Hikayat Suta Naya Dhadhap Waru
Bukan hanya jati, tunjung yang dijunjung-junjung
kecubung, rawe, alang-alang pun disemat
dalam nama-nama sebagai pengingat dan kerabat
Dibasuhlah keringat dengan beluntas yang tumbuh
sebagai pagar tegur sapa melepas batas-batas.
Jahe kunir, salam, laos menyatu ramah dalam tungku
bersama kering kayu-kayu lewat tangan para ibu.
Bersama aren, glugu, nangka, jambu, setia menunggu
tangan dan kaki bocah dari musim ke musim
yang belajar memanjat sebagai bekal kelak
berangkat omah-omah
Suta naya dhadap waru yang tuhu,
tabah dan tenang bergerak menjelma rimpang
menemukan ruang. Tegak berdiri siang malam
Suta naya dhadhap waru,
riwayatmu melekat dalam tanah dan perigi-perigi
sesekali disebut bagai rumput. Menjulur serupa suruh
yang tak putus-putus menjadi selendang ibu,
hangat menyelimuti tangis bocah bayi
Suta naya dhadhap waru,
riwayatmu menggelinding bersama roda pedati
bersama gugur daun, hutan terbakar, wabah penyakit
dan dicatat dengan huruf-huruf kecil di buku-buku
2017
Kembali ke Ladang
Ibu bumi, bapa angkasa
perkenankan aku
lahir kembali, menjadi manusia
belajar mengeja, terus membaca
agar hati tanpa bimbang ke ladang.
Pada tanah, kayu, pada gugur daun
berguru, meniru laku suta naya
yang tanak menyanak dhadhap waru
Ibu wengi bapa rahina
aku lahir dari subur rahimmu
maka biar kutanam diri ini
kembali ke ladang doamu.
Tanpa henti meniti kaki luku garu
mengolah tanah sangkan paran
membakar diri bersama api dumadi
Ibu bumi bapa angkasa
izinkan aku, kembali ke ladang
memanggul cangkul, menyanding sabit
membabat habis segala runggut
yang merenggut. Mandi keringat
dari jernih hati dan pikiran
Ibu bumi bapa angkasa
di zaman serba kalkulasi untung rugi
bersama restumu, aku kembali
menimang biji-biji doa, tenggelam
dalam hati petani, tanpa henti
nandur wiji keli
Ibu bumi bapa angkasa
tak ada lain jalan
karena sejauh mata memandang
sependek kaki melangkah
yang tampak hanyalah ladang
tempat bercocok tanam
Yogyakarta, 2018
Pada Jembatan Kecil Itu
Pada jembatan kecil dari bambu,
aku berguru
untuk tidak ragu, tidak malu
jadi setapak bagi kaki-kaki
yang menyeberangi kali dan sungai
masuk ke kebun, dari dusun ke desa,
menuju jalan raya, lalu ke kota-kota
Pada jembatan kecil kayu itu
aku belajar
menempa diri, runduk serata tanah
menanam tabah dalam rebah
mencatat jejak tapak anak-anak
remaja, juga orang tua
Pada jembatan-jembatan kecil itu
aku berkaca
mengingat kembali nasihat orang tua
tentang riwayat wot ogal-agil
hikayat jembatan rahasia
Berbah, 2019
Penjaga Tuk Sunyi Puisi
: IBS
Barangkali engkau seperti pohon jati,
Tectona grandis, dari muda siap dipangkas
berkali-kali untuk menemukan tua dan isi
Bisa jadi engkau sosok angsana,
setia berdiri di sepanjang jalan, tempat bernaung
pengamen gelandangan, juga pejalan kesepian.
