buat Sha Ine Febrianti
Loubna Dzakiah
sebuah monolog genthong hsa
Di dalam hutan Shinta duduk di atas batang pohon tumbang atau tonggak pohon tua, tangannya memegang selembar daun yang lebar, yang menyita seluruh perhatiannya, ia amati gurat-gurat daun itu. Kemudian ia sedikit melipat-lipat daun itu dan dilempar ke udara, seolah menerbangkan seekor burung. Daun itu jatuh, ia melenguh. Ia mengambil daun yang baru, diamatinya lagi, lalu digulungnya dan disimpan di atas telinga, seperti wanita Bali memasang sekuntum bunga Kemboja. Shinta memetik sekuntum bunga hutan yang biasa saja, lalu ia hias telinganya yang sebelah lagi.
“…Meski hanya daun yang tak bisa terbang, bunga yang tidak wangi, kalianlah selalu sahabat-sahabatku, tak perlu ada yang harus disesali….
Tidak, memang tidak ada yang aku sesali….
Aku manusia yang tidak pernah tidak mengharapkan, mampu meraih kebersihan hati sebersih-bersihnya, kesucian hati sesuci bisa, apa pun dan bagaimanapun sakitnya hatiku kerna ulah sesamaku. Aku tak mau terjebak dalam penyesalan tak kunjung usai, dan sebenarnyalah, tidak ada sama sekali yang aku sesali…. Apa pun itu…, bila menyangkut diriku sendiri, diriku pribadi…!
Semoga memang benar demikian, semoga aku tidak menipu diri sendiri. Sebab, aku pasti kecewa dengan kakanda Prabu Ramawijaya, suamiku. Pasti…!
Ya…, bila ada yang aku sesali, hanyalah dia seorang.…
Aku berusaha meniadakan impian-impian masa muda dengan segudang ambisi yang entah dari mana datangnya. Hidupku sendiri sudah mengajarku untuk berhenti…, ya, berhenti, mengkhayalkan yang serba indah…. Hidupku sendiri sudah mengajarku untuk sumarah…. Pasrah-sumarah berserah diri…, kepada siapa lagi kalau bukan kepadaNYA…. Yang Maha Kuasa….
Sebagaimana setiap manusia, aku pun punya mimpi, dahulu. Aku memimpikan, agar hidupku bermanfaat bagi sesamaku. Karena aku seorang putri raja, selalu hidup di dalam istana, mengenal segala hanya dari apa yang bisa aku dapatkan di dalam istana. Paman-paman dan bibi-bibi yang bertugas mengajari aku hidup, apa yang bisa dan boleh dimakan, apa yang tidak boleh karena berbahaya bagi kesehatan, dan sebagainya….
Mereka sudah berusaha keras memenuhi keingintahuanku. Tetapi mereka sendiri bingung mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku, yang katanya mereka sendiri tak tahu apa jawabannya. Mereka bisa mengajari aku bagaimana membasuh diri, agar tubuh bersih, lalu diasapi ratus wangi. Dari mereka pula aku belajar mengenakan busana dan membukanya, belajar sikap makan yang baik terutama bila di hadapan Ayahanda Prabu dan Ibu Suri.
Dari mereka pula aku mulai belajar menari, sebelum Ni Luh Cadudasa membimbingku menjadi penari keraton. Dan dari para Biyung Emban aku mengenal namanya, kemudian aku memohon Ayahanda Prabu mendatangkan Kaki Sastrapujangga. Aku ingin bisa membaca semua pustaka lontar dan belajar menulis. Banyak Catatan Doa dan Mantram yang telah kubaca, Lontar Purana. Risalah keagamaan, juga aku pelajari, aku tidak begitu tertarik. Ada Lontar Tutur, catatan tentang Kehidupan orang-orang suci, dalam bentuk Usana, kisah yang indah. Tentu, itu lebih menarik hatiku. Meski juga ada Aji, ajaran kebatinan dalam bentuk Kakawin dan kidung bahasanya kelewat sulit, sebelum dewasa tak boleh aku membukanya. Hanya untuk para Brahmana, Wiku, dan pendeta, katanya.
Lontar Usada, catatan pengobatan, aku suka, banyak jamu-jamu di situ. Para Biyung Emban menggunakan Gandik melembutkan beras dan kencur menjadi jamu di atas pipisan, mereka melakukannya tanpa membaca, kerna mereka tak bisa baca lontar. Biyung Emban sudah hafal ramuan jamu-jamu. Membuat beras kencur setiap hari, membuat jamu pahit Galian Singset mereka bisa, tetapi mereka tak tahu mengapa jamu berkhasiat menyembuhkan. Dan Biyung Emban tak bisa menyembuhkan sakit suaminya.
Di Gedong Lontar hanya terdapat tutur kisah kehidupan raja dan brahmana, tutur purana orang kebanyakan, seperti catatan kehidupan para emban, kehidupan para petani, para Bocah Angon tidak pernah ada. Kisah kehidupan prajurit biasa juga tidak ada, harus sekelas Kapi Hanila, baru ada. Juga catatan tentang Biyung Emban yang terpaksa melahirkan putera gusti pangerannya tidak ada. Apalagi catatan kematian aneh emban cantik yang melahirkan anak kembar seorang pangeran, yang meninggal bersama ketiga-tiganya.
Bukankah kehidupan seperti kehidupanku sendiri, yang harus aku jalani ini, harus aku hidupi, patut dicatat?! Semoga tak ada lagi seorang putri yang dibuang suaminya sendiri ke dalam hutan, seperti aku. Hhmmm….
Tak ada teman, tiada kawan, selain burung-burung, serangga, cengkerik, dan binatang melata…. Aku berserah diri sepenuhnya ke HadiratNYA. Apa yang tersisa untukku sebenarnya, selain hanya menjalani dan berupaya?!
Ya, apa yang tersisa untukku yang bisa aku kerjakan, selain dari menjalani dan berupaya…?! Hanya itu…, harus bisa…., menjalani dan berupaya…. Hidup tokh tidak lama, beberapa tahun lewat, lalu lenyap….
Manusia nampak tak beda dengan air yang mengalir…, jalan berbelok air pun membelok, menemu batu air pun berupaya menghindari, ke kanan, ke kiri, ataupun meloncati. Hidup harus luwes, tak mungkin kaku, tak mungkin kebodohan diyakini….
Dan garis hidup…?
Ya…, itulah garis hidupku….
Dan garis hidupku adalah…, bahwa aku….
Bahwa aku dilahirkan tidak sebagai rakyat jelata….
Tidak, aku dilahirkan tidak sebagai manusia kebanyakan….
Aku bukan manusia biasa…, bukan!!!
Aku tidak dipersiapkan untuk hidup miskin…, seperti sebagian besar umat manusia. Tak pernah aku dipersiapkan untuk menjadi orang miskin. Tak pernah aku dipersiapkan untuk hidup miskin, jadi Orang Melarat…. Tidak pernah dan tidak pernah…, tidak, tidak, tidak…….
Tidak pernah aku dirancang dan dipersiapkan untuk jadi orang pinggiran….
Menjadi orang pinggiran tidak berpunya, yang sejak pagi-pagi buta hingga tengah malam harus membanting tulang…, tak pernah aku dipersiapkan untuk itu…!
Tak pernah aku dipersiapkan untuk hidup seorang diri di tengah rimba raya….
Tak pernah aku membayangkan seorang diri siang dan malam di tengah hutan belantara…, tak pernah dan tak pernah…. Membayangkan hidup seperti ini… sendirian di tengah hutan …. Alas Gung Liwang-liwung….
Hemmm…….
Aku tidak menuntut apa-apa….
