
Setiap malam, bau itu masuk ke kampung-kampung, ke rumah-rumah yang jendelanya terbuka, ketika anak-anak tertidur enak sambil mendengkur, atau sepasang suami istri sedang asyik berciuman, tetapi alat kelamin mereka tak jadi bermuntahan, sebab yang keburu muntah adalah mulut yang tak kuasa menahan bau yang meledak-ledak dalam perut.
Dede Itok mengira Wamomo telah mati oleh bau itu sebab ia terkulai lemas di pinggir sungai sesudah bekerja sembilan jam di sawah. Sawah milik Wamomo bersebelahan dengan pabrik kulit, dan pabrik kulit itulah yang dicurigai Dede Itok sebagai biang kerok kematian bapaknya.
***
Orang-orang tak percaya akan cerita Dede Itok sebab saban malam Jumat ia suka ngeloco sendirian ditemani ular atau bahkan bercinta dengan ular. “Hanya orang gila yang bisa ngaceng oleh ular, kalaupun ada tititnya pasti buntung,” kata mereka.
Tapi titit Dede Itok tidak buntung. Ia selalu merasa dirinya tidak bersetubuh dengan ular sebab ia yakin itu bukan ular, melainkan Dewi Sri yang saking cintanya kepada tanaman padi rela dikutuk menjadi ular oleh ibu tirinya.
Kini, Dede Itok selalu menangis ketika berziarah ke makam Wamomo, tapi ia menolak menjerit, sebab katanya jeritan membuat orang-orang terperangkap dalam masa silam yang suram, sementara tangisan seperti hujan yang airnya menumbuhkan tanaman untuk bertahan di masa depan.
Pernah sewaktu kecil ia menangis ketika bermain layang-layang dengan kawan-kawannya karena dikejar oleh beberapa petugas PLN. Kala itu ia melihat Wamomo datang dengan beberapa petani ke depan pintu pabrik kulit sambil membawa spanduk yang terbuat dari karung goni. Spanduk itu bertuliskan: Menolak Keras dan Tidak Akan Tinggal Diam terhadap Pembuangan Air Limbah.
Sungai itu seperti cermin. Kau akan tahu wajahmu seperti gagang pintu atau tidak ketika berkaca pada sungai. Kau juga bisa mengenali seberapa tolol dirimu atau masyarakatmu dari sungai yang mengalir dekat tempat tinggalmu. Begitulah yang diucapkan Wamomo kepada para petani untuk membakar semangat mereka. Dan itulah ucapan terakhir Wamomo sebelum pergi alias mati yang tebersit dalam ingatan Dede Itok yang membuatnya menangis.
Para petani berharap yang seharusnya mati adalah Dede itok, bukan Wamomo, sebab sang bapak selalu membantu mereka untuk bernegosiasi dengan pemilik pabrik agar sungai yang mengalir ke sawah tak teracuni limbah pabrik, supaya airnya juga bisa dipakai oleh para istri untuk mencuci baju kotor penuh lumpur yang telah dikenakan oleh suami mereka ketika pulang dari sawah, sedangkan Dede Itok hanya bisa menari-nari dengan ularnya.
“Lama-lama bau ini akan membuatku mati,” ucap petani yang ikut meronda bersama warga.
“Tapi siapa yang bisa mengobrak-abrik pabrik? Dengan uang, pemiliknya bisa membeli aparat keparat untuk mengusir kita,” jawab warga yang lain.
“Atau bahkan membeli kita,” teriak Dede Itok yang saat itu masih menangis sambil berjalan menuju pos ronda.
Dede Itok telah lama tahu bahwa ketika berdemo dengan Wamomo dulu, mereka, para warga, sering dibungkam dengan uang oleh pemilik pabrik. “Pabrik itu seperti rumah sakit, siap memberi bantuan dan penyembuhan kepada yang datang mengeluh kepadanya,” teriak Dede Itok kembali, setelah bergabung bermain gaple dengan mereka dan melemparkan balak enam miliknya.
“Tapi kini bukan dahulu lagi,” ucap Ujang, petani yang sawahnya berdekatan dengan pabrik, “kakiku budug bukan main. Mungkin disengat lebah lebih baik daripada harus terus-terusan menggaruk kulit.”
“Barangkali air hujan dapat membantu kita dan melawan air limbah yang mengalir ke sawah,” kata Dede Itok sembari mengeluarkan sebatang rokok lalu mengisapnya. “Kita harus mengadakan upacara. Barangkali kesedihan harus segera kita langitkan.”
