Malam itu, kami merasa Abak memiliki kemampuan besar dalam menafsir. Ia seperti mendapat hidayah dari langit dan kami semua menyepakati usulan yang sepertinya tidak sedang keluar dari mulutnya. Matanya berbinar-binar—jarang sekali kami melihat ini—senyum tak lepas dari bibirnya, hidungnya kembang-kempis, jakunnya berkali naik-turun. Kami yakin beliau sudah memikirkan ini dengan sangat matang.
Kami menyebut tempat tinggal ini, sebuah pondok, sebagai rumah. Ia terselip di antara rimbunan pohon di tengah ladang. Pondok kami yang hanya punya dua ruangan itu—dapur dan ruang depan—terletak di antara pohon-pohon kopi dan rimbun batang rambutan. Abak memutuskan untuk menetap di ladang ketika tanaman semakin besar dan bisa dipanen. Ladang kami berada agak jauh dari jalan raya yang sekaligus kampung kecil dengan rumah yang jarang-jarang. Selain kami, ada dua keluarga lagi yang juga sama-sama tinggal di ladang mereka yang terletak di kiri dan kanan ladang kami. Mereka juga punya anak seusiaku.
Di musim padi, sawah-sawah yang memisahkan ladang kami dengan jalan raya akan ramai lantaran semua pemilik padi akan tidur di pondok-pondok kecil mereka di sawah, untuk melindungi padi mereka dari ancaman babi hutan. Babi hutan memang musuh utama di daerah kami dengan hamparan sawah yang paling luas dan berbatasan langsung dengan bukit. Maka, hampir setiap minggu di sepanjang hutan—termasuk di kepala ladang kami—akan terdengar sorak sorai para pemburu babi dan salak anjing.
Kembali ke pangkal cerita. Beberapa hari terakhir telapak tangan kiri Abak suka bergerak-gerak. Konon itu bertanda baik. Seseorang yang telapak tangannya bergerak-gerak kemungkinan besar akan mendapatkan rezeki yang berlebih. Ia akan kedatangan uang yang tidak diduga, begitu kira-kira. Dan Abak mengalami itu hari-hari belakangan. Ia berpikir hebat, dari manakah uang akan datang? Cabe kami memang sudah mulai berbuah, tapi musim hujan yang terus-menerus, ditambah kami tak punya uang untuk membeli pupuk, membuat buah hijaunya berjatuhan sebelum berubah menjadi matang. Di pasar pun harga cabe sedang jatuh. Abak tahu itu karena setiap malam minggu ia akan suntuk mendengar Berita Ekonomi dan Industri dari RRI Jakarta yang direlai RRI Padang yang lamat-lamat dapat ditangkap dari radio kami. Kopi hanya bisa dikumpulkan sekilo-dua kilo saja dalam seminggu. Padi kami baru mulai berisi, masih butuh waktu sekitar sebulan-dua bulan lagi untuk panen.
Jika demikian dari mana uang akan datang?
Abak memutar otak. Dia orang yang sangat rasional. Tak mungkin uang datang begitu saja, mengingat keuangan kami satu-satunya hanya dari hasil ladang. Dan malam itu, di depan kami, Abak memutuskan sesuatu yang sangat aneh: ia akan ikut berburu babi. Yang paling mencengangkan dari itu semua, beliau akan mengajak kami ikut sambil berjualan nasi bungkus ketika masa berburu tiba.
Selama ini Abak memang hampir tak pernah ikut berburu babi. Aku tak tahu alasannya ketika itu. Kabar yang tersebar akhir-akhir ini akan ada Berburu Sumbar. Itu artinya, akan ada berburu babi besar-besaran di kampung kami, mengingat tahun ini, di seluruh tempat sedang musim ke sawah dengan serentak. Berburu Sumbar berarti seluruh kelompok pemburu babi di Sumatera Barat (Sumbar) akan ikut ambil bagian. Sumatera Barat punya Persatuan Buru Babi (Porbi) yang cabang-cabangnya sampai ke kampung kami.
