Panembahan Reso 2020, lakon persembahan “kembali” ke Rendra, dramawan yang sedikit banyak berpengaruh di kalangan sastra, teater khususnya. Kembali, di sini, maksudnya sebagai bentuk penghormatan. Permenungan ulang atas mendiang Rendra, sedasawarsa lalu. Dan sekarang, walakin Panembahan Reso 1986 sudah 34 tahun berlalu, sejak permulaan lakon tak pernah dipentaskan lagi—kemudian tercetus ide untuk mengulangi torehan dari sisa kejayaan masa lalu, mengemban drama tipologi yang pada masanya merupakan upacara, mungkin semacam kenduri sinau manusia kepada pengalaman sejarah, riwayat hidup Rendra bersama Bengkel Teater.
Panembahan Reso 1986 dan Panembahan Reso 2020, sama tapi berbeda. Secara naskah sama. Bedanya perihal durasi pertunjukan semula kurang lebih enam jam, lalu dipangkas menjadi tiga jam. Setelah proses penyuntingan naskah dikerjakan bersama-sama, tentu melewati diskusi panjang yang alot dan operasi naskah yang berliku-liku. Sampai ke titik temu Panembahan Reso 2020 besutan Hanindawan yang ajek pada prinsip naskahnya. Tanpa menanggalkan hal-hal substansial.
Dan perbedaan lainnya, lakon itu kini dimainkan secara kolaborasi antara seni teater, musik, tari, dll. Begitu tawaran komunikasi dan ekspresi dari segala sisi. Bekal upaya mengajak serta penonton “terlibat” ke dalam peristiwa lakon, yakni pemain dan penonton bagian dari lakon, bukan sekadar manut kemauan pengarang lakon ataupun sutradara. Melainkan mengikhtiar (kebutuhan) menikmati.
Keanekaragaman
Tematik dihamparkan ke hadapan penonton: perebutan kekuasaan, keserakahan, intrik, suksesi, dusta, pembunuhan, pemberontakan, dan masih banyak lagi mengambang di permukaan. Apabila sedikit menyelami dasar tema, kalau tidak seks, itu berahi, timbul-tenggelam. Atas desakan dari luar-dalam bercinta, hawa nafsu, syahwat, dan kelamin terutama menjadi bentuk kekuasaan.
Keseluruhan tema bergerak ke arah magnetisitas antara seks, kelamin, kekuasaan. Ketiga hal itu sarat ketegangan-ketegangan, penekanan-penekanan adegan/kejadian, sementara bayang-bayang “khalwat”, terlupakan oleh pengarang, tak pula disadari sutradara. Telanjur mengindahkan kepadatan yang tak berdampak keluwesan. Namun dari itu semua, yang menarik perhatian kita adalah arena konflik dan kekuatan dialog yang menghubungkan gagasan-gagasan yang dikemukakan dalam Panembahan Reso itu sendiri.
“Sungguh menyedihkan. Justru di saat-saat terakhir, aku menyadari, aku, kau, Reso, Baginda Raja dan semua pangeran dan panji mengira dirinya berjuang untuk rakyat. Semua mengaku membela rakyat, padahal sebenarnya rakyat tidak pernah kita ajak bicara. Rakyat tak punya hak bicara …. Astaga! Kita semua bertarung mati-matian, tidak untuk kedaulatan rakyat, tetapi untuk kedaulatan takhta semata,” pasase Panji Tumbal dalam Panembahan Reso. Demikian keadaan kerajaan digambarkan. Barangkali, bagi pengarang lakon, salah satu jalan pelaksanaan kedaulatan adalah dengan mengadakan revolusi dialog. Selaras perjuangan visi kerajaan rakyat, meski memakan waktu lama sekali, dan bukan jangka pendek dalam revolusi fisik.
Menurut Reso, “Pada intinya: pemberontakan harus dimulai dari ibu kota, tidak dari kadipaten. Dan, harus langsung merebut takhta, mengganti pemerintahan …. Bila pemberontakan dimulai dari kadipaten, maka pemberontakan semacam itu hanya bersifat memisahkan diri dari kerajaan. Ini lemah! Ini hanya menentang raja, tetapi belum tentu mampu mengganti pemerintahan. Dan, hasilnya hanya akan memecah belah kerajaan!” Bahkan juga bisa memicu perang saudara, seluruh rakyat. Sementara, Baginda Raja yang gaek, menolak ajakan Pangeran Rebo (anak tertua dari Ratu Dara) untuk berunding dengan para pemberontak, jelasnya, tak ada perundingan apa pun dengan para pengkhianat! Mereka harus ditumpas, dibasmi, dibunuh, dan dipenggal kepalanya, lalu dibawa ke kerajaan.
