang saya tunjukkan kepada Hornby ini lebih berkait akses terhadap karya-karya Hornby alih-alih terhadap karya-karya itu sendiri. Ini, saya bayangkan, seperti orang yang ingin mabuk namun tak ada satu kedai minuman pun yang buka.

Hornby mungkin hanya akan jadi “semacam” Robert Galbraith atau Ken Follett atau John Grisham atau penulis pop Barat laris lain untuk saya jika bukunya dicetak secara massif di Indonesia sebagaimana penulis-penulis itu. Barangkali Hornby memang tak se-best seller penulis-penulis yang tersebut di atas. Sementara, posisinya dalam kesusastraan Inggris mutakhir sepertinya juga nanggung. (Ia memang pernah masuk dalam daftar panjang Booker 2001 lewat How to be Good, namun mungkin karena daftar itu terlalu panjang [24 judul] sehingga predikat itu bahkan tidak dicantumkan di blurb novel.) Tak seperti yang belakangan dilakukan dengan Sally Rooney, yang dianggap lebih serius dan lebih keren, nama Hornby tak bisa digembar-gemborkan lebih nyaring. Tapi, menjadi jelas bahwa kelarisan karya-karya Hornby dalam bahasa aslinya tidak bisa dikonversi di Indonesia.

Dalam pencarian saya, hanya ada tiga buku dengan nama Hornby di sampulnya yang terbit di Indonesia, kesemuanya diterbitkan Gramedia, yaitu Anak Itu dan Aku (About A Boy, 2002), Suami Sempurna (How to be Good, 2006), dan Klik! (Click, 2012, yang ditulis secara keroyokan bersama sembilan penulis lain). Dari judul-judul ini, lebih khusus lagi dengan melihat sampul Anak Itu dan Aku yang memasang wajah Hugh Grant dari versi filmnya, bisa diduga pada kelompok pembeli macam apa buku-buku Hornby dijual. Maka, saya bisa bayangkan, buku macam Fever Pitch, buku Hornby yang paling ingin saya baca, sebuah memoar sepakbola yang tidak ditulis oleh pemain terkenal melainkan oleh seorang suporter biasa, menyangkut sebuah klub yang sangat spesifik, dengan pasar laki-laki urban terdidik, sangat kecil kemungkinannya untuk terbit di Indonesia—sampai kemudian saya menerjemahkannya.

***

Tapi bagaimana setelah obsesi itu terpenuhi? 

Sejujurnya, persepsi saya terhadap novel-novel Hornby secara keseluruhan kurang lebih sama dengan persepsi saya terhadap Suami Sempurna saat pertama kali membacanya: novel-novel itu bukan ditulis untuk pembaca macam saya. (Saya jadi bertanya-tanya, jangan-jangan Pak Bill sudah bisa membayangkan hal itu sejak awal.)

Novel-novel itu secara umum menyenangkan, lucu, pokoknya menghibur—sesuatu yang oleh Hornby sendiri memang diidealkannya. Namun, karena itulah, pengalaman membaca atasnya menjadi tidak sangat khusus, karena kita bisa mempertukarkannya dengan bacaan lainnya, jenis pengalaman yang khas bagi bacaan hiburan. Ia tak menciptakan pengalaman membaca yang akan hidup bersama kita untuk seterusnya. Ia tak membuat kepala serasa- tiba-tiba menyala dan berpendaran bagai kembang api seperti saat untuk pertama kalinya saya membaca Arus Balik-nya Pram; tak dengan serta-merta membangunkan novelis dalam diri saya sebagaimana ketika saya berada di tengah-tengah duologi Pater Pancali-Aparajito karya Banerji; tak juga bikin gemetaran seakan Anda baru saja bangun dari mimpi buruk pendek tapi mengerikan seperti seusai membaca Keluarga Pascual Duarte-nya Cela.

Saya punya semua novel Hornby. Sebagian sudah dibaca dan mungkin akan dibaca lagi kapan-kapan. Sebagian dibaca sesempatnya (dan dilanjut kalau ingat). Sisanya mungkin dibeli dan kemudian ditaruh di antara novel lainnya, dan tepat di situlah ia berguna: membuat karya-karya Hornby menjadi lebih lengkap.

