
Suatu malam mereka menemukan seekor anak kucing di tengah jalan. Si suami meminta kepada si istri untuk memindahkan si kucing ke pinggir jalan supaya tidak dilindas oleh kendaraan lain. Bukannya memindahkan, si istri malah menggendong si kucing dan bilang bahwa ia akan membawanya pulang. Si suami mengatakan kalau mereka tidak mungkin bisa merawat si kucing karena mereka berdua bekerja, tetapi si istri tetap ngotot ingin memelihara si kucing.
Sampai di rumah si istri membersihkan badan si kucing dengan tisu basah hingga bersih dan harum, setelah itu ia pergi ke apotek di seberang jalan untuk membeli sepuit plastik 10 cc. Dengan alat suntik yang telah dilepas jarumnya itu, si istri memberi minum si kucing dengan susu beruang. Si kucing meminumnya dengan bersemangat. “Ia lapar,” kata si istri.
Setelah si kucing puas minum susu, si istri mengajaknya bermain. Si istri berusaha mengajari si kucing untuk duduk, tapi tidak berhasil. Kemudian si istri membawa si kucing berjalan-jalan ke luar. Tidak jauh, hanya sejauh sepuluh meter, setelah itu kembali ke rumah. Di rumah si kucing digendong, dibelai-belai, sampai akhirnya si kucing mengantuk.
Si istri mengambil kotak bekas sepatu, melapisinya dengan kain bekas, dan memasukkan si kucing ke dalamnya. Si kucing terlihat menikmati tempat tidur barunya itu. Ia tidak protes atau mencoba keluar. Selang beberapa lama, si kucing tertidur.
Si suami dan si istri tidur di atas tempat tidur angin yang diletakkan di atas selapis kasur tipis di atas lantai. Kotak bekas sepatu berisi si kucing mereka tempatkan di depan pintu kamar tidur.
Jam enam pagi, si kucing membangunkan si suami. Si kucing melompat ke dadanya sambil mengeong-ngeong. Si suami membangunkan si istri dan si istri segera membawa si kucing yang kelaparan itu ke dapur. Si istri memberinya susu beruang. Si kucing menyedot ujung sepuit itu dengan bersemangat.
Setelah si kucing kenyang, si istri memasukkan si kucing ke dalam kotak bekas sepatu kemudian pergi mandi. Si suami masuk ke kamar mandi setelah si istri. Selesai si istri berpakaian, si suami menyalakan motornya dan mengantar si istri ke kantor.
Si istri bekerja di departemen B*** dan si suami bekerja di rumah sebagai desainer. Menjelang makan siang si istri mengirimkan pesan menanyakan si kucing. Si suami mengatakan si kucing tadi membuang kotorannya di rerumputan samping teras. Bukan si suami yang menyuruh si kucing membuang kotorannya di situ. Pemilihan tempat itu semata atas inisiatif si kucing sendiri. Si istri memberikan emotikon tertawa-dan-menangis.
Si istri meminta dijemput, ingin melihat dan memberi makan si kucing. Setelah sampai di rumah, si istri memberi si kucing susu beruang melalui sepuit. Si kucing senang bukan kepalang. Setelah selesai, si istri bermain-main dengan si kucing, membelai-belainya, mengajaknya mengobrol.
Si istri memang mengajak si kucing mengobrol. Kadang si suami mendengar si istri berkata kepada si kucing, “Udah kenyang, ya? Enak susunya?” Setelah memasukkan si kucing ke dalam kotak bekas sepatu, mereka pergi makan siang di warung langganan mereka di dekat kantor. Jarak kantor dan rumah kontrakan mereka tidak terlalu jauh, hanya sepuluh menit naik motor. Saat mereka pergi, si kucing mereka kunci di dalam rumah. Selesai makan siang si suami mengantar si istri ke kantor kemudian si suami pulang.
Sesampainya di rumah, si suami melepas si kucing untuk bermain di luar. Karena tidak ada teman, si kucing menghabiskan waktunya berteduh di bawah motor.
Si suami meninggalkan si kucing di bawah motor dan melanjutkan pekerjaannya. Kadang ia keluar untuk mengecek keadaannya, tapi si kucing tidak pergi ke mana-mana, betah di bawah motor.
Menurut si istri, si kucing masih berumur kurang lebih satu bulan jadi masih harus menyusu. Ia tidak tahu bagaimana si kucing bisa terpisah dari induknya. Mungkin saja si kucing dibuang oleh pemiliknya. “Kalau betul begitu, tega sekali mereka,” kata si istri kepada si suami.