Demikian juga unsur-unsur tidak sadar di balik Panembahan Reso, setiap pemberontakan akan muncul peperangan, lalu terjadilah pembunuhan, seketika mayat-mayat bergeletakan dan darah muncrat di mana-mana. Dengan dalih firman Baginda Raja, demi kehormatan takhta dan kelanggengan kekuasaan. Itulah sebabnya, setiap gerakan maupun tindakan semacamnya harus menghitung-hitung ulang mengenai ketepatan menyusun strategi, mengatur siasat, dan segala tipu daya muslihat.
Sesungguhnya itu pun alam pikiran Panembahan Reso sendiri. Terbayang cita-cita “menjadi Raja” kala mimpi padahal mata terjaga. Membentuk motif seks, kelamin, kekuasaan (berdaya tarik-menarik) yang dihimpun oleh Panembahan Reso. Dan diembuskan dengan cara strategem, tetapi justru cara yang ditempuh ternyata bersimbah darah dan berlumur keruh.
Kekuatan dialog merupakan hal sentral, kadang tak terduga dan tak terkira, terutama karena sanggup mengerahkan energi untuk memikat sebagian spektator (para pemain) ketika menjelaskan simbol dengan menggunakan corak pengungkapan yang bisa dipahami, ia pun dengan gamblang menyatakan kompleksitas masalah-masalah yang dekat dengan mereka—seolah persis yang kita hadapi sekarang. Di mana seks, di situ ada kelamin dan kekuasaan, begitu pun sebaliknya. Tapi bukan sebagai peristiwa sebenarnya, melainkan lebih menitikberatkan ke suatu keadaan dan sifat tertentu.
Tanda kekuasaan dalam Panembahan Reso ibarat melukiskan anatomi tubuh manusia yang keseluruhan bagian-bagiannya adalah kelamin. Akalnya kelamin. Hatinya kelamin. Perbuatannya kelamin. Perilakunya kelamin. Tindakannya kelamin. Keputusannya kelamin. Kebijakannya kelamin. Jikalau kelamin sudah merajai seluruh tubuh, berarti input dari tiga hal magnetisitas mengalami ketimpangan, maka puncak seks paling rendah adalah kekuasaan. Artinya, kelamin memang bisa menguasai tindak tanduk kekuasaan, tapi ia dikuasai seks. Teperdaya oleh seks yang mengiming-imingi kekuasaan. Sementara seks kekuasaan tak cukup kuat daripada kekuasaan kelamin.
Dorongan seks kekuasaan timbul dari reaksi suatu keadaan, secara politik ia oportunis, secara kebudayaan disebut selfish, secara pribadi berarti kecenderungan hasrat yang berlebihan. Sedangkan kekuasaan kelamin, sifat yang mementingkan diri (kepentingan maupun golongan), dengan cara laku merusak, memerkosa, mengeksploitasi, dan segala hal perilaku “buruk” dari yang terburuk lainnya. Sebab potensi kekuasaan ada dalam diri setiap manusia, tergantung bagaimana kita mengelola dan mengendalikannya.
Momen Konflik
Bentuk pertunjukannya sederhana, lugas dan ekspresif. Muatannya bermotif konflik yang deras luapannya, seperti badai datang tak bosan-bosan. Pengadeganannya bagai gelombang yang menerpa silih berganti. Hadir dan mengalir. Tidak secara menggebu-gebu, namun mengentak. Bertumpu pada dialog sebagai kepekaan komunikasi berhasil membikin suasana segar, tak terasa telah tiga jam menonton, barangkali juga karena kegembiraan berdaya penyadaran.
Tapi di balik keceriaan itu, “Alangkah kotornya isi tengkorak kekuasaan. Itulah sebabnya kepala raja harus dihias dengan mahkota,” ungkap Panji Sekti. Kesan yang sampai justru ngeri, malah di beberapa adegan juga membuat bulu roma bangkit. Ungkapan perasaan yang tersalurkan memang lancar, tapi terasa menabrak-nabrak hati sehingga alam penerimaan sanubari tak sanggup menampung kepadatan konflik yang berseri-seri.
Penekanan-penekanan peristiwa kekejian, dalam permainan edan ini dengan enteng bergerak, bahkan sering berdampak kekonyolan. Di mana hal yang menjijikkan bisa jadi berbahaya dan seolah dapat mengancam kita kapan pun saja. Sesuatu yang (men)dekat kekuasaan tanpa disadari juga memberi tekanan secara halus.