Karena sudah baca Suami Sempurna, maka baca ulang How to be Good dalam versi aslinya hanya akan saya lakukan jika benar-benar dibutuhkan—misalnya, saat membuat tulisan semacam ini. High Fidelity seharusnya menjadi novel Hornby yang paling mungkin betul-betul saya sukai sebagaimana saya menyukai filmnya, namun terlalu banyak menonton filmnya membuat saya malas menyentuh novelnya karena khawatir ia lebih buruk dari adaptasi layar lebarnya, dan itu jelas tidak bagus untuk reputasi Hornby sendiri, setidaknya di mata saya. Bocah Itu dan Aku/About A Boy enak untuk dibawa dalam perjalanan, asyik dibaca di KRL Jogja-Solo (kalau dapat tempat duduk), namun seenak itu pula kita bisa lupa dengannya karena memang ia seenteng itu—seperti kita melupakan sisa kacang garing atau keripik kentang yang kita makan saat masih di peron, menunggu kereta datang.

Juliet, Naked (2009), satu-satunya novel Hornby yang saya baca habis dalam bahasa Inggris dan saya selesaikan dalam sekali baca, tampaknya mungkin yang sedikit terasa lebih dari yang lain. Berkisah tentang laki-laki payah yang terobsesi dengan musik, membuat ia terlihat dekat dengan High Fidelity, sementara karakter utamanya yang seorang bloger sekaligus admin kelompok penggemar dari penyanyi rock obskur yang sudah lama menghilang membuat ia mirip pria obsesif lain yang juga pernah menjadi bloger, yang selama bertahun-tahun ingin menulis tentang musik India untuk pembaca Indonesia—ya, lagi-lagi, itu terdengar mirip saya. Tapi, dengan ending yang sangat Hollywood, dan karena itu novel tersebut segera difilmkan, saya pikir urusan saya nyaris selesai dengannya setelah menonton filmnya.

Nyaris tidak ada apa pun yang menarik dari Slam (2007), kisah seorang pemain skateboard remaja yang menghamili pacarnya yang juga remaja, kecuali warna sampulnya yang biru dongker dan ukurannya yang sesaku, yang terlihat begitu kompak. Karena itu, saya hanya perlu membaca satu bab dan memutuskan untuk menjejalkannya kembali di antara buku-buku Hornby lain. A Long Way Down masih menunggu giliran, karena untuk saya ia terlalu tebal untuk menjadi bacaan hiburan. Sementara Funny Girl pasti akan saya baca kapan-kapan, meski sejauh ini belum. 

Tapi Anda tentu pernah mendengar soal penggemar yang mengumpulkan pernak-pernik berkait idolanya, bukan? Saya kira begitulah yang saya lakukan dengan fiksi-fiksi Hornby. Saya mengumpulkannya, dan mungkin masih akan mengumpulkannya, karena saya memang menyukai orang ini. Dan saya menyukai orang ini cukup dengan satu karyanya saja, dan itu karya yang membuat saya terobsesi dengannya: Fever Pitch. “Riwayat Hidup Seorang Penggemar”, demikian anak judul memoar tersebut ketika pertama kali terbit pada 1992; itu jelas salah, karena sebenarnya Fever Pitch adalah riwayat semua orang, atau setidaknya hampir semua orang, yang menjadi penggemar sepakbola. Saya salah satunya.

Tapi, Fever Pitch tak pernah saya sukai sekadar karena ia “aku banget”—David, Rob, dan Duncan, karakter-karakter pria pecundang di novel-novel Hornby juga cukup “aku banget”, tapi mereka sangat jauh dibanding dengan “aku banget”-nya Nick, Nick Hornby yang nyata di memoarnya. Fever Pitch adalah semua hal yang saya bayangkan sebagai “buku terbaik yang pernah saya baca”, sebagaimana yang saya gambarkan sebelumnya: buku yang pengalaman membacanya akan tinggal bersama kita untuk seterusnya.

Ia, dalam hal kesan, menyerupai eksemplar tabloid Kompetisi pertama yang dibelikan Bapak ketika saya berumur 10 tahun, yang saya baca semua kata dan hurufnya dari ujung ke ujung dan saya ulang dan ulang dan ulang dari ujung ke ujung lagi. Ia adalah “Gerobak Itu Berhenti di Muka Rumah” dan “Mengail Ikan di Sungai” dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon”, cerpen-cerpen Kuntowijoyo yang membuat saya tertawa dan menangis dan tercengang dalam sekali pukulan, dan setelahnya kisah-kisah itu tak akan pernah pergi dari kepala. Ia juga seperti esai dangdutnya Bill Frederick, yang membuat saya seketika mengerti tentang diri saya sendiri setelah menemukan orang lain bisa menjelaskannya dengan begitu baiknya.