Si istri dan si suami sebenarnya bukan penyuka kucing. Mereka adalah penyuka anjing dan pernah memelihara anjing ketika mereka masih kanak-kanak. Keputusan untuk memelihara si kucing semata karena si istri tidak tega melihatnya telantar. Ia berencana untuk memelihara si kucing setidaknya sampai si kucing bisa mencari makan sendiri.
Si suami bekerja sambil sesekali mengecek si kucing hingga pukul lima sore, saatnya menjemput si istri pulang. Sesampainya di rumah si istri langsung menggendong si kucing. Tanpa mengganti baju terlebih dulu, si istri memberi sepuit berisi susu beruang kepada si kucing. Si kucing menyedotnya dengan bersemangat.
Setelah kenyang, si istri membelai-belai si kucing. Ia meneliti seluruh badan si kucing. Jika melihat ada yang kotor, si istri akan mengambil tisu basah dan membersihkan bagian yang kotor itu.
Saat pergi makan malam, mereka membawa si kucing dalam kardus dokumen dan si istri memangkunya selama perjalanan. Kadang si kucing berontak ingin keluar. Si istri akhirnya membuka penutup kardus, membiarkan si kucing terkena embusan angin. Si istri mengatakan kepada si suami bahwa si kucing tidak suka tinggal di dalam kardus saat naik motor. Si kucing ingin melihat-lihat keluar. Besoknya si istri membelikan wadah lain yang tidak tertutup, tapi berlubang sehingga si kucing bisa melihat keluar selama perjalanan.
Saat di warung makan, si istri meletakkan kardus berisi si kucing di atas kursi yang kosong di sampingnya. Sambil makan, si istri menyisihkan potongan-potongan kecil ikan untuk si kucing yang dilahap habis oleh si kucing.
Karena si kucing sudah makan sedikit di warung, sampai di rumah si kucing kurang begitu berminat meminum susu beruangnya. Si istri kemudian memasukkan si kucing ke dalam kardus dan pergi mandi.
Besoknya, si istri memutuskan untuk membawa si kucing ke kantor. Tapi jam sembilan ia mengirimkan pesan kepada si suami kalau si kucing mencret. “Kemungkinan besar karena susunya basi,” kata si istri. Si suami pun ke kantor dan membawa pulang si kucing.
Sampai di rumah si suami mengganti susu beruang dengan susu cair dalam kemasan. Si kucing hanya meminumnya sedikit. Si suami kemudian membiarkan si kucing duduk di dekatnya sementara ia bekerja. Bosan duduk-duduk, si kucing berjalan ke halaman dan berteduh di bawah motor.
Saat jam makan siang si suami pergi ke kantor si istri sambil membawa si kucing dalam wadah barunya. Mereka makan siang bersama si kucing. Sesekali si istri memberikan potongan daging ikan kepada si kucing yang melahapnya dengan penuh nafsu.
Selesai makan siang si suami mengantarkan si istri ke kantor dan ia pulang bersama si kucing. Saat dilepas di teras, si kucing langsung pergi ke arah rerumputan dan bersiap membuang kotorannya, tapi yang keluar hanya cairan. Dengan langkah gontai, seolah menyadari ada yang tidak beres dalam dirinya, si kucing berjalan ke arah motor dan berteduh di bawahnya.
Sore harinya, si istri mengatakan kepada si suami bahwa ia tidak bisa lagi memelihara si kucing. Beberapa hari ke depan ia banyak pekerjaan, jadi tidak bisa pulang saat jam makan siang untuk memberi makan si kucing. Si suami menyuruhnya untuk mencari orang yang mau menampung si kucing.
Si istri menawarkan si kucing kepada pemilik rumah kontrakan mereka, tetapi ia menolak. Kemudian si istri menawarkan kepada tetangga mereka si penjual nasi goreng dan ia juga menolak. Si istri menawarkan kepada teman-temannya di kantor dan mereka juga menolak. Tidak ada pilihan lain: si istri harus memelihara si kucing. Jadi, selama si istri bekerja di kantor, si suami yang harus mengurusnya dan giliran si istri adalah saat ia telah pulang dari kantor. Begitulah kesepakatan mereka.