Tetapi, bila akhirnya tokh aku harus hidup dalam kesuraman dan kegelapan ini, terpaksa aku bertanya, …mengapa aku tidak dipersiapkan sebelumnya?!!
Mengapa?!!
Mengapa aku tidak dipersiapkan untuk menghidupi kesuraman ini, agar aku bisa menjalaninya sepenuh hati. Sendirian di tengah belantara, tanpa kawan seorang manusia…?!
Alas Gung liwang-liwung….
Benar-benar seorang diri….
hanya ditemani tombak pusaka, busur, dan anak panah….
Tanpa ada seorang pun manusia…….
Meski Prabu Ramawijaya suamiku,
memerintahkan beberapa tukang membangun gubug dan lingkungan hunianku….
Empatpuluh-tiga hari kerja selesailah semuanya…. Ketigapuluh-tujuh orang tukang babat alas, penebang pohon, pembangun gubug sederhana, serta beberapa peladang menyiapkan sawah-ladang mungil di samping gubukku…. Lima orang wanita memasakkan makanan bagi mereka selama bekerja menyiapkan hunianku, sambil bertanam bawang, cabai, tomat, serta ubi. Mereka sengaja tiga pekan masih berada di sini memberikan pelajaran hidup mandiri kepadaku, sekaligus menemaniku, sehingga aku berkesempatan menyesuaikan diriku hidup sendiri di sini…. Setelah itu mereka pamit, meninggaliku beberapa kuwali pemasak air dan penanak nasi…. Mereka meninggaliku beberapa pisau dapur, arit, pethel (kapak), dan pacul. Bibit jagung dan Padi gogo sudah mereka tebarkan, semoga kotoran empat pasang kambing yang mereka hadiahkan kepadaku bisa kupergunakan sebagai pupuk dan menyuburkan ladang bahan panganku…. Juga selusin ayam betina serta tiga ekor ayam jantan semoga bisa beranak-pinak. Tiga pikul beras, tiga pikul jagung, sepikul gula aren dan garam laut mereka simpan di satu-satunya kamar mungil yang ditembok dengan pasir, kapur dan putih telur. Dengan sabar dan telaten mereka menerangkan cara mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang satu pun belum ada yang pernah aku kerjakan, bahkan ada yang sebelumnya, melihat orang mengerjakan pekerjaan itu pun aku belum pernah. Dan kini semua itu harus aku lakukan sendiri, tiada tempat bertanya, tidak juga kepada burung, bunga, ataupun angin, yang menyadarkanku bahwa aku masih hidup di dunia.
Dasar otakku bebal, bodoh dan bebal, waktu duabelas pekan, mana cukup untuk belajar semua itu…?!
Betapa miskinnya seorang putri istana, meski nampaknya cantik-jelita, kaya raya, banyak guru pandai dan sakti mengajarkan berbagai ilmu….
Tetapi ilmu hidup yang sebenarnya, tak dikuasanya.
Menanam padi, berladang sayur, memasak nasi, oseng kangkung ataupun telur bumbu pedas, merebus singkong gurih, memanjat pohon kelapa dan memetik buahnya, memangkas bunganya dan menampung getahnya untuk dimasak jadi gula….
Putri istana…, huh! Manusia paling tak berdaya…, bikin malu!!!
Di atas Tikar pandan yang kugelar di lantai kayu bila aku tidur, tanpa bantal, tanpa lampu penerang di malam hari…, sering aku ngungun….
Benarkah semua yang kualami ini bukan pembalasan dendam…?! Tetapi lalu siapa yang dendam kepadaku…?
Setelah Dewa Brahma dan Dewi Agni menyelamatkan tubuhku dari panasnya kobaran api…, kecemburuan yang tak tertahankan rupanya membesar merajalela, hhm….
Dan sampailah aku di sini, benarkah demikian…?!
Oh Dewata….
Siapa kini yang harus kubenci, siapa yang patut kubenci?
Diriku sendiri….?!
Tak ada seorang pun, dan aku pun sudah belajar menjauhkan perasaan kotor semacam itu.
Aku manusia yang selalu berupaya menjauhkan diri dari kekotoran jiwa, berlatih untuk tidak membenci apa pun, tidak membenci siapa pun, meski sebenarnya banyak yang layak aku benci.
Ya, membenci siapa pun…, haruskah aku…? Bolehkah aku…? Dimulai dengan membenci bapakku sendiri…. ya…, manusia yang dikatakan sebagai bapakku sendiri…. Seorang bapak yang kalau bukan edan entah apa sebutannya…, seorang bapa yang tergila-gila pada anaknya sendiri…, seorang bapa yang ngawurnya tumpuk–undhung, di atas ngawur masih ada yang lebih ngawur…. Dan di atas yang lebih ngawur masih ada juga yang lebih ngawur lagi…. Dan di atas yang lebih ngawur lagi masih ada yang paling ngawur… dan di atas yang paling ngawur masih ada ngawurnya ngawur…. Dan di atas ngawurnya ngawur itulah bapa-ku…. Jauuuuh di atas ngawurnya ngawur…, tak terbayangkan…….
Namun sebelum aku membenci Bapa, yang entah dengan cara bagaimana mengukir tubuh jasmaniku……, seharusnya aku membenci asal-usul bapak-bapak di dalam hidup ini….
Atau barangkali aku langsung saja, kecewa dengan hidup ini, kehidupan itu sendiri. Ya…,
karena aku hidup maka aku harus menghidupi semua ini, mengalami semua ini, menjadi saksi semua ini, dan lebih konyol lagi menjadi korban dari semua ini….
Seandainya aku tak pernah ada, hidup tak pernah memberiku kesempatan untuk menghidupi hidupku di dunia ini, pasti semua kesuraman ini pun tak akan pernah terjadi atas diriku….
Dan…..
Mau tidak mau…….
Dan….
Karena aku sudah berada di dunia ini, jantungku bekerja dan paru-paruku bernapas…, aku menyadari seluruh kehidupanku,
ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga. Jelas, tak bisa aku membenci diriku sendiri, tak bisa aku membencinya. Seburuk apa pun hidupku, sejelek apa pun kehidupanku…, bila aku membencinya, rasa kebencian itu akan selalu bersamaku, tak mau hilang…, rasa kebencian itu akan mencengkeramku…, tak mau pergi…. Edan!!!
Bila aku mampu menenangkan diriku, rasa kebencian itu menipis…, menipis dengan sendirinya, entah bagaimana terkikisnya…. Semakin aku tenang semakin hilang dia…, akhirnya bekasnya pun tak ada….
Dan aku bisa tenang bila aku tidak mempedulikannya, peduli dengan kebencian yang sering terasa ada dan mengganggu. Tak mau aku dikalahkan olehnya, kebencian itu…. Aku bersikap sebagai manusia yang baru saja lahir dan mulai hidup di atas bumi ini. Rasa benci itu tak pernah memperkenalkan dirinya kepadaku…, titik!
Menurut Hanuman, upayaku meniadakan rasa benci itu disebut ikhlas. Itulah yang disebut keikhlasan. Aku tidak membuat semua keburukan ini Tidak Pernah Ada, aku telah mengikhlaskannya. Keburukan-keburukan itu hanya SEOLAH tak pernah ada, karena sudah aku ikhlaskan…, hemmm….
Menurut Hanuman, semua itu masih ada dan selamanya tetap ada, tetapi tak mampu ia untuk menggangguku lagi…. Aku berkuasa atas suasana hatiku sendiri…, hemmm….
