Pasar Gede

Natasha Clutterbuck

 

SATU SEMBILAN : NOL SATU

Gema adzan menandai waktu membuka lapak.

Lorong-lorong pasar mulai tampak sepi, kios-kios terkunci, beberapa. Gemerisik sapu lidi menjadi simfoni saban bakda maghrib menjelang isya di Pasar Gede. Satu-dua kali cericit muncul dari dalam got-got sepanjang jalan pasar yang mulai lengang. Sesekali gemerisik daun-daun bangek[1] kering yang menggelantung di depan kios Sinta menjelma orkestrasi, menyempurnakan Musim Barat. Angin dari arah Selat Gelasa menggiring bau lumpur, mempertegas dingin dan menembus kulit perempuan bertubuh lamur hingga ke sumsum. Samar-samar suara cekikikan nyembul dari balik kelap-kelip lampu warna-warni sepanjang gang gudang stok milik Budi Timin, tauke bawang.

Adzan menggema, menjadi semacam lonceng pertanda menyudahi aktivitas. Long Mahyudin seperti Bilal, semua yang masih tersisa sepanjang lorong mulai meninggalkan tanah, menanggalkan duniawi. Lelaki tunanetra dari Belantu itu memang sudah menjadi juru kunci surau pasar gede. Orang-orang pasar akrab menyapanya dengan sebutan Kik Buta’. Lima waktu sepanjang hari, suara Kik Buta’ membuka mata batin orang-orang Pasar Gede.

Tujuh menit berlalu.

Lagu Melayu Remik menyeruak dibarengi gelak tawa. Mereka sudah hafal kapan harus menghentikan berisik, kapan harus memulai kembali bising musik. Orang-orang berhamburan keluar surau menuju ujung gang untuk pulang, dibarengi orang-orang berdatangan mengerumuni warung remang milik Mok Por. Malam kamis yang ritmis, menjadi semacam ibadah bagi janda-janda muda. Mereka sudah berdandan ala kadar, memoles diri sesorean, melumuri wajah dengan tepung beras, ramuan turun-temurun dari nenek moyang. Musim panas tropis telah menjadikan mereka terus merawat warisan datuk-datuk. Hal itu sudah jadi sugesti, bahkan semacam ritual, sebelum hadir sebagai pelayan, sekaligus mencoba peruntungan untuk mengumpulkan rupiah dari para lelaki rapuh iman. Tepung beras tidak hanya untuk mengusir panas, tapi sudah menjadi doa dan jampi bagi wajah mereka yang, bukan sawo matang, lebih mendekati kulit libam.2

DUA NOL : EMPAT TUJUH

Warung Mak Por semarak, kelakar berbau lendir dengan arah yang serampangan jadi alasan tepat untuk sampai pada tujuan para tua bangka yang gatal gusik.[2] Seperti kemarin-kemarin, sepanjang lorong pasar yang gelap, lantaran lampu-lampu kios sengaja dilepas untuk menghindari aksi nakal bocah-bocah tanggung usia, yang mendapat upah rokok ketengan dari para gergajul[3] yang naik berahi. Makin sempurnalah pekat malam, lantaran hitungan bulan pada kalender air menunjukkan musim nyulo.[4] Gelap di darat, terang di laut, dekap dipererat, bergoyang meja reot. Semua saling pagut, antara kulit dan nyamuk, berpasangan manusia bergamit.

Protokol kesehatan cuma isapan jempol, menjadi slogan di tiang balok seruk6 warung Mok Por. Masker tetap mereka gunakan, bukan untuk menghindari Covid, lebih berfungsi melindungi wajah kalau-kalau ada istri atau anak yang melintas sepanjang jalan Siburik seperti patroli polisi. Masker murahan yang didapat dari sumbangan partai politik, semakin kehilangan fungsi. Ada yang menyelipkan di kuping, tapi tidak menutup wajah, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

“Cong…!!”