Pasalnya, perebutan kekuasaan tidak terjadi di luar wilayah kerajaan, melainkan di dalam kerajaan itu sendiri. Siapa pun ingin menggantikan Baginda Raja tua dengan cara masing-masing, sendiri, tersembunyi dan rahasia. Hal itu disebabkan oleh kekuasaan kelamin yang tegak berdiri dan penuh ambisi. Mengapa? Anggapan mereka, Baginda Raja tua sudah pikun, tak mampu menimbang putusan mana perkara besar maupun kecil. Dan itu pun tak lain hasil dari prasangka-prasangka mereka sendiri. Asumsi tanpa juntrungan yang jelas paling memberi stigma, tanpa pernah mengerti bagaimana upaya melegitimasinya, karena yang terpenting segala siasat mesti diterobos. Maka setiap perebutan akan menghadirkan serangkaian perebutan-perebutan lagi.
Plastisitas
Sebagian orang menyangka kelamin adalah “raja” bagi diri mereka sendiri, wajar bila setiap orang ingin menjadi raja yang memimpin dan menguasai; takhta dan kekuasaan. Di lain sisi, lemahnya kecenderungan hasrat yang tak terpenuhi oleh seks bisa berakibat impotensi kepercayaan, gairah bukan lagi pada rasa tidak suka melainkan rasa curiga, bahkan syahwat tak sedia bercinta dengan kekuasaan yang sering membuat sengsara rakyat.
Adanya klaim raja-raja dikemukakan secara reflektif dan simultan. Namun, secara eksplisit, Panembahan Reso 2020 tidak menyebut satu nama kerajaan tertentu. Tentu bukan tanpa alasan. Juga bukan tanpa adanya penanggapan. Walaupun memang lakon ini sedang mengungkapkan konstelasi nasional, keadaan lingkungan, bahkan terutama dirinya sendiri. Sehingga sedemikian plastis sosok pribadinya terhadap kondisi tersebut, tapi dengan sikap mengawang-awang. Tak pelak jika penyesalan datang kemudian ia menyapa nurani. Mengulang-ulang bernapas panjanglah. Seperti pelatihan stamina bekal waspada dan spontanitas mengoptimalisasi kondisi atau gejala apa pun.
Begitu pun karakter per adegan memang kuat secara penjiwaan, itulah proses pembatinan konflik yang berdampak pula pada kepribadian fluktuatif. Ketegangan yang digembleng adalah kegiatan jiwa itu sendiri: meliputi gerak, mimik, dan laku ekspresif. Secara subtil sekaligus sublim. Gagasan yang bernuansa konflik itu tetap mempertimbangkan perkembangan karakter-karakter peran. Seperti air yang tenang ia bergerak dinamis. Tapi tak tentu arah keberpihakannya. Sehingga kepadatan itu stagnan sebagai konflik. Tidak mencari jalan masuk “aspirasi rakyat kecil” tersampaikan di kerajaan. Yang mempertegas watak dan kepribadian peran. Ataukah pengarang lakon ingin menegaskan kepada kita bahwa sebetulnya rakyat tak pernah dibicarakan dalam kerajaan? Kegamangan itu menjadi pertanyaan dirinya tentang eksistensi apakah rakyat betul ada?
Lepas dari itu semua, keseluruhan konflik sebenarnya hanya berkutat di wilayah kerajaan. Seolah antara petinggi kerajaan dengan rakyat kecil tak pernah terjadi konflik apa-apa. Sementara Panembahan Reso adalah seorang penyaksi yang luput dari kesaksiannya. Ia menurut apa yang disampaikan, bukan lagi apa yang dinyatakan. Tampaknya beban konflik yang timpang tidak segera diantisipasi dengan daya dialog. Apalagi masing-masing pemain pun belum saling mengimbangi kepekaan komunikasi “vokal” yang memikat, baik secara tempo, intonasi dan nada pengungkapannya. Meskipun hal itu cukup beralasan dan dimaklumi. Tergantung pengalaman akting, totalitas bermain, dan tentu saja “keajaiban panggung”, bagi Rendra.
Betapapun itu, konflik demi konflik senantiasa energik sepanjang pertunjukan, mengantarkan kita pada apa yang semestinya dan seharusnya ia tanggapi. Semisal, apa sebab kemunculan raja-raja? Seandainya menampik keberadaan suatu kerajaan tertentu, apakah juga berarti menolak kehadiran kerajaan itu sendiri?