Akan tetapi…, banyak pula yang menyayangiku…, yang tak mungkin aku benci, jelas tak bisa aku benci…, seperti kettigapuluh-tujuh orang rombongan tukang-tukang itu, yang meninggalkanku dengan meninggali derasnya air mata mereka untuk menemaniku…. Luar biasa… mereka juga menyebut-nyebut kata ikhlas…. “Gusti Ayu sungguh ikhlas sekali…, luar biasa kebesaran hati Gusti Ayu…,” kata salah satu perempuan yang membuat tegal jagung di samping pondok, untukku…..
……………………………………………
Dan untung ada ksatria Hanuman….
Ya…, Hanuman Bambang Senggana….
Anjaniputra…….
Bayusuta…….
Mayangkara….
Sungguh beruntung aku, ksatrya wanara Hanuman yang ketika itu diperintahkan kanda Ramawijaya untuk mengawal rombongan yang membawaku ke dalam hutan ini. Entah bagaimana aku, bila perajurit ataupun panglima tentara yang lain yang diperintahkan kanda Prabu Rama untuk mengantarkan aku kemari.
Hanuman…, ksatria wanara putih…, bertubuh putih berdarah putih berhati putih…. Pertapa Gunung Kendalisada, ya Hanuman…, Sang Resi Mayangkara.
Setelah melepas rombongan tukang-tukang berangkat pulang, yang mereka lakukan dengan tangis sesenggukan sepanjang jalan, Resi Mayangkara menghaturkan sebilah Cundrik, keris kecil pusaka ampuh, kepadaku, “Untuk sipat kandel paduka, yang mulia junjungan hamba”, unjuknya taklim. Hatiku tergetar oleh kesetiaannya, tergetar oleh keksatriaannya, meskipun ia hanya seorang wanara.
Aku teringat saat aku dalam sekapan Prabu Dasamuka…….
Diantar putri Pangeran Gunawan Wibisana Dewi Trijata, Hanuman menghadapku di Keputren. Ketika itu hatiku juga tergetar oleh keksatriaannya, kejantanannya…, hatiku tergetar oleh kegagahannya, keberaniannya, sungguh luar biasa….
Kerajaan Alengkadiraja adalah kerajaan yang sangat kuat. Prabu Dasamuka seorang raja yang sakti, memiliki Ajian Pancasona dan Ajian Rawarontek, serta memiliki usia sesuai permintaannya sendiri kepada Dewata Agung, sedemikian panjang. Dasamuka diluluskan akan memiliki usia tujuh kali lebih panjang dari usia jagat-raya. Demikianlah keserakahannya, sungguh di luar nalar…. Di samping Rahwana sendiri, adik-adiknya tak kalah sakti, semuanya. Dewi Sarpokenaka, perempuan pengumbar hawa nafsu yang sungguh sakti mandraguna. Kemudian Pangeran Kumbokarno, ksatria budiman sangat sakti yang tak suka dengan sipat angkaramurka saudaranya. Ia lebih suka tidur pulas dari pada menjadi saksi segala duka-derita dunia.
Kumbokarno berpesan kepada pembantu dan pelayannya, ada peristiwa apa pun jangan ia dibangunkan dari tidurnya. Ia hanya akan bangun kalau ia mau bangun. Bila Negara dalam bahaya yang besar baru ia akan bangun untuk membelanya. Benar atau salah negaranya, ia tetap akan membelanya, karena ia wajib berbakti kepada negerinya.
Selain Kumbokarno, adik bungsu Dasamuka adalah Gunawan Wibisana, seorang ksatria bijaksana yang juga membenci keangkaramurkaan saudara-saudarinya. Bila Kumbokarno memilih tidur nyenyak, Wibisana memilih berpihak kepada musuh Dasamuka dan memerangi saudaranya sendiri. Wibisana memihak kepada Prabu Ramawijaya.
Selain mereka berempat di Alengkadiraja ada Patih Prahasto, adik Dewi Sukesi, ibu Rahwana, yang sakti dan bijaksana, namun nasihat-nasihat baik yang ia berikan kepada keponakannya tak pernah diacuhkan Rahwana. Putera sulung Rahwana Raden Inderajit, kesaktiannya tidak di bawah ayahandanya.
Para prajurit dan para panglima Balatentara Alengkadiraja juga bukan tandingan sembarang pasukan militer. Mereka pasukan-pasukan yang telah menjalani gemblengan luar biasa dari tangan rajanya langsung, Prabu Rahwana….
Siang malam penjagaan negara dilakukan dengan ketat. Para penyair Alengka memujinya dengan kalimat: “Tak ada seekor burung pipit sekalipun yang akan mampu melewati rapatnya penjagaan Alengkadireja, tanpa diketahui oleh para perajuritnya….” Sungguh luar biasa.…
Walau demikian…, Hanuman berani menerobos masuk seorang diri, betapa mendebarkan. Hanuman benar-benar bukan ksatria sembarangan, nyalinya pasti beberapa kali lebih besar dari besarnya Gunung Mahameru.
Ia sungguh seorang monyet yang luar biasa, digdaya sakti mandraguna, berani tak ada yang ditakuti, jujur dan setia kepada junjungannya. Hanuman menjunjung tinggi adab, menjunjung tinggi budaya, melebihi kebanyakan manusia. Dengan sangat mulia ia menempatkan derajatku setinggi-tingginya, Hanuman sendiri merendah, seolah ia hanya abdi yang paling tak punya kedudukan di Kemah Perang kakanda Prabu Ramawijaya. Padahal sebenarnya, dialah ksatria yang paling tangguh dan mumpuni, watak ksatria yang menggetarkan hati setiap wanita.
Dan Hanuman mendengarkan segala ucapanku dengan saksama. Dengan hanya sedikit kata-kata, ia membuat hatiku tenang penuh harapan. Ia kabarkan kepadaku, tak lama lagi kanda Ramawijaya akan datang sendiri menjemputku, dan menghukum si penjahat pembuhuh Jatayu Sakti Sang Garuda, ya Rahwana Dasamuka.
Hanuman sedemikian meyakinkanku akan datangnya hariku yang cerah, berbicara pelahan…, setelah kepadaku berhatur sembah. Dari sinar matanya dan detak jantungnya yang kutangkap, ia sangat bersimpati dengan nasibku, hingga setelah kepergiannya aku menangis tertegun bahagia…. Ada makhluk yang bukan warga Alengkadiraja yang bersimpati kepadaku. Aku sungguh berterima kasih kepadanya, utusan suamiku yang sedemikian luhur budinya.
Mengapa bukan si maha sakti gagah perkasa yang datang, mengapa bukan ksatria elok yang begitu halus budi bahasanya yang hadir sendiri menengok istrinya…?! Mengapa…bukan dia, Kanda Prabu Ramawijaya…, yang menurut pengakuannya sedemikian dalam mencintaiku…?!
Ya, aku tahu, bila Kanda Rama yang hadir, pasti ia akan harus pulang kembali membawa serta diriku. Bila Kanda Rama yang menjemputku, pasti harus melalui perang besar, tak mungkin tidak…!!
Aku sungguh bersimpati dengan sikap dan keksatriaan Hanuman. Ia jatuh cinta kepada Dewi Trijata saat ia membopongnya dalam pelukannya, membawa terbang lari dari Alengkadireja menuju ke ayahandanya, Gunawan Wibisana, di Kemah Perang Sri Rama. Menyedihkan bagi Hanuman, Dinda Trijata memimpikan bisa dipersunting oleh Raden Laksmana, adik iparku. Dengan gagah Hanuman pendam dalam-dalam cinta dan kerinduannya pada kelembutan seorang wanita. Kecuali kami barangkali tak ada yang tahu, lalu ia mengundurkan diri dari kehidupan ramai, menjadi pertapa, sambil menjaga jasad Dasamuka yang dijepitkan di antara dua bukit itu.