Teriak Bejok Buncit sambil berdiri mengacungkan lengannya yang legam. Kekonyolan itu kian memecah suasana bising yang bercampur aroma bacin tuak dari teriakannya, juga pesing kencing yang terbawa angin dari arah tenggara. Ia kenal baik dengan Adit Bodrek, kawan sepermainan sejak ingusan. Ketika dewasa, mereka memilih jalan dosa masing-masing. Bejok Buncit jadi peliharaan tukang Ayam, Adit Bodrek jadi kepanjangan sejarah. Sayangnya, zaman nabi Lut sudah berlalu, dan Adit Bodrek melenggang tanpa berpikir bahwa azab Tuhan adalah kepastian. Awalnya AB acuh terhadap teriakan BB, tapi tawa yang pecah memenuhi warung membuatnya geram dan menghentikan laju matik-nya.

Hei…, jage mulut ancing itu ye, Say. Awar mikak ne…,” umpatnya, meski laju motor belum berhenti sempurna. Tanpa berpikir panjang, ia tandangi warung, menendangi bekas minuman gelas berwarna oranye untuk campuran arak, dan menghempas meja yang penuh dengan ampas kulit kacang.

“Mok, segelas!” AB meminta dengan suaranya yang laki-laki. Semua orang tahu, begitu juga BB, sampai kapan pun, dan walau bagaimana pun, AB tidak akan murka dengan BB. Mereka sudah seperti ketan panggang dan bungkusnya, saling memiliki dan memberi arti. AB tempat BB mengadu jika hasil jaga parkir tidak begitu banyak, BB tempat mengiba jika AB derita lantaran didera cinta buta pada sesama.

“La dapat?” BB basi-basi. Meski ia tahu, kemarahan AB menandai kalau malam ini belum dapat satu pun mangsa. Berbeda sebelum pandemi, setidaknya semalam bisa melayani empat-lima orang remaja tanggung yang baru belajar berahi. Dan….

DUA SATU : SATU DUA Gang Kim Ting

Ruko-ruko Cina bertingkat tiga, gelap di bawah, terang di atas. Warkop ujung gang, menuju Pasar Gede, masih ramai dikerumuni orang-orang. Segala tema menyeruak dari mulut mereka, dan saban malam akan berganti topik, dan semua akan menjadi ahli dengan tiba-tiba. Kau akan menemukan para ahli apa saja, meski mereka tidak pernah mengenyam pendidikan bangku kuliah. Warung kupi adalah gelanggang, adalah pusat informasi, meski semua wacana mereka berubah tepat ketika mengangkat pantat dari kursi dan pergi bergeser ke warung kupi yang lain. Bersama mereka, Protagoras hidup di warung kupi kampung kami: tidak ada kebenaran mutlak. Kau juga akan menemukan filsafat bukan hanya slogan dalam teks-teks, semua menjelma dalam konteks: satu yang pasti, perubahan itu sendiri.

Seperti malam ini, mereka bersitegang mendiskusikan kepantasan siapa yang mendapat bantuan pemerintah. Mereka jabarkan teori, lebih tepat konstruksi pribadi, untuk menilai dan menghakimi kebijakan. Satu orang pun dari mereka, tidak mengindahkan protokol kesehatan: tanpa jarak, tanpa masker, tanpa perlu apa saja yang dibangun pemerintahan ibu kota dan isu dunia atas pandemi. Padahal, mereka sedang membahas sesuatu hal yang mereka sendiri melanggarnya, mereka sendiri merobohkan konstruksi larangannya.

“Jum, pohon beringin. Ok,” sorak Zakaria ke arah simpang tiga. Dari remang cahaya kios buah, tampak setitik cahaya merah saga rokok Jum. Zakaria tahu, apa yang harus ia lakukan setelah hampir satu jam antre di kantor pos sore tadi.

Usa gilak nukon, Lup,[5] celetuk  Muna sambil menuangkan kopi yang baru saja dipesan. Muna tahu kalau Zakaria masuk daftar penerima bantuan sosial karena pandemi. Bukan karena iri lantaran Muna tidak mendapat hal yang sama, meski ia tahu dampak pandemi tidak hanya didera tukang ojek pengkolan seperti Zakaria.

“Mending dibayar utang kopi, atau berikan pada yang perlu!” timpal Muna sambil kesal. Wajar jika Muna menggerutu, utang berminggu tak dibayar, Zakaria malah memilih menuntaskan nafsu pada janda beranak satu dalam gelap kios buah.