Mengenai mencret si kucing, mereka pergi mencari toko hewan peliharaan untuk mendapatkan informasi makanan apa yang sesuai untuk anak kucing yang baru berusia satu bulan. Si pemilik toko hewan peliharaan mengatakan supaya si kucing jangan diberi susu beruang atau susu sapi karena akan membuat si kucing mencret. “Coba kasih makan ini,” kata si pemilik toko hewan peliharaan, mengeluarkan satu plastik makanan kucing berbentuk bulat seperti kacang ginza. Begitu disodorkan ke si kucing, tanpa diduga, si kucing suka dengan makanan keras itu. Dalam beberapa hari mencret si kucing hilang dan ia menjadi lebih bersemangat.
Kalau dibiarkan berjalan-jalan di dalam rumah, ia akan mengikuti si istri ke mana pun si istri atau si suami berjalan sampai akhirnya si kucing lelah sendiri dan memilih duduk di dekat tembok atau pergi keluar untuk berteduh di bawah motor.
Seminggu setelah mereka pelihara, si kucing tampak lebih gemuk dan bersih ketimbang saat pertama kali mereka menemukannya. Kadang setelah diberi makan malam, si kucing tidur-tiduran di dekat si istri yang tidur-tiduran sambil bermain gawai di tempat tidur. Si suami senang melihat si kucing merasa nyaman tidur di sana.
***
Suatu hari si kucing tak mau makan. Diberikan potongan hati ayam, menolak. Diberikan susu untuk kucing, tidak tertarik. Si suami dan si istri bingung. Si kucing berjalan ke kamar dan rebah di dekat tempat tidur angin, tempat kesukaannya.
Masalah lainnya, si kucing suka membuang kotorannya di kamar. Menurut si istri, hal itu disebabkan si kucing tidak bisa keluar untuk melakukannya di rerumputan karena pintu dikunci. Si istri lalu memutuskan untuk membeli kandang untuk si kucing. Mereka mendapatkannya di toko hewan peliharaan. Sekarang si kucing tidak bisa lagi membuang kotorannya sembarangan. Di dalam kandang si istri menyediakan air minum dan wadah berisi pasir tempat si kucing membuang kotorannya.
Mengenai penyakit si kucing yang tidak mau makan: tak ada yang bisa mereka lakukan selain terus membujuk si kucing untuk makan hati ayam—makanan kucing yang berbentuk seperti kacang ginza—dan minum susu. Kadang-kadang si kucing mau makan, tapi hanya sedikit. Selebihnya, si kucing membuang muka.
Dampak lain dari keputusannya untuk menolak makan adalah ia menjadi sangat kesulitan saat mengeluarkan kotorannya. Jadi, dari sedikit yang masuk, tak ada yang keluar. Selama dua hari si kucing berusaha membuang kotorannya, melebarkan kedua kakinya di rumput, tapi hasilnya nihil. Hal ini membuat si kucing tertekan. Jika dilepas dari kandang, si kucing berjalan dengan lambat lalu duduk di dekat pintu, memandang kosong ke jalanan.
Sebelumnya, jika dipanggil, si kucing akan menghampiri sambil berlari-lari kecil. Kini tidak lagi. Kadang si kucing melangkah ke pinggir jalan dan duduk di situ, sampai akhirnya si suami melihatnya dan memasukkannya ke kandang.
Suatu hari si suami dan si istri membawa si kucing untuk makan malam di warung langganan si suami, Warung Belok Kiri mereka menyebutnya. Si suami sering makan di situ terutama karena suka dengan hati ayam masakan si ibu. Si istri tidak makan karena ia tidak cocok dengan masakan si ibu. Si istri dan si ibu mengobrol sementara si suami makan.
Si ibu melihat si istri membawa kucing dan bertanya apakah si istri suka kucing. Si istri bilang kalau ia sebenarnya tidak suka kucing, ia memelihara si kucing hanya karena kasihan. Si istri menawarkan ke si ibu apakah si ibu mau memelihara si kucing. Tanpa disangka-sangka, si ibu mau. Si ibu bercerita kalau ia pernah memelihara seekor kucing pemberian orang dan begitu kucing itu sudah besar, kucing itu pergi. Si istri senang bukan kepalang. Dia memberitahukan hal itu kepada si suami, tapi si suami ragu. Apakah benar si ibu bisa memelihara si kucing? Si istri bilang kalau lebih baik si kucing dipelihara si ibu, lagipula di warung si ibu ada banyak makanan. Dengan sedikit berat, karena tidak yakin si ibu bisa mengurus si kucing, mengingat dia berjualan dan akan sibuk melayani tamu, si suami melepaskan si kucing.