Sebelum meninggalkanku sendirian, Resi Mayangkara memanggil raja jin di hutan belantara ini, lalu meminta agar tak ada yang datang mengganggu diriku…. Rombongan jin yang datang itu lama tak menjawab. Beberapa melirik kepadaku dengan kurang ajar, yang lain saling berbisik tak kalah kurang ajarnya. Sang raja tersenyum lebar, kemudian tertawa tergelak…….
Resi Mayangkara perlahan memukul bumi dengan telapak tangan kanannya, para jin itu tiba-tiba berjatuhan, nampak kejang-kejang kesakitan, tak bisa bangun…. Sekali lagi Mayangkara menepuk bumi dan para jin menggeliat bangun dengan wajah pucat pasi. Mereka langsung menyembah sang resi dan berjanji tak akan ada penghuni rimba yang mengganggu aku, hhmmm….
Hanuman memang Hanuman, semua itu dilakukan dengan halus dan tenang sekali, tanpa secuil pun keributan. Kalau aku tidak bermata jeli tak akan aku melihat bagaimana telapak tangan kanannya memukul bumi, begitu lembutnya, bagai bocah mengusapkan tangan ke tubuh seekor kucing kesayangan….
Kemudian, dengan meneteskan air mata ia memohon ampun kepadaku, karena tak bisa ia lama-lama berada di tempatku ini. Aku menjawabnya bahwa aku memahami keadaanku sepenuhnya, aku persilakan bila Resi Mayangkara hendak undur diri. Tetapi kemudian aku bertanya kepadanya, apakah menurut pendapatnya aku memang seorang perempuan durhaka dan pendosa. Bukan hanya tubuhku yang telah dijamah, diremas dan digerayangi tangan-tangan lelaki yang bukan suamiku. Bukan hanya jiwaku yang menerima dengan bahagia perzinahan yang terjadi, namun aku pun melepas gelora gairah asmara yang ada padaku, demi kenikmatan mendekap kehangatan tubuh telanjang laki-laki yang menghimpit tubuhku, aku pun menikmatinya sepenuh suka – bahagia, kecabulan itu. Benarkah aku perempuan semacam itu, apa menurut pendapatnya ?
Hanuman menyembah dalam-dalam, memukulkan keningnya ke bumi berkali-kali, ia menangis tersedu. Ia memohon ampun dan memohon ampun kepadaku, seolah dia yang telah melakukan dosa luar biasa besar kepadaku. Begitu mulia hatinya. Sebagai pertapa yang tidak pernah menyentuh tubuh wanita, ia mengaku dianugerahi kemampuan untuk melihat yang tak terlihat oleh mata wadag. Ia melihat kebersihan hatiku yang jarang ada manusia mampu menyamainya, tak seorang pun manusia di Kerajaan Ayodyapala yang sesuci diriku. Ia melihat kualitas jiwaku yang setinggi itu, lebih tinggi dari semua insan yang pernah dijumpainya dalam hidup ini, termasuk lebih tinggi dari kualitas jiwa suamiku sendiri dan kualitas jiwa Sang Resi Mayangkara.
Ia melihat kesucianku yang membuat ia sendiri malu, sebagai pertapa ia kalah jauh dariku. Hanuman mengaku tak mengerti mengapa kanda Ramawijaya kalah oleh suara-suara sumbang di masyarakat. Ia menyesalkannya, karena itu memberi arti, bahwa Paduka Prabu Ramawijaya sendiri sedang berseteru dengan sang kebijaksanaan, yang selama ini selalu terpancar dari kepribadiannya. Hanuman mohon maaf, ia telah bersumpah setia kepada rajanya dan sebagai ksatria ia akan membela dan menjalankan perintah junjungannya, suka atau tidak suka, benar ataupun salah.
Sebelum meninggalkan aku Hanuman memberi aku mantra Aji Pameling. Bila ada apa-apa yang kurang wajar boleh aku membacanya, dan dia akan segera hadir di hadapanku. Aku pun mengucapkan terima kasihku dan mengikhlaskan kepergiannya. Mata kami sama-sama sembap. Hanuman dari kejauhan masih mengirim bisikan meniti angin. Ia menganjurkanku untuk bersabar, karena semua peristiwa yang kualami dan sedang kujalani ini sudah menjadi Kehendak Hyang Widhi. Aku harus menenangkan diriku dan patuh menjalaninya.
Aku tetap kecewa pada suamiku.
…………………………………………………………………………………
Sebagai Penyandang nasib ini….
Oh Dewata Nan Agung Bijaksana…….
Aku tidak dipersiapkan untuk hidup seorang diri di dalam rimba belantara….
Aku dipersiapkan untuk hidup dalam istana yang gemerlap sebagai putri raja, ya…. Sejak kanak-kanak aku selalu dikelilingi pelayan-pelayanku, penjaga-penjagaku….
Aku dipersiapkan sebagai permaisuri baginda Prabu Sri Ramawijaya di Kerajaan Ayodhyapala,
aku tidak dipersiapkan sebagai orang biasa yang hidup sederhana di pinggiran taman istana, tidak….
Aku tak pernah dipersiapkan menjadi pengemis compang-camping yang jongkok di terik matahari di luar Taman Keputren
Aku si putri yang mendiami Istana Keputren itu sendiri, akulah dia.
Akulah Dewi itu, permaisuri baginda raja itu….
Dan kini…,
kau mencampakkanku di sini…!!
Ampunilah hambamu ini, oh Kanda Prabu suami hamba yang terhormat….
Suami yang hamba sujudi sepenuh hati hamba, maafkanlah istrimu yang sedemikian rendah dan lemah semangat mengabdikan dirinya kepadamu…, Paduka Raja yang gagah perkasa….
Maafkanlah aku suamiku…, maafkan bila isterimu ini begitu lemah….
Kakanda tahu,
hamba, istrimu…, memang tidak dipersiapkan hidup seorang diri di dalam hutan belantara selebat dan segelap ini.
Tidak diberi penjaga, hamba, meki belantara penuh bahaya.
Tidak dibekali kelengkapan istana, hamba, meski hutan ini hutan onak penuh duri…, dan sejak bocah hamba terbiasa dengan kelengkapan dan kesejahteraan.
Benarkah aku ini Putri Istana, oh Dewata Penguasa Jagat Raya….
Aku tidak menuntut apa-apa….
Tetapi bila aku digariskan untuk menjalani kehidupan seperti ini, persiapkanlah aku sejak semula, persiapkanlah aku….
Jangan kau jadikan aku menjadi Aku Yang Lain…, oh, jangan….
Terlalu berat bagi manusia seperti aku, terlalu beraaat….
Mengapa Kau beri aku ujian seberat ini, ya Maha-Dewataku….
Ini terlalu berat bagiku….., terlalu beraat…, ibu…….
Aku putrimu ada di sini…, ibu……. Hemm.…..
Baiklah…!
Aku ini Shinta, putri Raja Harjuna dari Kerajaan Mantili,
ya, aku Shinta si Jelita yang tak pernah meminta….
Akulah Shinta yang namanya harum hingga ke mancanegara….
Namaku harum hingga ke daerah yang paling jauh di belakang langit….
Akulah si Jelita itu, yang diimpikan ribuan lelaki setiap hari….
Adakah aku pernah meminta menjadi yang paling jelita di antara manusia, hai Dewata…,
adakah Shinta pernah memintanya, untuk menjadi yang paling jelita, Bathara Indra, dewataku…?
Dan jelita…, cantik…, apakah itu…?!