Seakan kekal mengisap asap dan debu jalanan
meski hanya satu dua yang mengenal
Mungkin pula engkaulah rumput kalakanji
yang disingkiri, dibabat diobati namun tetap saja
tanpa henti mengembara ke sana kemari
Engkau pun mungkin serupa kacang panjang
yang sadar di mana kepala mesti bersandar,
kaki mesti berdiri, dan hati menetap pada lanjaran
Tak jarang orang pun menyebutmu wit preh,
beringin rimbun dekat sumber tua, wingit
dan nglangut sendiri, menjaga air mata mata air
Ah, apa pun itu, jelas bagiku, engkau bukan ingas
kemadu yang menyimpan upas getah di balik
tenang tegakmu
Apa pun, engkaulah itu, penjaga tuk sunyi puisi
rela menjadi apa saja, di mana saja dan
kapan pun setia menyapa yang datang
meskipun tiba-tiba
2020
Perempuan-Perempuan Belapati
: Anggraini, Setyawati, Aswani, Surtikanti, Siti Sendari
Kesetiaan itu milikmu
mengalir dalam darah
sepanjang napas
abadi dalam dongeng dan kisah
Kesetiaan itu milikmu
menjelma Anggraini
yang tetap memeluk Palgunadi
meski Arjuna mencoba meraih
dan menjatuhkan hati
Kesetiaan itu milikmu
menuntun langkah Setyawati,
kencang berlari di Kurusetra
tanpa risau pada runcing tombak panah
memeluk Salya yang bersimbah darah
Kesetiaan itu milikmu
hadir bersama Surtikanti
tak ingin melihat kepala
dan tubuh itu terpisah
sebab hanya ada Suryaputra
di dadanya
Kesetiaan itu pakaianmu
rapat membungkus Aswani
menyusul kesetiaan Kumbakarna
yang tubuhnya di-juwing-juwing
pasukan kera Pancawati
Kesetiaan itu wajahmu
memantul pada Siti Sendari
sumarah, melangkah tanpa ragu
menyatu bersama sumpah Abimanyu
Kesetiaan itu silsilahmu,
perempuan-perempuan belapati
terus menitis sampai hari ini
meski seribu wajah bujuk rayu
menyerbu dari segala penjuru
2020
Perempuan Penagih Janji
: Kekayi dan Kunti
Pada mulanya janji
lalu perang besar pun terjadi
Adalah kisah dewi Kekayi
perempuan ayu yang bertapa di rumpun bambu
demi tedhak turun ratu tetap mengalir di rahimnya.
Dasarata tak kuasa mengelak lagi, karena bagi Kekayi
janji adalah janji, harus disembadani,
apalagi sabda pandhita ratu, ora kena wola-wali
Lalu lahirlah liku lakon Sri Rama dan Sita
Kisah Barata yang bertahta di bawah terompah,
Leksmana yang memilih brahmacari
dan perang besar Alengka yang tak terhindari
Pada mulanya janji
lalu perang besar pun terjadi
Ada satu lagi, lakon zaman yang seakan abadi
Bharatayuda, perang besar di Kurusetra
juga bermula dari lembaran janji
sebab tanah titipan, hak waris sebuah negeri
Maka, ketika Kresna, sang duta ditolak
Kunti pun teguh pada piagam yang disepakati
dengan jalan apa pun, tanah Astina harus kembali
karena sudah titi wanci, janji harus ditepati
Pada mulanya janji
lalu perang besar pun terjadi
2020
Karno Gugur
Setelah Pasopati memisahkan kepala dari tubuh Karno
Kunti seperti mendengar lirih suara merambati bumi
“Izinkan aku bersimpuh di pangkuanmu Ibu,
untuk pertama dan terakhir kali.”
Air mata Kunti tak berhenti mengalir. Dadanya meledak.
Sungsang batinnya. Dipeluknya bayang wajah Karno.
Dimandikan dengan air mata, direngkuhnya anak pertama
yang dilarung puluhan tahun lalu itu
Karno pun gugur, memenuhi bakti pada negeri
Pada mereka yang menampung kesepiannya
Hari itu, tunai sudah rindu pada ibunya, Kunti
Lewat tangan Arjuna, adiknya yang sangat ia cintai
“Ibu, aku ingin memelukmu, terimalah,
rindu dan baktiku tak pernah padam, padamu.”
Senyumnya mekar sempurna di dada Kunti
2020
- Puisi-Puisi Sukandar; Hikayat Suta Naya Dhadhap Waru - 10 November 2020
Indri
Terharu biru memuja kata nan indah.. terimakasih mengenalkan bahasa yg merdu untuk di resapi oleh hati.
Indri
Terharu biru memuja kata nan indah.. terimakasih mengenalkan bahasa yg merdu untuk di resapi oleh hati.
Madya
Keren.
Wahyu Setiyawan
Seberkas kata yang yang amat mempesona. Hasratku meluap menjadikan aku begitu terhibur.
Semangatku bangkit, dan kiberlari lagi mengejar mimpi yang sempat melemah.
Terima kasih,
Kukan terus berlari hingga tiba sang nirwana.