Dan saya menyukai semua karya Hornby yang menyerupai atau yang memiliki semangat menyerupai Fever Pitch. Ya, dibanding menemukan alter ego Hornby pada karakter-karakter fiksinya, saya lebih menyukai bertemu Hornby yang sebenar-benarnya. Saya mudah terkoneksi jika tokoh-tokoh di novelnya bicara tentang sepakbola atau buku atau film, tapi saya jauh lebih klik jika Hornby, sebagai dirinya sendiri, yang bicara tentang itu. Ia pernah bilang dalam sebuah wawancara bahwa menulis tentang diri sendiri adalah hal paling mudah baginya; sebenarnya, untuk saya, itu juga yang paling baik.

Tulisan-tulisan sepakbola Hornby di Fan Mail (2013), semua hal berkait sepakbola yang ia tulis setelah Fever Pitch, adalah juga salah satu buku sepakbola favorit saya sebagaimana My Favourite Year atau Soccer Men-nya Kuper atau On Football-nya McIlvanney atau Brian Clough-nya Duncan Hamilton. Saya masih bisa mengingat suara tawa dan makian-makian saya, bahkan di mana saya saat itu, dan kapan, ketika membaca sekaligus menerjemahkan tulisan yang paling saya suka di buku itu, yaitu “Heroes and Villains: Perry Groves”. Itulah untuk pertama kalinya saya diberi tahu, oleh seorang penggemaar fanatik Arsenal, bahwa ada pemain yang lebih hebat dari Adams atau Henry atau Bergkamp dalam sejarah Arsenal, dan ia adalah Perry Groves.

Kolom-kolom tentang buku dalam Housekeeping vs. The Dirt (2006) dan Stuff I’ve been Reading (2013) memberi perasaan seperti memasuki kamar kos penuh buku seorang mahasiswa tua Jogja angkatan ‘90an, tempat kita bertemu abang-abangan berkacamata tebal yang tak henti nyerocos tentang buku-buku yang ia sukai dan yang tidak ia sukai; kita kadang tertarik dengan buku yang ia bicarakan, tapi seringkali kita sudah cukup senang menyimak soal bagaimana hubungannya dan apa yang dialaminya bersama buku-buku itu. Dan seperti kamar kos penuh buku di mana pun, saya bisa mengunjunginya kapan-kapan, entah sekadar melongok sebentar atau ndeprok seharian. Dari seri ini pula, yang mencakup The Polysyllabic Spree (2004), Shakespeare Wrote for Money (2008), dan More Baths Less Talking (2012), saya pikir koleksi Hornby saya masih perlu dilengkapi.

31 Songs (2003) sedikit berat untuk orang yang baru mendengar Metallica dan Queen di usia 17 macam saya, namun membaca seseorang menulis tentang lagu-lagu yang disukainya mengingatkan saya dengan pengalaman masa kecil ketika saya senang sekali membongkar peti kaset milik tukang toa hajatan; menemukan nama-nama asing, judul-judul yang baru pertama kali ditemui, sampul kaset atau wajah-wajah yang aneh, selalu membuat saya tertawan.

Dua tahun lalu (2022), saya membaca berita Hornby mengeluarkan Dickens and Prince. Saya belum punya buku tersebut, namun hanya dari judulnya saya bisa mengira-ira sejak awal apa isi buku tersebut: bukan tentang kajian intertekstual atau studi komparatif antara sastra Inggris era Victoria dengan musik pop Amerika tahun 80an; itu hampir pasti tentang upaya Hornby mempertemukan bacaan sastranya dengan selera musik popnya; dengan kata lain, itu tentang dirinya bersama dua nama dari dua zaman dan dua bidang yang berbeda.

Saya selalu mengantuk ketika membaca Dickens, dan saya hanya tahu Prince karena ia terkait dengan lagu “Nothing Compare 2 U”-nya Sinead O’Connor. Tapi, saya sudah bertekad akan lebih keras berusaha untuk membaca Dickens dan mencicil mendengarkan Prince jika mendapatkan buku tersebut.

Mahfud Ikhwan
Latest posts by Mahfud Ikhwan (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!