Kadang hal ini jadi bahan olok-olok tukang ojek lain, dan atau pengunjung warung kupi miliknya. Banyak isu beredar, yang menyebut Muna punya rasa pada Zakaria. Mereka berdua memang sudah bertahun hidup sendiri-sendiri; Zakaria ditinggal istrinya pulang ke haribaan Maha Kuasa, Muna ditinggal suaminya melaut tak pulang-pulang, tujuh tahun lamanya, entah rebah ke haribaan siapa.

“Mun, Jum orang yang tepat. Corona membuatnya menderita,” celetuk Zakaria sambil mengintai lewat spion motor yang belum lunas tagihannya.

Awar[6] ape ken! Mayar utang kewajiban, Jahanam,” Muna pitam, sambil menuang kopi hitam. Hal tersebut tidak menjadi keheranan bagi semua pelanggan yang nongkrong di warung kupi miliknya. Semua tahu, cinta bisa berupa apa saja, termasuk hujatan dan umpatan. Malam dingin menjadi hangat dengan candaan yang penuh rasa kekeluargaan. Orang-orang Melayu di Pasar Gede menghibur diri mereka dari tekanan apa saja, dengan cara menertawai diri sendiri.

 

DUA TIGA : EMPAT LIMA

“Bang Sem…, uchh…,” seru manja beberapa kerepe[7] sesaat mobil jagal sapi melintasi mereka. Lebih heboh lagi jika AB dan rekannya yang bertemu, mereka pasti akan bertingkah seperti cacing dilamuri garam.

Bang Sam memang mendapat jadwal jagal kamis, ketentuan yang disepakati para penjual daging Pasar Gede. Bagian selatan Pasar Gede mulai hidup, meski belum ramai. Bau darah dan amis daging segar hewan herbivora tersebut mengundang tikus-tikus got yang tambun. Suara hentakan kapak yang menghantam tulang akan meramaikan insrumentasi bunyi di Pasar Gede. Hal ini juga akan menjadikan ujung selatan pasar yang berhadapan dengan gudang ikan mulai terang lantaran lampu-lampu terpasang. Keadaan pasar berubah, tapi tidak dengan angin barat yang tetap menjadi lesatan panah, yang menembus kulit meski dibungkus jaket.

Arah yang berlawanan, di ujung Utara Pasar Gede, warung kupi Muna menyisakan sepi, jalan Kim Ting kian sempurna bagi penjaja berahi. Sesekali kendara melintas, menandai perburuan tengah malam. Jeramba[8] Siburik yang menghubungkan pelabuhan dan Pasar Gede, mulai ramai, meski tak melebihi warung Mak Por. Begitu juga sisi barat daya klenteng Hok Tek Che, remang cahaya di bawah rindang pohon tua dekat pagarnya. Suara-suara memenuhi udara, saling tukar harga dengan alotnya. Kuli-kuli pelabuhan yang tertahan berlayar, artinya gagal pulang bertemu anak isteri di kampung halaman, menjadi pelanggan tetap cabo-cabo[9] sepanjang Sungai Siburik.

“Empat Pulo . . .”

“Enam Pulo . . .”

“Empat Lima . . .”

                          “Lima Lima . . .”

Tawar-menawar semacam ini menjadi rutinitas, meski sebenarnya transaksi antarmereka terjadi saban malam. Mereka akan terus mengulang angka yang sebenarnya sudah pernah mereka tahu berapa nilainya. Berahi yang memuncak, juga kebutuhan yang mendesak, menjadi semacam orkestrasi kehidupan malam para kuli pelabuhan dan janda-janda kembang yang hidupnya penuh tuntutan. Semua tahu, dialog semacam itu akan tetap berakhir pada orgasme dalam wc umum, dan atau pojok-pojok ruko milik Baba Acai yang gelap gulita. Mereka akan menuntaskannya dengan sempurna, setidaknya dalam kesimpulan mereka. Karena berahi dapat dicapai di mana saja, walau tidak di kasur tebal tanpa harumnya aroma terapi kamar hotel berbintang.