Apakah manfaat kejelitaan dan kecantikan bagiku…, perempuan…?!
Tak ada manfaatnya itu semua, tak ada manfaatnya bagi seorang perempuan seperti aku…!
Aku jelita, ya,
tetapi aku dibuang ke dalam hutan belantara oleh suamiku sendiri….
Aku cantik, ya, tetapi aku digelandang bagai itik tua yang sudah alot semua dagingnya.……
Ampunilah istrimu yang durhaka ini, ya Gusti Prabu Sri Ramawijaya yang perkasa.
Maafkanlah isterimu ini, isteri yang terus mengeluh, menangis, merasa disengsarakan.
Maafkanlah aku menjadi selembek ini, serapuh gelas kaca yang kau pakai minum kelezatan anggur buah delima di istanamu.
Ya, istanamu yang hangat dan terang benderang.
Maafkanlah aku………yang merengut dan memalukan sebagai permaisurimu ya baginda rajaku….
Maafkan selembek ini keningratanku, lembek tidak mengangkat martabatku sebagai Putri Ratu Gung Binathara….
………………………………………………………………………..
.
Apakah kau lupa, hai Sri Ramawijaya.
Engkau pernah mengembik memohon cintaku…?
Bersama para ksatria lainnya dari seluruh dunia.
Kalian semua mengemis cintaku, menadahkan tanganmu dan menjanjikan kebahagiaan sebesar dan setinggi Gunung Mahameru.
Beruntung kau memenangkan Sayembara, Sri Ramawijaya. Beruntung kau memenangkan Sayembara Pentang Gendewa yang diselenggarakan Ayahanda Prabu Janaka.
Tak ada seorang pun yang akan menyangsikan kesaktianmu.
Aku juga tidak.
Engkau memang sakti, saktinya ksatria sakti.
Semua ksatria dan pemuda yang lain tunduk mengakui kesaktianmu.
Dan kecantikanku yang angkuh pun rontok….
Takjub aku mengagumi kegagahan dan kerupawananmu.
Engkau kelewat perkasa hai Sri Ramawijaya.
Engkau kelewat sakti mandraguna dan kaya raya….
Oleh garis hidup, aku dipersiapkan untuk menjadi permaisurimu,
permaisuri dari seorang raja yang sakti mandraguna,
Sri Ramawijaya Raja Ayodyapala…
dengan ratusan hamba sahaya yang kau sediakan selalu siap melayaniku.
……………………………………………………………
(Shinta mengambil tanah segenggam.)
Tanah……, tanah segenggam ini menghangatkan tanganku, sedemikian terasa memenuhi kesadaranku.
Dari tanah aku dihadirkan, kembali ke tanah aku nanti.
…………………………………………………………………….
Oh, engkau maharaja diraja, ya Ramawijaya
Suamiku termulia yang sangat mencintaiku
Betapa gagah kau membentang busur melepas anak panahmu
Betapa dipenuhi dendam kesumat anak panah itu meluncur cepat
Menghunjam jantung Rahwana, merontokkan kesepuluh mustakanya
Betapa dahsyat Tambak situ Bandalayu yang kau bangun
Betapa menakjubkan ratusan ribu monyet laskar pekerja dan tentaramu
…………………………………………………………………………
Setelah aku tersia-siakan kerna emoh diperkosa Rahwana Dasamuka
Yang tidak kenal henti mencoba merayuku untuk mendapatkan cintaku
Bertanya apa yang harus ia berikan untuk mendapatkanku
Istana seperti apa harus ia bangun untuk bisa melihat aku di dalamnya menari telanjang
Kemudian dibawanya sekarung intan berlian perhiasan
Berpeti emas dan perak ia hadirkan di depan Keputren, semua untukku asal tangannya boleh menyentuhku, bibirnya boleh menciumku dan lidahnya boleh menjilatiku
Ia berjanji akan memberikan kenikmatan tiada tara kepadaku, senikmat-nikmatnya, atau
Ia persilakan aku tidur pulas saja selama ia menelanjangi tubuhku.
Gila……! Benar-benar gila lelaki bila ingin melampiaskan nafsunya….
Tentu saja semua kutolak, setiap kali datang dia kutolak.
Dan akhirnya dia geram, nekat menerjangku dan memelukku. Tanganku bagai bergerak sendiri meraih patung perunggu sebesar lenganku, yang aku pukulkan sekuat tenaga ke kemaluannya. Ia mengaduh dan terjerembap, lalu lari ke istananya. Menurut Dewi Trijata yang mendengar selentingan dari abdi dalem istananya, sebulan lebih bengkaknya kemaluan Rahwana baru sembuh oleh pukulanku itu. Dengan berbisik Dewi Trijata menceritakan, bahwa patung itu patung Mesir Kuno, milik ayahandanya, Pangeran Gunawan Wibisana, hadiah seorang pertapa Kuil Ular Raja Kobra, yang dititipkan pada pedagang sutra yang kerap datang ke Alengkadiraja.
Hukuman yang kuterima sungguh menjijikkan.
Dasamuka membangun kurungan yang ditempatkan di sebelah lokalisasi para wanita jalang, yang setiap hari, tak peduli siang atau malam, memperdengarkan lenguh cinta mereka bersama pasangannya. Sekuat apa pun aku membangun samadiku, masih juga suara-suara menjinjikkan itu masuk ke telingaku. Ketika itulah aku merasa benar-benar tersiksa.
Akhirnya aku tak tahan lagi, melalui Dewi Trijata aku berpesan, bila Prabu Dasamuka tidak segera memindahkanku kembali ke Dalem Kalitan, aku akan bunuh diri dengan menabrakkan kepalaku ke dinding penjara. Dan segera aku bebas dari hukuman itu. Sejak itu Dewi Trijata nyaris siang malam menemaniku, sehingga tiga atau empat kali ia berhasil membujuk uwaknya untuk tidak mengganggu aku. Sekali ia berdarah-darah ditampari uwaknya, ketika Rahwana berhasil menubruk tubuhku Trijata memukul kepalanya dengan sepotong kayu.
Segala cara ia lakukan untuk mendapatkanku, dan aku selalu berhasil menolaknya, melindungi diri dan melindungi kehormatan suamiku yang kujaga sepenuh hati.
Tetapi semua upayaku itu ternyata tidak dihargai oleh suamiku sendiri, berkali-kali ia menyangsikan kesucianku. Kesangsian itu tetap dipelihara, meski Dewi Trijata sudah beberapa kali memberikan kesaksiannya, bahwa selama aku dalam sekapan uwaknya aku selamat dan tetap suci, tubuhku benar-benar belum pernah dijamah orang lain selain suamiku sendiri
Nah, Kanda Prabu Ramawijaya.
Setelah kesucian tubuh dan jiwaku tidak kunjung bisa dipercaya, setelah rakyatmu, masyarakat ramai menyangsikan kesucianku dengan bisikan-bisikan kotor mereka,
Aku pun terbuang ke dalam belantara ini, semua gelap gulita,
segelap hari esok yang bagiku nyaris tiada,
kini harus ku-ulang lagi menjalani rasa disengsarakan itu, oleh suamiku sendiri,
setelah sekian lama disengsarakan hati dan jiwaku oleh musuhmu, suamiku, Rahwana Dasamuka.
Apa lagi harus dilakukan seorang wanita, untuk membuktikan kepada dunia, agar mereka tahu, bahwa perempuan yang dicurigai kesuciannya itu masih bersih dan murni hatinya?!