Kabar soal pemburu Sumbar sudah tersiar dari mulut ke mulut. Abak biasanya tak pernah tertarik dengan itu, meskipun di ladang kami memelihara beberapa ekor anjing.
“Dulu Abak Idal tidak suka ada orang berburu babi,” protes Amak. Amak memanggil Abak dengan sebutan Abak Idal, maksudnya Bapaknya Si Idal, nama kakak tertua kami. Tradisi pemanggilan nama seperti ini sampai sekarang masih dipakai oleh pasangan suami-istri yang sudah berumur di tempat kami. Mereka memanggil suaminya dengan Abak atau Ayah si Anu, dengan menyebut nama anak tertua mereka, atau sebutan-sebutan semacam: Abak Anak Urang, Abaknya, dan lain-lain. “Ingat beberapa kali air mandi kita bau bangkai bukan? Kita harus mencari sumber air yang lain. Apalagi kalau ada celeng yang luka kayak dulu lagi.”
“Anggaplah itu peristiwa dulu,” potong Abak cepat sambil tersenyum. “Rezeki kita yang sekarang, sepertinya lewat mereka ini, para pemburu babi.”
“Tidak ada yang jatuh begitu saja dari langit,” Abak kembali melanjutkan. “Tuhan mengaturnya lewat perantara. Dan kalau memang telapak tangan Abak ini berhubungan dengan rezeki, maka jalannya yang paling dekat bagi kita adalah jualan nasi bungkus saat Berburu Sumbar ini.”
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah perbukitan, rata-rata memiliki anjing. Anjing ini berfungsi sebagai penjaga rumah dan ladang. Tak jarang dalam tradisi berburu babi di Sumatera Barat juga dilakukan jual-beli anjing tergantung kemampuannya dalam berburu. Di hampir tiap kecamatan di kabupaten kami ada kelompok-kelompok pemburu babi, yang memiliki struktur dan organisasi. Jika di sebuah tempat ada buru babi, kelompok-kelompok lain akan mendapat undangan resmi.
Dan malam ini Abak memutuskan akan ikut berburu babi membawa Sabun, anjing betina kami yang garang, tak takut pada apa pun, termasuk anjing jantan dan seumur hidupnya tak pernah beranak itu. Yang paling luar biasa bagiku ketika itu adalah keputusan Abak yang ingin menjual nasi bungkus untuk para pemburu babi. Dan beban itu akan diberikan padaku dan dua sepupuku.
***
Sabtu malam semua sudah disiapkan. Aku diutus ke kampung tempat keluarga besar kami tinggal yang berjarak 10 kilometer untuk menjemput Uman dan Isam, keponakan Abak untuk membantuku berjualan. Di kampung, mereka memang setiap pagi menjajakan Kue Talam, Pisang dan Ubi Goreng, Onde-onde serta Lapek Bugis.
Sejak Sabtu pagi Abak menjala ikan di kolam kecil di kaki ladang. Kami punya dua kolam ikan yang berisi nila dan mujair. Kolam ikan itu tak terlalu terurus. Kalau ada orang memancing ikan di sungai, Abak akan dengan rela hati menyuruh mereka memancing di kolamnya tersebut. Di kolam itu pula terdapat pancuran air tempat kami mandi dan sekaligus buang air.
Amak dibantu kakak perempuanku dan tetangga ladang menyiapkan gulai. Semua beras persediaan dikeluarkan. Nasi bungkus kami nantinya ada dua pilihan: nasi telur atau nasi ikan. Untuk persediaan ini kami tak mengeluarkan banyak uang. Beras kami masih tersisa dua kulak. Satu kulak adalah 36 dadieh. Dadieh adalah hitungan standar untuk jual-beli beras. Dadieh terbuat dari kaleng susu. Untuk ukuran selain kulak kami juga mengenal sagantang (6 dadieh), gantang Padang (3 dadeih), sasukek (satu sukat yang berisi 12 dadieh). Telur dan ikan kami sudah tidak perlu membeli.