“Binatang…! Kedaong…!!”[10]

Dari jauh gema suara AB menghentikan ijab yang sedang berlangsung. Tidak hanya itu, teriakannya yang berulang-ulang memotivasi kuli dan cabo muda berkulit libam melenyapkan diri. Mereka tahu, bertemu AB sama saja dengan melihat pulong atau antu berayun[11]: sial. Semua orang Pasar Gede tahu, belakangan AB sering mengamuk dan memukul lantaran kehilangan pelanggan. AB menjadi hal yang saat ini harus dihindari oleh mereka sepanjang Siburik, tentu saja setelah corona dan aparat. Meski minim cahaya, atau dalam keadaan gelap sekalipun, seantero Pasar Gede orang-orang malam sangat akrab dengan umpatan-umpatan khas, dan suara knalpot matiknya yang juga khas. Hal ini juga menandai, bahwa jam operasi selesai: jam pulang sudah tiba.

NOL TIGA : SATU TUJUH.

Kini tidak hanya kios sapi milik Bang Sam yang terang lampu. Kios Sinta sudah terbuka, tampak Santi mulai mengemasi tumpukan bawang Brebes, kentang Dieng, dan wortel Brastagi, juga Labu Siam.

“Kak, pesanan hotel jangan lupa disiapkan,” sebut Sinta sambil mengemasi Cabai Jakarta dalam plastik asoy. Kakak beradik ini menjadi kolaborasi penting untuk kemajuan kios sembako yang sudah dijalaninya belasan tahun lamanya. Keberadaan mereka juga penting, sebagai penanda bahwa pribumi juga bisa bersaing di tengah pasar yang didominasi para perantau; Madura, Jawa, Sunda, Medan, Padang, dan Sulawesi.

Lorong pasar mulai ramai, dipenuhi jejeran sayur-mayur yang ditata begitu rapi. Para tengkulak sayur mulai berinteraksi dan bertransaksi dengan para perae, sebelum akhirnya sayur-sayur tersebut sampai hingga pelosok-pelosok kampong Pulau Timah. Tidak jarang mereka saling bertegang urat untuk mempertahankan harga jual pada perae yang menawar, meski hanya seribu rupiah. Jam yang berputar, kian menyemarakkan Pasar Gede. Plang-plang ikan juga mulai dikerumuni orang. Tampak para penjual-pembeli, saling bertukar angka. Transaksi yang menyenangkan terjadi saban pagi di pasar ini. Sesekali terdengar teriakan perae[12] tiap kali harga tawar jauh melebihi yang diajukan penjual ikan.

Kemarik dua’ satu, Ba,” sebut Rebuya, si penjual keliling sambil membelalakkan mata burung hantunya.

“Musim Barat. Kemarik ujan badai de laut, Buya. Tangkapan kurang bagus o!” jawab Iben dengan manja sambil mengedipkan matanya yang hampir segaris.

“Ingat Cece,[13] Ko. Usa kegatalan, geli’ aku. Masker to de pakai. Dasar boyak!” respons Buya sambil mendengus bagai sapi.

Cucok, kan? Abang Buaya, dan adik, Rebuya,” Iben melepaskan rayuan gombal; tangannya menimbang ikan yang dipilih Rebuya. Ketawanya pecah, matanya kini tenggelam bak matahari sore pantai Tanjongpendam.

Nih, Ikan Buto Cina.[14] Dua’ kilo lebe semate.”

Lima’ empat tige ratus. Bayar limak empat la, Say,” Iben menimpali sambil memercikkan air es sesaat mencuci tangan dalam piber berwarna jingga.

“Mak, Ba,[15] gile gadok.18 Nak naik haji kaluk e ikam ne!”

“Usa marah, Say. Itulah harge e dari Daeng.” Iben kian meningkatkan rayuan gombalnya, tapi tidak menurunkan harga sama sekali. Tentu saja lelaki berambut ikal itu tidak berani mengubah apa yang sudah ditentukan tauke.

“Say…, say…, say…, sayton kalok e.” Rebuya kian marah. Mulutnya menyerupai ikan yang baru saja ia beli. Tanpa mengucapkan terima kasih, bergegas meninggalkan bangunan tanpa pintu dan jendela tersebut.

