Muara Surantih
i
sebelum muara itu dibangun
— sungai yang meliuk serupa ular,
kini lurus menancap laut—
kami mempercakapkannya dalam banyak ragam
tentang yang mungkin dan tak mungkin
berpulun di dalam pantun,
berpiuh dalam umpama-umpama baru.
secepat tahun-tahun itu runtuh
kami memiliki muara baru
bagan boleh lewat, tak cemas bakal tersangkut
boat dan payang menyelinap di celah ombak.
kami saksikan semua dari jembatan
di atas perlintasan yang datang
dan akan segera hilang.
secepat dibangun, secepat itu pula kita abaikan.
ii
yang diangkut dari hulu tak selalu
sampai muara jauh
di alir sungai semua bertemu.
sungai dengan banyak cabang
hulu manakah yang memberi lebih?
iii
di muara surantih
bagan tua menampung letih pelautnya
boat-boat yang tersesat di antara
keranjang-keranjang kosong, sabun cuci, pondok teri
harga solar, bekas sampo, serta hutang di kedai minum.
mungkin buih sabunmu yang di hulu
berbekas di sini, di antara kutukan yang diterima muara
minyak-minyak tumpah, anak-anak mandi,
bekas parfum, bungkus mie instant,
kaleng kosong,
dan hari pekan yang mencemaskan
menyelinap di antara bangkai bagan, bekas rumah,
dan laut terus menelan daratan.
bekas galian menyisakan pulau kecil
tempat kerbau tidur nyenyak di pondok teri
di muara surantih
semakin jauh bau ikan
semakin lengang lenguh bagan.
surantih-yogya 1020
Di Depan Sekolah
aku berdiri di depan sekolah
masa kecilku yang jauh.
gerbangnya seluas alam
bagai kota yang dibangun kembali
dan kosong. kenangan,
bahkan aku masih menatanya dalam ingatan
tak ada yang ditinggalkan untukku di sini
sebab pergi mengusung nasib sendiri-sendiri.
di depan sekolah, masa depan terus ditanam
di antara petai jawa dan asam belimbing
yang meranggas serupa demam
seperti diriku kini
tak sepenuhnya bisa kembali,
dihajar perih ke mana pergi.
Salatiga-Temanggung
salatiga-temanggung,
suatu kali aku-kau harus lewati kembali
telomoyo dan merbabu saling memandang,
kita berdiri di antaranya.
bambu, kota dan lampu-lampu, seperti lembah dengan
rimbun cahaya
jalan bercabang membuat kita berdebar
yang mana di keduanya menuju rumah?
tanganku kaku oleh dingin dan penyesalan
kita mesti terus berjalan
orang asing yang berpura-pura saling mengenal.
Di Makam Pahlawan
kau yang dipeluk lembut bumi
tidurlah tenang.
dengan usiamu yang singkat
telah kau tulis panjang riwayat.
sepeninggalmu dan banyak orang
–mungkin tanpa kubur—
hidup lebih bebas sekaligus menakutkan.
kita sama-sama beruntung, kurasa
sama-sama kehilangan ziarah.
tanah ini tak cukup lagi menambah
kubur baru untuk mereka yang bakal mati
sebagai pahlawan baru, oleh perang-perang
kecil yang sengaja ditiupkan.
Ancaman
kumasuki sebuah kampung
yang nyaris mustahil
di antara gedung-gedung
berebut mendaki langit.
pertama-tama mungkin ketakjuban
lalu menjelma sebagai ancaman
kampung kecil ini
akan terhapus di dalam peta
sebagai rumah yang pernah ada
sebagai sejarah yang dikenang seadanya.
airnya tempatku mencuci baju
akan menguap ke gedung baru
lahan baru bagi orang baru
tak menyisakan tempat ziarah
bagi rindu yang tak tercegah
Petani kata
yang mencintai hutan
akan kembali jadi peladang
membakar apa yang pantas,
menebas apa yang seharusnya jadi benalu.
dulu kau biarkan akar, jadi belukar
kau nyaris hilang akal mencari jalan.
kau tak pernah jauh dari ladang,
sebagai petani, kau hanya berhari minggu,
ke pekan, menyusun perlengkapan.
diam dan pelan
kau menanam yang tak mungkin dituai lekas,
apa yang mungkin abadi dalam waktu
di petak ladangmu yang sempit-lengang
- Nasi Bungkus dan Pemburu Celeng - 18 March 2022
- Sajak-Sajak Indrian Koto - 28 January 2020
- Anak Panggung - 25 May 2018
Anonymous
ajibbb
Nadia fatrisia
Sukaaa bnget…akhirnya nemu karya orang SUTERA pesisir selatan.😍😍😍.
Puisi Muara Surantih seperti lukisan Muara Surantih yang dirangkai dengan kata-kata..sukses terus pak..
Anonymous
suka untuk gaya bahasanya dan maknanya dalem ka.
Ahmad Fadhilah
WARNA
Engkau ada di seluruh penjuru
Engkau yang membuat semua terlihat indah
Engkau juga yang membuat khas antar makhluk
Tanpamu semua akan kusam
Tanpamu pula semua akan sama
Dan tanpamu semua tidak berarti apa apa
Riana Dwi Agustin
Kalimatnya lembut