“Kepada siapa?” tanya Ujang.
“Dewi Sri,” jawab Dede Itok.
Tiga hari sebelum upacara dimulai, dagangan penjual sayur keliling laku keras. Para petani mempersiapkan cabai merah, buah-buahan, dan ayam bakar yang bakal mereka hidangkan kepada Dewi Sri. Lalu mereka berkeliling dari satu RW ke RW lainnya, mengitarkan makanan dan meletakkannya di muara sungai.
Namun nahas, ketika musim panen tiba, padi para petani separuhnya gagal panen. Hanya 30% keuntungan yang bisa mereka ambil dari sawah satu hektar, belum dipotong untuk membayar para buruh, pupuk, dan lainnya.
Mereka resah dan mulai tersulut amarah, bukan karena gagal panen, tapi karena uang yang mereka habiskan untuk mengadakan upacara. Bersebab itu, kala mengadakan rapat dengan para sesepuh, pertama kali mereka menyalahkan Dede Itok, dan yang kedua ularnya.
Para petani mulai mencari Dede Itok. Ia ditemukan di rumahnya sedang berbaring hanya mengenakan sempak kuning yang bergambar pohon pisang. Mereka menyeretnya keluar. Dede Itok sungguh babak belur. Satu pukulan dan tiga belas tendangan tertuju ke kepalanya. Ia berdarah, tapi masih bisa tersenyum. Ia menangis, tapi tetap tak menjerit. Ia terkapar, tapi tak meratap walau tahu sebentar lagi dirinya akan mati.
“Aku mencium bau itu lagi,” ujarnya, “bukan bau yang berasal dari pabrik, juga bukan pula dari sungai. Aku mencium bau itu dari mulut kalian yang terkena tamparan uang.”
Para petani mulai diam. Kalimat yang keluar dari mulut Dede Itok seperti panah yang menancap dan susah untuk dicabut.
“Diam, kau Itok! Mana kau mengerti tentang dunia ini, sedang kau hanya bisa ngaceng oleh ular.”
“Ya, benar kalian semua. Aku hanya bisa ngaceng dengan ular, ular yang membantu memberantas hama tikus kalian hingga kalian bisa memperoleh 30% keuntungan dari sawah satu hektar.”
“Mana ularmu? Kita tak butuh ular itu lagi. Tikus-tikus bisa kita hilangkan dengan penjerat.”
Mereka mulai mencari ular itu, di kolong kasur, di atas genteng, di pinggir dapur, tapi tidak menemukannya.
“Mana ularmu?”
“Ia telah menjadi Ratu Kayangan.”
Mendengar itu, mereka merasa jengkel. Sempak yang dikenakan Dede Itok mereka lepaskan dengan paksa. Mereka juga langsung mengeluarkan tititnya.
“Kalau tititmu tak buntung oleh ular, barangkali kampakku bisa membuat tititmu buntung, Tok.”
Crot! Darah langsung muncrat dari selangkangan Dede Itok. Seperti cacing kepanasan, ia meleot tak keruan, mengerang kesakitan sambil bilang, “Kalian takkan mencium bau itu lagi.”
***
Dede Itok mati. Mayatnya entah ke mana. Ularnya juga lenyap. Yang ada hanyalah sawah kering bercampur limbah dan penduduk kampung yang sepenuhnya koreng dan tikus-tikus besar yang tak keruan jumlahnya.
Lahan sawah mereka jual, anak cucu mulai kelaparan. Dan sekarang lahan itu menjadi pabrik. Mereka tak bisa meraung, hanya mengeong untuk mendapatkan perhatian sambil bekerja seperti budak di pabrik tanpa jaminan kesehatan. Sungguh, mereka tak bisa mencium bau itu lagi, bukan karena hidung yang tersumbat, tapi bau yang sudah melekat kuat di sekujur tubuh mereka sendiri.
- Orang-Orang Tersumbat - 10 January 2025
Mia Tiana
✨
Ridho'i
Karya yang sangat bagus
gisel
karya nya sangat bagus dan indah menarik untuk di baca,menambah pengetahuan
andin
sangat menarik
Rachel
🔥🔥🔥🔥
Hendrawan Sulistyo
Puisi yang sangat bagus
Hida
Keren! 👍
Weisly
Bagus
rami
keren
agnia janti
/mengeklik like