Mengaum secara Mandiri

Pertunjukan “AUM” Teater Mandiri, karya dan sutradara Putu Wijaya, tanggal 4–5 Januari di Teater Kecil, TIM.

Sebelum pertunjukan dimulai, saya tergelitik tatkala mendengarkan sepatah-dua patah kata sambutan dari aktor gaek, Jose Rizal Manua, “… dengan demikian, pertunjukan ini bukan sebagai bentuk pekerja sosial, melainkan teater sebagai pekerja seni, meskipun dalam karya dan pertunjukan teater tetap menyoal masalah-masalah sosial.”

Saya kira banyak orang sepakat dengan pendapat itu. Pendapat yang senantiasa mengambang di permukaan seni secara umum. Hampir semua kalangan dan lapisan masyarakat seniman mungkin telah berulang-kali berpendapat seperti itu. Pendapat pada setiap batas seni dan sosial. Seolah-olah terbentang jarak antara pekerja seni dan pekerja sosial. Hal ini didasari oleh suatu kesadaran wilayah dan posisi di satu sisi, kehadiran dan keberadaan di sisi lain.

Pendek kata, yang satu menghendaki keistimewaan yang dangkal, dan yang lain, mencoba kemungkinan yang menyeluruh. Yang satu terus membangun tembok berlapis-lapis dalam segala hal, sedang yang lain berusaha mengalami langsung secara ulang-alik di antaranya. Yang satu memperjuangkan identitas, sebagian yang lain mendayagunakan personalitas. Dan kita berada dalam satu kurun kepalang terbiarkan, di mana yang sempit belum meluas, di mana yang luas kurang mendalam, di mana yang dalam tidak menyeluruh, di mana yang seluruh tidak utuh. Semua serba setengah-setengah menurut alam berpikir sekarang. Terasa sampai hati saya ingin mengaum tentang itu, tapi nanti dalam pembahasan yang akan datang saja.

Kembali ke pertunjukan amal Teater Mandiri berjudul “AUM” karya dan sutradara Putu Wijaya, yang dipentaskan pada 4 dan 5 Januari 2023, di Teater Kecil. Pertunjukan semacam bentuk dedikasi sekaligus sebagai tanda solidaritas sesama, kepada tokoh-tokoh teater modern Indonesia terkemuka, yang sedang dalam perawatan intensif atau sakit, dan terutama juga untuk yang membutuhkan.

Bertolak dari niat, pertunjukan ini tidak akan mengubah Teater Mandiri menjadi pekerja sosial. Justru malah merangsang pekerja seni kudu ngeh terhadap gejala sosial, agar tak jemu-jemu hadir dan mengalir sebagai kepedulian terhadap sesama. Mungkin karena itulah, Mandiri perlu memainkan ulang “AUM”, kan memang bukan wayah-nya lagi “mengaum-ngaumkan” diri. Biarlah itu urusan yang bukan teater mandiri. Sementara, bagi penonton, apakah “AUM” kaum udik akan menjadi daya penalaran dan penyadaran hidup untuk senantiasa “mengaum”, ataukah justru malah sebagai suatu kebebasan berekspresi “mengaum-ngaumkan” segala?

Terjawab atau tidak, terserah-serah spektatornya. Penonton juga bisa bilang itu pertunjukan humor yang sarkasme, drama yang sarat kritik sosial, dan peristiwa-peristiwa ganjil yang hadir secara wajar. Semacam miniatur kehidupan yang aneh namun menggembirakan, penuh absurditas sekaligus juga mengasyikkan. Tak ada goro-gogo dari Mandiri-nya Putu selain keabsurdan-absurdan, yang anehnya kalau saya ngeh tampak biasa saja. Menghibur tapi kurang edan. Kadang kala edan tapi belum menggebrak. Itu pun sudah turah-turah pemakluman saya.