Ini pertama kalinya aku berjualan. Kakak perempuanku sebenarnya sudah menawarkan diri ikut membantu karena dia sering jualan kacang panjang keliling kampung. Abak jelas menampik. Berburu babi adalah situasi yang gawat, kata Abak. “Ditambah pula nanti semua pemburu adalah laki-laki dan berada di dalam hutan pula,” tambahnya. “Jadi tak elok dipandang orang.”
***
Hari yang ditentukan itu tiba. Aku sudah bersiap-siap membawa 50 nasi bungkus tersebut yang dibagi dalam tiga plastik hitam besar. Tidak semua yang kami bawa tentu saja. Untuk pertama-tama kami membawa 30 bungkus. Satu plastik terdiri dari lima belas bungkus. 15 bungkus nasi telur, 15 bungkus nasi ikan. Satu plastik lagi berisi air.
“Ingat harganya seribu rupiah. Kalian pandai-pandailah menawarkan.”
Pagi itu daerah di sekitar ladang ramai salak anjing. Orang-orang datang dari berbagai penjuru. Tidak butuh lama, mereka sudah masuk ke dalam hutan dan menyisir daerah sepanjang aliran sungai. Anjing-anjing terbaik disebar, para pemburu berlomba memamerkan anjing kebanggaan mereka, galah dipegang banyak orang yang siap dihantamkan ke perut babi. Di kampung kami, para pemburu dan anjing haus darah itu pasti akan terpuaskan.
Tak lama, kami sudah mendengar suara bersahut-sahutan. Ladang kami dan daerah di seputar perbukitan ramai dan riuh. Sebagian pemburu itu memang sudah tak sabar melepaskan anjing mereka dan membiarkan anjing-anjing itu melacak jejak babi hutan. Sebagian yang lain masih bergerombol memamerkan anjing mereka. Kami mempercakapkan anjing yang besar-besar itu dan memperkirakan harga serta apa makanannya. Tak banyak yang mempedulikan kami, tiga bocah yang menjinjing nasi bungkus di antara senjata tajam dan perburuan berbahaya. Karena tak jarang ada pemburu yang terluka oleh seruduk babi.
Suasana makin riuh. Para pemburu berlarian dengan galah di tangan. Anjing-anjing mereka tak kalah kuat minta dilepas. Kami mendengar pekikan pemburu, sebagai penanda mereka sedang menemukan babi hutan di kanan-kiri. Dalam suasana chaos itu, beberapa kali kami diusir para pemburu. Sebagian dari mereka ada yang menawar nasi kami, tapi sepupuku lancar berkelit agar nasi bungkusnya tak bisa ditawar.
“Nasi bungkus kami isinya padat, cukup untuk makan Apak dan anjingnya. Telurnya besar-besar, telur ayam kampung pula. Ikan nila kami segar dan besar,” kilah Uda Uman, sepupuku yang paling tua setiap ada yang menawar.
“Masih pagi. Mereka belum butuh makan,” begitu kata Isam ketika kutanya kenapa tidak dijual saja 600 atau 750 sesuai tawaran mereka.
“Uwan tadi menyarankan seribu. Nanti siang, kalau mereka beristirahat dan nasi kita mulai dingin baru kita jual dengan harga segitu,” ucap Uda Uman dengan lancar.
Kami bertemu dengan Seri, tetangga kampung kami yang juga pemburu babi. Pada kami ia merengek minta beli nasi separuh harga. Kami menolak mentah-mentah. Lalu dia bilang mau membeli 800 dan uangnya dibayar nanti. Sebenarnya dalam perdagangan, tidak boleh memberi utang pada pelanggan pertama. Tapi kami sudah telanjur kasihan pada tetangga kampung itu. jadilah pecah telur dagangan kami dengan utang sebungkus nasi dengan catatan sore nanti, di rumahnya, sepupuku akan mengambil langsung uangnya.