Apa lagi yang harus aku lakukan sebagai wanita itu…..?! Betapa tidak adilnya kehidupan ini. Sebersih apa pun niat hidupku, jelas sebagai perempuan aku harus tetap menyesali. Karena aku, seorang putri raja, seorang Permaisuri Ratu Gung Binathara, bisa dipaksa menjalani kesuraman hidup seperti ini. Bagaimana dengan wanita biasa, perempuan pada umumnya. Bukankah juga akan celaka nasib rakyatku itu, bila sedikit saja mengalami peristiwa kehidupan yang mirip dengan peristiwa yang terjadi dalam hidupku.
Apa lagi harus dilakukan seorang wanita, untuk membuktikan kepada semua orang, akan kesucian hatinya?!
Haruskah kupotong nadiku dan perlu menampakkan betapa putih tulangku?! Mengapa perempuan harus berani membakar diri untuk membuktikan kesuciannya, membuktikan kesucian hati dan kesuciah tubuh. Siapa yang tak takut panasnya api?!
Benarkah hanya perempuan tak suci yang takut api, benarkah?
Apakah engkau Rama, sesuci diriku, hatimu itu Rama…….
Benarkah engkau tak takut api karena kesucianmu, hai Rama, suamiku…?!
Bukankah hanya sebagai orang mati, perempuan akan diterima tanpa dipertanyakan lagi, dipertanyakan dosa-dosanya?!
Bukankah hanya sebagai orang mati, detak jantung perempuan tidak akan tertangkap sebagai bunyi pengkhianatan,
meski khianat itu sendiri tak pernah berirama tidak palsu.
Aku Shinta, perempuan yang tidak dimaafkan,
meski kesalahanku hanya mengumbar rasa iba kepada kemanusiaan,
setelah rasa ibaku mendengar jeritan Kala Marica………,
Kala Marica si Kidang, yang mati oleh panahmu, Rama….
Dan aku meminta adikmu laksmana untuk mencarimu,
takut bila jeritan itu keluar dari kesakitanmu.
Ibaku dimanfaatkan seorang Durjana untuk mendapatkan tawanannya.
Hanya itulah dosaku,
Lalu kini aku harus menebusnya dengan kematian, hai Ramawijaya?!
Bukankah aku hanya korban,
korban seorang lelaki pengumbar nafsu…
yang tak kuasa menahan gairah nafsu sendiri melihat semesta melahirkan perempuan elok tanpa cela…?
Benarkah semua perempuan elok di dunia ini wajib dipersembahkan kepada gelora gairah liar lelaki—untuk menikmatinya?!
Lalu untuk apa perenungan dan penciptaan budaya yang sejak nenek moyang terus dikembangkan…?!
Baiklah Kakang Rama, suami yayi. Yayi akan patuh menerima segala kehendak kakang…. Dan Kakang lebih percaya dengungan sumbang suara pasar tentang istrimu… dari suara jujur pengakuan istrimu sendiri…, betapa manusiawi engkau, Kakang. Sri Ramawijaya, suamiku….
Kakang memilih mendengarkan suara wadag mereka dari suara hati Kakang sendiri…, hai Sri Ramawijaya Ratu Gung Binathara…….
Apa yang yayi bisa kerjakan sebagai istri maharaja diraja…, bila suami yayi tokh ketakutan untuk membela kehormatan isterinya…. Apa yang bisa yayi upayakan lagi……?
Bahkan di hadapan manusia-manusia sok pintar dan sok suci itu… rakyat kerajaan kakang sendiri, Kakang memilih diam, kerna diam adalah emas.
Benarkah?
Diam tak menjawab pertanyaan ataupun tuntutan istri adalah sikap dan perilaku terhormat seorang lelaki…? Sikap mulia seorang Raja Gung Binathara…….
Yayi tak bodoh, Kakang Baginda Raja…….
Sebagai permaisuri yayi jauh dari bodoh…. Yayi sudah menangkap, mengerti, apa yang Kakang kehendaki, apa yang Kakang inginkan. Kakang menuntut pengorbanan yayi seutuhnya… sebagai penebus citra yayi yang cacat di mata rakyatmu. Yayi harus berkorban demi citra suami, citramu sendiri Rama! Nafsu membangun citra akan kebesaran dan kemuliaan kakang sebagai raja sakti mandraguna yang ditakuti musuh, disegani kawan dan disujudi kawula Kakang.
Hemmmm………………….
Pengorbanan yayi bagi Kehausan manusia untuk melihat penderitaan orang lain, ya…. Penderitaan yayi dikehendaki, kerna dirinya sendiri takut mengalami penderitaan itu. Yayi tahu, yayi dijadikan tumbal bagi mereka, untuk menenangkan diri mereka sendiri, atas hari esok yang tidak pasti…!!
Yayi tahu, mereka menganggap diri mereka jauh lebih suci dari yayi,
meski mereka hidup di rumah sendiri, kampung sendiri, masyarakatnya sendiri.
Yayi tahu, bahwa mata mereka tidak melirik ke rumput tetangga yang selalu nampak lebih hijau, lebih segar, lebih memberi harapan.
Dan untuk itu semua, mereka butuh suatu bukti bahwa sikap mereka diterima secara aklamasi. Dan yayi mereka paksa secara halus agar yayi mengakhiri keberadaan yayi.
Apa mereka pikir, dan apa Kakang pikir, yayi tidak ketakutan terjilat ujung lidah Agni yang tajam, menyobek ganas, panas api yang tak kalah dari panasnya kawah Merapi?!
Sebenarnyalah, berdebar jantung yayi hanya mengingat ini.
Sebenarnyalah, berdiri bulu romaku, Rama suamiku, memandang wajahmu yang palsu…, menantikan kabar dariku.
“Baiklah, Adinda Laksmana, perintahkan punggawa mengumpulkan kayu karet dan kayu besi, kerna kayu-kayu itu yang pasti paling panas dan menyala tanpa henti…, untuk meluluhlantakkan pusaka yang paling digdaya sekalipun, apalagi hanya merajang tubuhku.
Bangun menara api yang tinggi, agar nampak dari cakrawala terjauh, di delapan penjuru angin, bagaimana si pendosa buruk rupa, Sinta Putri Janaka Raja Mantili, dibakar hidup-hidup oleh rakyat dan suaminya sendiri. Syukur bila api tak hanya mampu melumatkan tubuhku, tetapi juga jiwaku, yang dikatakan kotor tak berharga lagi.
Ya, akhirnya aku perintahkan sendiri Laksmana adik iparku, untuk mempersiapkan Tanur tinggi pembakar Shinta, hingga ia perlaya, Pati Obong…!
Aku perintahkan, meski hatiku menggigil ketakutan akan panasnya api yang bakal merenggut tubuhku perlahan-lahan.
Dan sambil memanggil Trimurti, Syiwa Mahadewa, Brahma dan Wisnu…, kuterjunkan diriku ke tengah kobaran api yang panasnya saja sudah menghentikan detak jantungku.
Siapa sangka…………….
Dewi Agni tak terima dengan perlakuanmu atas istrimu ini, Rama. Dewi Agni yang paham akan kesucian istrimu, bertindak menyelamatkannya.
Dan engkau… beserta seluruh rakyatmu tercengang terpesona, tidak percaya…. Aku kembali utuh ke hadapan kalian semua, tanpa cacat sedikit pun.
Aku hadir di hadapan hadirin yang mulia membawa Cahaya Kebenaran.… Ya, cahaya kebenaran akan kesucianku….
Dan aku pun kalian terima kembali sebagai Ratu negeri ini.
Tapi ternyata, kalian terima, ya, dengan kekecewaan dan ketidakpercayaan….
Lalu mengapa, Hai Sri Ramawijaya….