Lagi pula “AUM” memang bukan suatu penjelasan mengenai dunia kita hari ini, meskipun pada kenyataannya seakan-akan terjelaskan begitu saja. Ia mungkin mewakili suara kita sesama penghuni pinggiran kompleks di jalan-jalan kemiskinan, penderitaan, kematian, ketidakadilan, dan kekuasaan yang cuek bebek lagi mengaum-ngaumkan diri. Ia mungkin menggambarkan suatu fenomena bahwa siapa pun yang merasa terasing di tanah airnya, janganlah merasa tidak pernah asing di mana pun kamu berada. Dalam keasingan itu terkandung beragam penghayatan dan pembatinan mengenai alam sekitarnya.

Betapapun keberadaan kita sekarang ini absurd dalam hal negara, masyarakat, dan calon pendamping hidupmu, namun tak ada jalan bagi kita selain untuk menerima dan mengendalikan absurditas itu. Cobalah bayangkan, ketika segerombolan orang datang dari jauh, lalu tidur begitu saja di depan rumah bupati. Ketika segerombolan orang udik hendak bertemu bupatinya. Ketika sudah ketemu bupati ingin menuntut jawaban tanpa pernah bertanya sekalipun. Ketika tahu pada akhirnya pasti tak ada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tak tersampaikan itu, maka kehidupan yang sesudah hidup ini nanti mesti dipercepat lewat jalan tol dengan bunuh diri. Selesai. Fantastis. Apalagi mau dikata? Absurd memang. Tapi jangan sampai kamu menjadi absurd juga, sebab kehidupan ini sangat bermakna, tapi orang-orang absurd justru menolak maknanya. Seolah-olah dunia tidak mau bekerja sebagaimana menurut alam berpikirnya.

Seandainya saya minta rokok, orang absurd tidak akan memberikan, melainkan malah memberi kita pedoman bahwa apa yang kamu inginkan tidak melulu bisa kamu capai, apalagi akan kamu dapatkan. Itu semua kosong, omong-omong pahamilah lagi cara kerja hidup. Begitulah absurditas. Tak pernah tuntas sampai akhir hayat.

Tetapi karena saya percaya bahwa yang membedakan antara manusia dengan binatang adalah bahwa manusia mampu memberi makna, sedangkan binatang tak. “AUM” seperti suara di kedalaman hati manusia, suara orang lain yang sampai terdengar dalam hati nurani, dan suara orang biasa yang berharap bisa didengar oleh penguasa. Tanpa berhati memahami, tak mungkin kita mengerti pertanyaan-pertanyaan orang udik, tak akan bisa menjawab apa-apa karena merasa tak ada pertanyaan. Orang yang senantiasa merasa semua tampak biasa saja, dengan kata lain gapapa, sangat sukar memberondong pertanyaan-pertanyaan. Begitu pun sebaliknya, orang yang bertanya dalam segala hal secara lisan-tulisan, ataupun dalam hati terdalam, mungkin telah meragukan plus menyangsikan apa yang terjadi kini dan nanti. Apa yang akan terjadi kepada diriku ini?

Sebuah penemuan ataupun penjelasan yang istimewa itu sering kali berasal dari hal-hal yang aneh dan remeh-temeh. “AUM” seakan-akan merayu kita untuk kembali menemukan dan menjelaskan ulang hal-hal dekat di sekitar kita. Supaya kita tidak gampang kagetan dan gumunan terhadap kehidupan yang menyimpan segala kesia-siaan.

Dengan bertolak dari yang ada, “AUM” telah bermain dalam kenikmatan saya sebagai penonton. Segalanya seperti terjadi sewajarnya dan bersahaja. Pencahayaan begitu sederhana dari awal sampai akhir. Suara yang memekakkan dan layar berombak khas Mandiri. Progresivitas dan suspensinya bagaikan naik-turun elevator. Kurang-lebih setiap aktor tampil secara optimal. Keunggulannya terletak pada biasa saja, wajar-wajar sajalah. Seperti tak ada yang menarik perhatian, selain kenikmatan dan tontonan yang enak dipandang mata. Itulah mengapa saya percaya betul bahwa proses keaktoran adalah seseorang yang tidak melakukan akting apa pun, meskipun tak masuk di akal. Jadi teruslah mengaum secara mandiri, atau bersama-sama. Tabik!

5 Januari 2023

Syahruljud Maulana
Latest posts by Syahruljud Maulana (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!