Apa yang menurut kita merupakan suatu pembangkangan maupun penentangan adalah bentuk protes terhadap situasi, protes kepada mereka sekalian Baginda Raja. Sebab itulah prosedur kejiwaan, yang dengan setengah matang kesadaran, membaca krisis kepercayaan, tata buku curiga, gerak tanpa arti cinta, kebijaksanaan si anak hilang, politik tidak perhatian, berapa banyak pembangunan yang lupa menyayangi, inilah saatnya membebaskan tekanan, meskipun memang itu kewajaran di dalam kasih kemanusiaan, dan proses daya penyadaran (permohonan berpikir) akan terus berlangsung.
Kerajaan Rakyat
Panembahan Reso adalah bentuk lain “penjara” dari kerajaan. Kalau tidak kerajaan rakyat, itu raja yang terpenjara. Mereka yang sudah menjadi atau berambisi menjadi raja, tidakkah menyadari sebagaimana ungkapan Panembahan Reso: “Takhta memang bukan tempat duduk biasa. Begitu aku duduk di sini, aku merasa tuntutan tanggung jawab yang suci dan besar. Dari tempat dudukku ini aku mampu melihat nilai-nilai baik yang harus dipertahankan dan dilaksanakan. Aku merasa sudah mendapat semuanya sehingga aku tak memikirkan diriku lagi.”
Tapi apakah kerajaan adalah tuntutan zaman yang gelisah hidup melanda masyarakat di suatu negeri? Mungkinkah kerajaan rakyat berarti kehendak sekarang yang sedang diperjuangkan dalam tempo waktu yang amat panjang? Bisa juga dikatakan kerajaan merupakan kritik secara terang-terangan, seandainya mereka menyadari mutu kepemimpinan telah berada di titik nadir, yaitu kulminasi paling bawah dari kualitas hidup rakyat. Sebab tanpa kedaulatan rakyat, kesejahteraan dan kemakmuran sama juga bohong di balik kalimat sumpah.
Itulah mengapa kerajaan yang terdiri dari bangunan seks, kelamin, dan kekuasaan akan ambruk seketika, karena mereka tidak percaya pada pondasi rakyat; posisi yang tegak namun tak terlihat. Itu pulalah peletak dasar utama menyebut lakon ini suatu tipologi. Sebagai cara menempuh kerajaan rakyat, untuk tidak menganggap pengarang lakon sedang berpretensi, ia melukiskan konflik yang mempunyai beban maksud tertentu pula.
Apa yang diwartakan Panembahan Reso, tak lain memang masalah-masalah kita sendiri. Nada dasarnya protes, namun posisi kepribadiannya sukar diterka. Mungkin karena perubahan zaman, apalagi ketika zaman lakon itu dipentaskan pun terlampau jauh berbeda, meski terhadap kondisi berbangsa-bangsa tak bisa dielakkan, seolah-olah kita merasa lega, sementara kematangan kesadaran untuk penanggapan sekarang belum terpikirkan.
Tapi menurut Ken Zuraida, “Naskah yang bercerita tentang suksesi ini, akan selalu kontekstual dan universal, karena bisa terjadi di mana pun, dan kapan pun juga.” Ya, kalau kita pakai cara pandang relevansi dan aktual, maka kita hanya mengambil segi penyaksian dari sebuah kesaksian. Akan tetapi lain jika ukuran kita penanggapan sekarang, problemnya mungkin tetap sama, namun kompleksitas permasalahannya pasti berbeda-beda.
Sesudah menonton Panembahan Reso 2020, terbayang wajah kondisi negeri kita, bagaimana mungkin kita diamkan sesuatu yang melekat di tubuh kita, dan apa jadinya jika kegelisahan tak sanggup lagi menggerakkan kita untuk berpikir? Memikirkan masalah-masalah kita sendiri, saat ini. Tidak sekadar mengulang-ulang pendapat di masa lalu untuk menerangkan gejala menurut apa yang bukan pendapat kita. Meskipun memang kita tetap butuh pernyataan yang lalu sebagai pijakan kini, bekal meriset kehidupan dan tantangan kehendak sekarang. Maka dari itu, daya penyadaran “Rendra” sebagai cara, suatu metode tipologi untuk membedah apa yang sedang terjadi, tindakan demikian akan otomatis dengan sendirinya jika kita memasak dengan berbagai cara pandang untuk menimbulkan suatu kematangan berpikir.
Bertolak dari mengenang dan menghormati. Makanya kita harus membuat karangan lakon sendiri yang dipersembahkan kepada Rendra sekalian penonton teater di mana pun berada. Salam.
25–29 Januari 2020
- Mengaum secara Mandiri - 11 January 2023
- Puasa Sepanjang Zaman - 22 April 2020
- Hamzah Bague Jassin - 1 April 2020