Angin Barat berhamburan di udara, menegaskan rasa dingin pada cuaca. Ombak berdeburan di balik tembok pasar ikan, menghantam apa saja; badan kapal yang melepas jangkar, dermaga kayu yang mulai rapuh, juga dinding talut yang kalut. Sebelah Selatan Pasar Gede, dataran Kampong Sebrang masih semarak dengan lampu rumah orang-orang Juru. Lampu-lampu rumah penduduk menyerupai kerumunan kuku antu.[16] Namun demikian, tampak beberapa lampu kening dari kulek berseliweran layaknya mercusuar. Banyak dari nelayan tersebut keluar dari sela-sela bakau. Ada yang mendayung menuju Kalmoa[17], ada yang tampak mendekati dermaga labuh penyeberangan di ujung pasar, ada pula yang menyisir bakau mengecek bubu ketam rajungan, sisanya menuju arah Baro.[18]

JAM MERANGKAK MENUJU LIMA

Suara lantunan Qur’an mulai menggema sepanjang lorong pasar sayur. Para perae kian ramai berdatangan, begitu juga dengan mereka yang membawa hasil panen. Setelah Rebuya meninggalkan plang Iben sambil menenteng keranjang berisi ikan, Ia berjalan menuju parkir dan menata ulang dagangan yang menumpuk dalam keranjang pempang[19]. Bayam sekebat, kangkung, sawi marokot, periak,23 tahu Cina, tahu Jawe, kecambah, dan beberapa renteng bumbu siap saji.

“Buya, santan dan bumbu ketumbar ketinggalan,” ujar Uda Tasman dengan suara agak cempreng.

Astaga, untong diingatek, Da.” Balas Rebuya sambil berjalan menuju salah satu kios. Uda Tasman memang menjadi salah satu supplier yang selama ini menangani urusan bumbu giling para perae.

“Setoran kemarik sudah ya, Da?” Rebuya membuka-buka buku catatan, sambil mengingat apa-apa saja yang belum dilunaskan.

“Aman la itu, Buya. Kalau nak dilunas besok sekalian, indak masalah.”

“Langsung bayar, Da.” Rebuya memberikan sejumlah uang, lalu bergegas menuju parkir. Langit Tanjungpandan mulai terang, Rebuya langsung meninggalkan pasar.

          NOL LIMA ; LIMA NOL

Transaksi menjelang pagi makin riuh, karena para pembeli kian bercampur, antara beberapa perae yang masih tersisa dan pembeli biasa, ibu-ibu dengan ragam seragam. Lorong yang semula disesaki tengkulak sayur berangsur sepi, mereka menarik diri lantaran pemilik kios ingin membukanya. Para tengkulak tersebut memang hanya numpang di teras-teras kios untuk menggelar ragam sayur yang mereka ambil dari kebun-kebun petani.

Kios-kios terbuka, baju-baju dan celana-celana mulai tersusun rapi, menggelantung. Begitu juga sepatu-sandal plastik dan kulit kw dengan segala ukuran. Kecuali kios milik Zainul dan Busu, yang memang sejak subuh menjual ragam sayur dan ikan linggang. Mereka tetap buka hingga siang menjelang. Hingga tak jarang, para tengkulak yang gagal menghabiskan sayur dagangannya, menjual barang mereka dengan harga seadanya kepada Zainul dan Busu. Hal ini lebih baik ketimbang mereka membuang sisa-sisa sayur dengan sia-sia.

Cabik baskara naik 3 mate,” sebut Midau kepada Zainul. Pesan itu menjadi patok untuk semua harga cabai Pasar Gede hari ini. Sebagai tauke cabai, harga satu Pasar Gede akan ikut apa kata Midau.

Jerok kunci?” Busu melempar tanya.

Naik tujo mate. Barang kontak, jerok kunci Bangka’ ndak masok,” jawab Zainul.

Harga jual Pasar Gede memang ditentukan sekitar jam enam pagi. Harga ketentuan ini akan menjadi patokan sampai zuhur menjelang. Semua harga untuk jenis barang dagang akan menjadi kesepakatan bagi para pedagang, sebagai etika yang tidak mungkin mereka langgar. Harga-harga ini juga akan menjadi patokan harga jual di Pasar Hata, atau Pasar Baro yang beroperasi bakda ashar.

“Banyak barang kontak, kapal ndak dapat masok,” sebut Midau sambil menghitung setoran Zainul atas cabai yang kemarin diambil.

Ayam Jakarta ndak masok, bawang, cabik gede, wortel dan kol juak,” Zainul menimpali.

“Kalau gitu, kite naik sembilan mate,” ujar Busu sambil tertawa tipis.