Seorang pemburu membeli pula nasi kami satu bungkus karena anjingnya terus menguntit kami. Kami bertahan tak mau turun harga. Kalau mau beli yang murah ke lurah sana, elak Uman. Apa boleh buat, dia tak punya waktu banyak, mengeluarkan uang seribu untuk kami.
Aku senang. Permulaan dagang yang bagus.
Tak lama kemudian, kami sudah ikut berkejar-kejaran seperti pemburu-pemburu itu. Kami dengan menenteng plastik besar keluar masuk hutan, bersorak bersama pemburu dan anjingnya. Ketika kami mendengar lenguh babi, kaing anjing, dan teriakan lantang para pemburu bersegera kami memanjat pohon dengan tetap menenteng nasi. Pemburu harus pintar memanjat, karena sewaktu-waktu celeng yang luka akan membalas dengan ganas. Dan aku mulai bercita-cita menjadi pemburu.
Kami mulai melupakan nasi bungkus di tangan. Kami ikut berteriak-teriak bilang, “Hayooo!!!” bersahut-sahutan layaknya pemburu babi andal.
Sampai siang menjelang ketika para pemburu istirahat belum ada lagi nasi kami yang laku. Beberapa kali kami bertemu Abak. Dia menyuruh kami pindah tempat di mana para pemburu sedang istirahat. Wajahnya tampak menghitam karena panas. Peluh meleleh di sekujur tubuhnya. “Semoga banyak rezeki,” kata beliau pada kami.
Jiwa petualangan kami sudah terbuka, kami melupakan nasi bungkus dan seluruh niat untuk berdagang. Di tempat berkumpul pun tak ada lagi yang berteriak “Nasi … Nasi ….” Perhatian kami tertuju pada anjing-anjing tampan besar itu yang tampak sigap dan garang. Apalagi ketika pemiliknya bertutur kehebatan anjingnya dalam perburuan kali ini.
Beberapa kali kami pindah dari satu kelompok ke kelompok yang lain, mengagumi cerita pemburu dan anjingnya, sampai perburuan dimulai lagi.
***
Dari lima puluh bungkus nasi yang tersedia, hanya habis dua bungkus saja. Seharusnya, jika kami benar-benar berjualan dan mau tawar-menawar setidaknya separuh nasi kami akan laku. Kami tak pernah tahu kalau anjing yang diajak berburu memang sengaja tak diberi makan.
Kami telah melupakan nasi bungkus karena perburuan terasa begitu seru. Sepanjang siang hingga sore kami memang masih menenteng nasi yang sudah dingin ke mana-mana, tapi tak sekali pun kami menawarkannya pada pemburu.
Sore itu ketika bungkusan nasi tergeletak di ruang tengah, sambil tersenyum Abak berujar, “Panggil tetangga kita, ajak mereka makan bersama. Rezeki kita makan enak sekarang.”
Ada yang berbeda dari nada suaranya. Ada sendu dari diamnya Amak. Aku tahu, kami sudah menghabiskan semua beras yang tersimpan di dalam belek. Menghabiskan semua sisa uang untuk belanja isi dapur. Aku menatap nasi bungkus yang tak laku, sisa dari apa yang pernah kami miliki. Setelah itu beliau turun ke pemandian. Matahari tergelincir di pohon ketapang di pinggir laut yang terlihat dari ladang. Aku menyusul Abak diam-diam. Di usiaku yang baru sebelas tahun itu, untuk pertama kalinya kulihat Abak menangis. Tangis yang ia lepaskan pada bilah-bilah bambu pancuran. Tangis yang hingga kini masih bisa kurasakan sesak-pedihnya.
- Nasi Bungkus dan Pemburu Celeng - 18 March 2022
- Sajak-Sajak Indrian Koto - 28 January 2020
- Anak Panggung - 25 May 2018
Manusia Pagi
Bagus cerita nya…
Yeyen Kiram
Kisah yg menarik dan amat menyentuh….
Rukismin
ceritanya halus, gampang dicerna