Setelah sekian lama kita bahagia hidup bersama
kau dengarkan lagi pikiran buruk orang tentang kesucianku…?
Mengapa kau dengarkan suara-suara tak tentu juntrungnya itu…?
Mengapa Rama, kencana jiwaku, mengapa…?!
Tidakkah karena hatimu sendiri kecut dan cenderung pengecut….
Tak mampu mempercayai istrimu.
Menganggap dia murahan tak berharga lagi kehormatannya….
Kau justru menjadi lebih sangsi dari kesangsian rakyatmu yang dungu.
Kau menyangsikanku karena kegilaanmu akan kehormatan duniawi yang kelewat kau inginkan.
Kau sendiri ragu, haruskah membelaku atau membuangku. Dan akhirnya aku kau buang kemari.
Hutan belantara, alas Gung Liwang-Liwung.
Bukankah engkau sedang melakukan pembunuhan terhadapku, hai Sri Ramawijaya, suamiku….
…………………………………………………………………………….
Kau tak tahu kerinduan yayi akan Engkau, baginda rajaku.
Pribadimu yang lembut,
Pandangan matamu yang hangat,
Tubuhmu yang gagah dan belaian tanganmu yang perkasa.
Ooh lelakiku, yang lebih jantan dari kejantanan itu sendiri….
Lelaki mesra yang nakal dan banyak akalnya sedemikian penuh gurauan engkau bercinta, menggelitik, membahagiakan tak ada satupun bidadari atau wanita yang akan mampu melupakannya Dan tidak mengharapkan bisa berkasih-mesra denganmu sekali lagi dan sekali lagi dan sekali lagi.
Oh Ramawijaya suamiku
Benarkah engkau titisan Sanghyang Bathara Wisnu….?
Wisnu Dewa Pemelihara yang tega membuangku ke tengah hutan belantara.
Benarkah engkau titisan Dewa Bijaksana itu….?! Sedang kelayapan ke mana Pukulun Bathara Wisnu sehingga menjebloskanku ke dalam hutan belantara…?!
Aku Shinta
Putri istana yang akan dibiarkan perlaya dalam rimba belantara
Dikhianati suami sendiri yang titisan dewa, hhmmm.
Baiklah.
Cukuplah sudah semua ini…………….
Janganlah peristiwa yang telah aku alami, Ujian Kesucian Manusia berkelamin perempuan atas cintanya sendiri…. kau tebarkan menjadi Wabah…. Wabah yang akan menjangkiti rakyatmu dan anak cucumu, para perempuan jelita yang elok dan luar biasa………………….
Cukup aku saja…………..
Janganlah mereka sampai harus mengalami apa yang aku alami………..,
membuktikan kesuciannya sendiri di hadapan keculasan kepengecutan lelaki….
Aku Shinta…,
Akulah dewi sejati
Akulah kesucian itu sendiri
Akulah keperempuanan itu
Yang elok dan cantik jelita
Hingga ke kuku-kuku dan ujung rambutku
Yang cantik dan bijaksana
Hingga ke kedalaman hatiku….
Huh! Aku tak peduli lagi.
Mengapa hanya perempuan yang harus diuji kesuciannya?
Mengapa lelaki tidak juga perlu diuji……!!!
Sejak awal sudah salah kaprah,
hanya oleh gelora nafsu lelaki yang tidak terkendali perempuan seperti aku menjadi sengsara, korban kepicikan syahwat.
Perempuan makhluk yang indah,
wajah cantik,
tubuhnya terbangun sedemikian memesona,
setiap bagian tubuh perempuan,
hingga yang termungil,
memiliki daya rangsang yang elok bagi siapa pun yang memandangnya,
baik bagi laki-laki
maupun bagi sesama perempuan sendiri.
Dan karena keelokan wujud perempuan,
lelaki pun berebut untuk mendapatkan perempuan terelok yang akan dimiliki bagi dirinya sendiri…, hemm………….
Perebutan seperti itu membangun kebudayaan bodoh itu, kebudayaan Lelaki. Mereka ingin mendapatkan perempuan elok sebanyak bisa.
Seorang raja memiliki permaisuri dan selir-selirnya, jumlahnya tidak ditetapkan, bisa empat, lima, bisa seratus orang atau lebih.
Perempuan benar-benar hanya menjadi sarana pemuas nafsu, dinikmati sejak dipandangi, disuruh menari hingga dipandangi di dalam kamarnya pribadi dan tentu, ditiduri.
Hal itu sebenarnya wajar dan alami karena semua berjalan apa adanya, sesuai jalur keharusannya ada keseimbangan, meski bukan keadilan…, perempuan juga mendapatkan kesenangannya, kenikmatan dan kebahagiaannya.
Tetapi………… ketidakadilan muncul, keras dan kaku, ketika pemisahan kodrat kelamin itu muncul………… dikukuhi dan dilaksanakan dengan gagu dan garang kerap menantang menjajah dan selalu meradang….
Meski lelaki boleh memiliki begitu banyak perempuan, sebaliknya perempuan hanya boleh memiliki dan dimiliki satu lelaki. Tabu bagi perempuan… bila lebih dari satu lelaki yang pernah memilikinya. Dan tabu itu tabu berat hingga sangat berat, bila seorang perempuan dicurigai, ya, dicurigai……… pernah memiliki ataupun dimiliki lebih dari satu lelaki…. Ia harus menebus dosa yang luar biasa beratnya ditelanjangi dilempari batu digunduli dicakar, dirobek diperkosa beramai-ramai harkat kemanusiaannya seperti itulah… yang terjadi atas diriku, Dewi Shinta, Putri Raja Janaka dari Negeri Mantili, yang terkenal cantik jelita dan telah dipersunting oleh ksatria gagah, sakti nan elok rupawan, Sri Prabu Ramawijaya. Sungguh-sungguh suamiku seorang ksatria nan gagah perkasa lembut peri-laku – tutur katanya, bijak dan luhur budi-pekertinya, sakti mandraguna kegagahannya, peragu berat keksatriaannya yang tega membuang istrinya sendiri ke dalam hutan belantara. Begitulah…!!
Oleh kebudayaan bodoh, kebudayaan lelaki pula, aku dilahirkan, dari nafsu berahi bapaku kepada Sang Pertapa, Dewi Widowati, Tetapi sang pertapa menolak cinta bapa saat didekati ia memilih bunuh diri.
Dasar bapa tidak waras jalan pikirannya ia tetap nekat akan mencari dan mengawini titisan sang pertapa titisan Dewi Widowati tidak peduli bila usianya bagai anaknya atau cucunya sendiri edan tak ketulungan…!!!
Dari Resi Maruta, gurunya, bapa tahu, Dewi Widowati akan menitis sebagai putrinya sendiri, kelak …. Dan Dewi Kanung, permaisurinya, memang sedang mengandung namun saat Dewi Kanung melahirkan, jabang bayi perempuan itu diambil adik bapa, Paman Gunawan Wibisana, yang ikut mengetahui ramalan Resi Maruta. Bayi dimasukkan ke dalam peti dan dihanyutkan di kali. Kemudian bayi itu ditukar dengan seorang bayi laki-laki yang kelak menjadi putera sulung Rahwana Dasamuka, Raden Indrajit.
Dan bayi perempuan yang dihanyutkan itu sampai ke Negeri Mantili diselamatkan dan diangkat sebagai putrinya sendiri oleh ayahanda Prabu Janaka. Ya, akulah bayi itu dan akulah anak perempuan Rahwana Dasamuka, akulah putri Dewi Kanung yang diselamatkan pamanku Gunawan Wibisana. Kebudayaan Syahwat lelaki benar-benar membuat kerusakan luar biasa di muka bumi ini, hhmmm…….