Harga akan mereka naikkan, angin barat di laut, kapal tertahan di Jakarta, barang-barang pokok dari Jawa tidak masuk. Keadaan ini menjadi penting bagi para pedagang. Selama barang-barang dari luar pulau tidak masuk atau kontak, keadaan akan mereka rasakan stabil. Mereka tidak pernah pusing mengenai harga dan kesejahteraan di pasar, asalkan barang-barang komoditas tidak tumpah ruah di pasaran. Begitu juga dengan Corona, mereka selalu merasa aman ketika pelabuhan dan bandara ditutup. Namun belakangan, atas nama peningkatan pariwisata dan peningkatan PAD digaungkan oleh pemerintah daerah melalui koran maupun cerita-cerita warung kupi, ketidakstabilan kembali dirasakan. Ditambah dengan beredarnya kabar burung, bahwa dua pelancong berkebangsaan Prancis positif terpapar Corona.

“Itu bukan kabar burung, semalam sudah ada pengumuman live dari wakil Bupati di chanel facebook Forum Komunikasi Masyarakat,” sebut Bibah kepadaku.

“Itu benar. Mereka orang Prancis yang membeli tanah dekat rumah. Dua hari lalu ngojek, minta antar ke Pasar Hata. Mereka tetangga baru dekat rumah. Katanya, semalam ramai orang berbaju astronot menjemput. Untung aku di warung kupi Muna, jadi tidak ikut diamankan. Alhamdulillah, masih bisa ngojek dan ngantar pesanan selada segar,” terang Zakaria sambil membawa barang-barang pesanan salah satu toko online yang baru beroperasi selama pandemi terjadi. “Alhamdulillah.”

“Syukurlah.”

                                          “Semangat, Bang Zakaria.”

                                                     “Sayur murah, sayur murah….”

                                                               “Tempe, tempe, tempe….”

Pasar tambah ramai, suasanan kian riuh.

Jejak Imaji, 2020

Belitong-Bandung-Cirebon

 

[1] Daun Salam atau Syzygium Polyanthum. 2 Baronang susu (Siganus canaliculatus).

[2] Istilah Melayu Belitong untuk mereka yang masih suka bermesraan di usia lanjut. Kalau anak baru tumbuh gigi (gusi), biasanya suka memasukan benda apa saja ke dalam mulut untuk dikunyah.

[3] Bergajul.

[4] Aktivitas mengambil udang di laut, biasanya dilakukan ketika hitungan bulan mati atau bulan gelap yang didukung kalender air laut yang surut.

6 Puspa (Schima Wallichii).

[5] Dialek Bahasa Belitong, artinya “Jangan terlalu sering/jangan kebanyakan.”

[6] Nama hantu dalam bahasa Belitong, biasa digunakan untuk mengumpat.

[7] Pelacur.

[8] Jembatan.

[9] Bahasa Belitung cha-bó (͘Hanji = 查某) memiliki makna negatif, yaitu kerepe atau pelacur.

[10] Bahasa Belitung, yang maknanya umpatan.

[11] Pulong adalah bola api yang melintas di angkasa, antu berayun jenis hantu yang biasa bergelantungan di pohon. Keduanya merupakan jenis hantu yang dikenal masyarakat.

[12] Penjual keliling yang mengambil ikan dari tengkulak untuk dijual kembali ke masyarakat luas, biasanya menggunakan sepeda, sepeda motor, atau mobil.

[13] Cece panggilan lain dari Kakak Perempuan dalam masyarakat Tionghoa Belitong.

[14] Saurida Tumbil.

[15] Ba atau Baba, panggilan untuk laki-laki dalam masyarakat Tionghoa Belitong. 18 Gadok artinya Babi.

[16] Kuku antu, atau kuku hantu.

[17] Salah satu gugus pulau yang dekat dengan pantai Tanjungpendam.

[18] Baro merupakan dermaga nelayan yang sekaligus menjadi salah satu pasar sore di Tanjungpandan yang menjajakan sayur mayur dan hasil tangkapan laut.

[19] Keranjang yang terbuat dari rotan untuk membawa barang-barang. 23 Pare.

Iqbal H Sapurtra
Latest posts by Iqbal H Sapurtra (see all)

Comments

  1. Zakia Reply

    sangat baguss. suka gaya penulisannya dan ceritanya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!