Sampai di rumah, si istri mengatakan kalau rumah kontrakan mereka terasa sepi setelah si kucing tak ada. “Tak ada suara ngeongan,” kata si istri, sedikit sedih. Si istri kemudian tidur-tiduran di atas kasur angin sambil bermain gawai sementara si suami duduk di depan laptopnya.
Besoknya mereka memutuskan untuk melihat keadaan si kucing. Si kucing mereka temukan sedang berjalan-jalan di dapur warung si ibu. Si istri memanggil-manggil si kucing, tapi si kucing seolah tidak mengenali si istri, asyik berkeliaran di dapur. Kemudian si istri mengangkat si kucing dan berkata: “Sombong, ya? Baru satu hari sudah nggak kenal.” Lalu si istri meminta sepotong kecil hati ayam dari si suami dan memberikannya ke si kucing. Si kucing memakannya dengan lahap.
Sebelum meninggalkan si kucing, si istri berkata kepada si kucing, “Baik-baik di sini ya, Cing. Jangan nakal, ya, Cing.” Si istri merasa senang karena si kucing sudah bisa makan lagi.
Dua hari kemudian si suami tanpa si istri makan siang di warung si ibu dan mendapatkan kabar buruk: si kucing diambil orang. Kabar itu diceritakan oleh suami si ibu. Malam sebelumnya si bapak melihat seseorang datang dan duduk tanpa memesan makanan. Saat itu warung sedang ramai. Si bapak menyadari setelah orang itu pergi, si kucing juga lenyap. Menurut si bapak orang itu membawa si kucing pergi dengan motor.
Si istri tak percaya. Ia mengajak si suami untuk pergi mencari si kucing. Menurut si istri tidak mungkin orang bisa naik motor seorang diri sambil membawa kucing. “Mungkin si kucing kabur, Bang,” kata si istri. Si suami dan si istri pergi mencari ke tempat sampah besar di dekat warung si ibu. Benar saja dugaan si istri. Di samping tempat sampah mereka melihat si kucing sedang menggerogoti tulang sapi.
Dengan gembira si istri mengambil si kucing dan mereka pun pulang.
Sampai di rumah si istri memberikan si kucing makanan kucing kemasan kecil beraroma ikan. Si kucing melahapnya. Setelah itu si istri membersihkan badan si kucing menggunakan tisu basah. Si istri mengusap-usap badan si kucing yang sudah bersih dan harum dan mengajak si kucing mengobrol. “Cing, kenapa kamu kabur? Kenapa kamu kabur, Cing? Nggak dikasih makan, ya? Kasihan,” si istri membelai-belai leher si kucing.
Tiga hari kemudian si kucing tidak bisa membuang kotorannya dan tidak mau makan. Si istri mencari informasi mengenai dokter hewan yang ada di Tarakan lewat internet. Rupanya hanya ada satu dokter hewan di kota itu. Malam itu, si istri dan si suami pergi ke sana membawa si kucing.
Dokter hewan itu menyuntik si kucing dan berpesan supaya ia diberi makan makanan yang lunak seperti hati ayam.
Sampai di rumah si istri membeli hati ayam dan memberikannya ke si kucing, tapi ia tidak berselera. “Kenapa nggak mau makan, Cing?” kata si istri. “Nanti kamu sakit lho. Ayo makan, Cing.” Si kucing tetap tidak berselera dan membuang muka.
Si istri bingung, begitu juga si suami. Ditawari potongan ikan pun tetap tidak mau makan. Selama tiga hari berikutnya si istri hanya memberikan susu kucing yang hanya diminum secukupnya. Beberapa kali si kucing pergi ke rumput untuk membuang kotorannya, tapi tak ada yang keluar. Si kucing terlihat lemah. Ia tidak banyak bergerak. Kadang berlindung di bawah motor, kadang tidur di kandang.
Di hari keempat, si istri mendekap si kucing dalam pelukannya dan dengan suara setengah menangis membangunkan si suami, “Bang, si kucing nggak mau bangun….” Terkejut, si suami melompat dari kasur dan mengamati si kucing. Si kucing terkulai dengan napas tersengal-sengal. “Telepon dokter hewan yang kemarin! Beri tahu tentang si kucing.” Setelah itu si suami pergi mandi.
Pesan si dokter hewan mengecewakan mereka. Dokter hewan itu hanya mengatakan: “Coba berikan kucing itu air yang dicampur gula.” Mereka membawa si kucing ke warung makan tempat mereka sarapan dan si istri meminta air campur gula kemudian dengan sedotan memasukkan air campur gula itu ke mulut si kucing. Si kucing tak terlalu suka, tapi si istri tetap memaksa si kucing untuk mau menelan air campur gula tersebut. Ajaibnya, si kucing sudah bisa berdiri. Si suami dan si istri merasa senang. Si suami kemudian membeli ikan goreng dan memberikan potongannya ke si kucing. Si kucing hanya memakannya sedikit.