Bagaimana bisa, manusia super gendheng seperti bapa, Rahwana Dasamuka, lahir di dunia?! Manusia edan tidak waras, yang memohon kepada Dewata agar dia tak bisa mati sebelum saatnya tiba, serta usianya tujuh kali usia jagat raya. Nafsu serakah yang sungguh tak masuk di akal. Bagaimana bisa binatang liar seperti itu lahir ke dunia?!
Tak heran…. Rahwana Dasamuka adalah buah perbuatan dosa Eyang Begawan Wisrawa dan eyang putri Dewi Sukesi. Ketika Prabu Danaraja dari Lokapala mencari calon permaisuri dan melamar putri Prabu Sumali dari Negeri Alengka, sang putri menyatakan hanya akan menikah dengan seseorang yang bisa menjabarkan rahasia ilmu linuwih, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Sastra Jendra, puncaknya segala puncak ilmu Ngelmu selamat bagi manusia bersama dunia semesta seisinya. Sastra Jendra jelas terlampau sakral dan tidak bisa serta tidak boleh sembarangan diajarkan. Apabila seorang guru linuwih menjabarkan Sastra Jendra kepada seseorang, penjabarannya harus dijaga agar tidak ada makhluk ketiga, manusia ataupun bukan, yang ikut mendengarnya.
Begawan Wisrawa bersedia membantu putranya, Danaraja, menjabarkan rahasia Sastra Jendra kepada Dewi Sukesi. Sesudah berhasil, Dewi Sukesi bersedia dipersunting putra Wisrawa. Memang, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ilmu tertinggi untuk mencapai keselamatan Dunia Akherat melalui penguasaan segala nafsu angkara, mantram-mantram Sastra Jendra pastilah suci dan nggegirisi daya kekuatannya. Eyang berdua yang mencoba meraih kesempurnaan jiwa mempergunakan mantram sakral-sakti Sastra Jendra, kiranya terperosok oleh Cahaya Kelembutan Kasih sayang Semesta yang sungguh, tiada bandingannya, seperti yang sering kutemui saat aku bersamadi memohon kesucian batin, dalam keterputus-asaanku akan nasibku hidup di dunia ini.
Apa yang kualami, Cahaya apa yang kutemui, luar biasa indah. Barangkali itulah jenis pengalaman spiritual Sastra Jendra, meski padaku masih pada tataran paling rendah aku ya tanpa melafalkan mantram rahasianya saat memasukinya.
Memasuki keindahan luar biasa Cahaya Sastra Jendra dengan melafalkan kesakralan mantramnya pasti beberapa kali lipat lebih menggetarkan lagi. Dan di dalam pengalaman spiritual tertinggi itu keharuan pun memenuhi seluruh kalbu, nyaris tak terwadahi lagi, rasa haru yang tak bisa digambarkan, keharuan akan kebahagiaan yang tak akan pernah bisa ditemui di dunia, sungguh luar biasa…!! Dalam puncak keharuan dan kebahagiaan tertinggi itu kedua eyang barangkali tanpa sengaja bersentuhan, sehingga kesadarannya sebagai makhluk berbadan wadag hadir kembali sangat cepat dan kuat. Rasa haru luar biasa itu barangkali menggerakkan keduanya untuk berpelukan, saling mengungkapkan kebahagiaan masing-masing…. Namun dengan berpelukan…, kesadaran keduanya telah lebih dari separuh balik kembali ke dunia nyata, dan segera merasakan indahnya keelokan tubuh manusia tersentuh oleh tubuhnya sendiri… hhmmm…. Pasti itu yang telah terjadi pada eyang berdua Sayang bukan menjadi sadar akan bahaya di depan mata serta segera berbenah membangun jarak, syahwat yang terasa nikmat dibiarkan menggelora, malapetaka.
Melafalkan mantram suci dengan niat luhur tingkat tertinggi, tak bisa dipotong di tengah proses “menjadi” begitu saja. Bila di dunia itu bisa disebut pengkhianatan maka eyang berdua gagal menguasai hakikat makna Sastra Jendra. Mereka saling jatuh cinta dan melakukan perzinahan.
Akibat dari dosa besar itu, eyang Dewi Sukesi mengandung Kandungan eyang berisi darah kental merah hitam warnanya yang meloncat dari rahimnya menggelinding masuk lebih dalam lagi ke tengah hutan, lalu berubah ujud menjadi raksasa Rahwana Dasamuka, beserta adik-adiknya. Rahwana lahir dari nafsu syahwat eyang berdua mengkhianati ajaran suci. Sungguh mengerikan.
Baiklah….
Engkau tak malu, Ramawijaya suamiku
Semesta lebih mencintaiku, lebih menyayangiku dari dirimu
Kau buang aku ke dalam hutan belantara, meski aku sedang mengandung, ya
Sebagai titisan Wisnu, mungkinkah kau tidak tahu?!
Putramulah yang kini ada di dalam kandunganku.…
Kemarin, di saat aku menyiram tetumbuhan yang menjadi ransum makananku
melihat kandunganku yang mulai membesar, entah dari mana Resi Walmiki mendekatiku, menyapa dengan ramah dan lembut….
Beliau sudah mendengar bahwa aku hidup seorang diri di dalam hutan…, tanpa berkata kepada siapa pun, beliau mencariku sendiri…, hemm….
Dan ternyata tempatku ini…, menurut beliau tidak jauh dari padepokannya….
Hanya seharian perjalanan berkuda dari pertapaannya….
Beliau akan membawa cantrik-cantrik yang akan menanduku ke padepokan.…
“Di padepoikan hamba saja, Gusti Ayu,” kata beliau…. “Tak jauh dari padepokan ada desa pertanian, meski tidak banyak benar penghuninya, di sana ada Dukun Bayi yang bisa membantu Gusti Ayu melahirkan dan membantu merawat putra Gusti Ayu….”
“Bagaimana bila Kakanda Ramawijaya marah kepada Panjenengan, Bapa Resi….”
“Tidak jadi masalah, laku yang salah harus diluruskan…,” jawab Resi Walmiki. “Anak Prabu Ramawijaya salah besar telah membuang Gusti Ayu hidup sendirian di dalam hutan. Apalagi Gusti Ayu sedang mengandung putra-putra beliau….”
“Kakanda Prabu tidak tahu, Bapa Resi, aku juga baru sadar bahwa aku sedang mengandung ketika aku sudah sebulan berada di dalam hutan ini . Ketika itu masih ada tukang-tukang pembangun pondok buangan itu, yang disertai beberapa perempuan tukang masak dan petani. Tetapi aku tidak memberi tahu mereka keadaanku ini. Tak ada manfaatnya, bukan….”
“Aneh bila Ananda Prabu yang waskita tidak melihat, bahwa kandungan Gusti Ayu berisi dua orang putra yang kelak tak kalah sakti dengan bapaknya….”
Besok Resi Walmiki beserta rombongan akan tiba, baik aku beristirahat dahulu…, hmm…. “Duh Gusti, nyuwun pangayoman, dalem tilem….” (diucapkan tidak jelas setengah berbisik)
(Shinta menggelar tikar pandan dan membaringkan tubuhnya….)
- Kau Bakar Shinta Istrimu, Aku……. - 24 January 2020
- DEMONsTRAN; Drama Satu Babak Genthong HSA - 26 May 2017
KN Krise G
Sukaaaaaaaaaaak
Anonymous
Panjang bener, tapi tak bisa berhenti membacanya. WOW.
ben
amazing bro
ADYANA AJENG RATWULAN
Keren,, bagus bngets….
Ini penilisan tingkat tinggi