Di rumah, si istri kembali mengurus si kucing sampai akhirnya ia putus asa. Si kucing tidak mau meminum air campur gula dan tidak mau memakan potongan ikan goreng. Si suami mengusulkan supaya membawa kucing itu ke dokter hewan. Si istri malah marah, “Abang, nih, nggak bisa baca sifat orang. Udah tau ia nggak peduli. Harusnya kalo ia peduli, ya disuruh ke sana. Ini kan enggak. Cuma disuruh dikasih minum air campur gula. Mungkin karena kucing kampung kali, jadinya ia nggak terlalu peduli.”
Akhirnya mereka memutuskan pergi ke toko hewan peliharaan untuk mencari tahu dokter hewan lain. Pemilik toko hewan peliharaan mengatakan tak ada dokter hewan lain di Tarakan, tapi ia memberikan alamat asisten si dokter hewan di Kampung Bugis, siapa tahu bisa membantu. Mereka mengucapkan terima kasih dan pergi ke Kampung Bugis.
Di sana, si asisten dokter hewan mengambil suntikan, membuang jarumnya, dan memasukkan air campur gula ke mulut si kucing. Si asisten melakukan hal itu dengan sabar dan telaten. Setelah sepuluh kali, si asisten mengatakan, “Lakukan ini setiap hari. Dan jangan memberi minum susu, kecuali susu kucing dan jangan memberi makanan selain hati ayam atau ikan.”
Saat dicecoki itu, si kucing menggigit jari si asisten dokter. Si istri berkata kepada si kucing, “Cing, kok jari orang digigit? Udah ditolong malah menggigit. Nggak boleh begitu ya, Cing!” Si asisten dokter tersenyum mendengar ucapan si istri.
Esoknya, pagi sebelum pergi mengantar si istri ke kantor, si suami menyuntikkan air campur gula sebanyak lima belas kali ke mulut si kucing. Si kucing ditinggalkan di kandang yang diletakkan di teras. Setelah sarapan, si suami dan si istri pergi ke rumah sakit. Si istri sakit gigi dan ingin memeriksakannya ke dokter gigi.
Cukup lama mereka di rumah sakit. Jam dua belas baru mereka keluar. Setelah makan siang bersama si istri, si suami pulang.
Si suami menengok kandang si kucing. Ia melihat si kucing sudah tidak bergerak dan tidak bernapas lagi. Mati. “Kasihan kamu, Cing,” kata si suami. Si suami mengirimkan pesan ke si istri, memberitahukan kalau si kucing mati.
Ia meminjam pacul dari tetangga dan menguburkan si kucing di halaman samping rumah kontrakannya.
Sore harinya, seperti biasa, si suami menjemput si istri pulang. Wajah si istri kelihatan sendu, tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Si suami melanjutkan pekerjaannya sementara si istri mandi. Selesai mandi dan berpakaian, si istri menghampiri si suami. Ia menunduk dan air matanya menetes. Saat si suami menanyakan sebab mengapa ia menangis, si istri tidak menjawab. Ia hanya menangis tanpa suara. Kemudian si istri masuk kamar. Ketika akhirnya si suami masuk kamar, setelah mandi dan berganti pakaian, si suami kembali menanyakan mengapa si istri menangis. Si istri menjawab karena si kucing mati. Lalu dengan suara sedih si istri berkata, “Memelihara kucing susah ya, Bang. Apalagi merawat anak.” Si suami dan si istri sudah empat tahun menikah dan hingga saat ini belum juga memiliki anak. Mereka sudah pergi ke beberapa dokter dan semua dokter mengatakan kalau mereka berdua sebenarnya sehat. Mereka hanya perlu berusaha terus dan tidak boleh menyerah. Sejak saat itu si istri selalu mengatakan kepada si suami bahwa ia tidak ingin memiliki anak.(*)
- Pelajaran Memelihara Kucing - 3 January 2025
Patang
Ini cerpen tayang juga di Kompas.id, seharusnya redaktur lebih teliti
Patang
Mohon maaf salah baca🙏🙏🙏🙏
Admin
jadi gimana, kak?
Patang
Saya mohon maaf kepada Kak Penulis dan Kak Admin