Puisi W. Haryanto

 

Usia 51

 

di dalamku

tubuh yang telanjang

jatuh ke laut, tapi kematian tidak datang

bayangan-bayangan gila seperti jalan

ke ujung gurun

 

tapi, di dalamku

hanya ada sisa tulang dan arang api,

tidak seorang pun di sana

ruang sepi itu seperti teras yang menghadap senja

magrib merah seperti tangan gurita

ia masih di sana, di dalamku

 

aku, di atas kuda-kuda berapi,

melewati jalan tentakel yang berlendir

seperti dosa yang lupa kutuliskan

di halaman bukuku, —burung-burung gagak

mencongkel mataku, separuh ingatanku

merah dan memburai—

 

di dalamku, kemah pemburu sudah dibongkar

mimpi-mimpiku sudah dibakar

bunga-bunga hitam tumbuh di tulangku

kejahatan menusuk perutku, luka itu

seperti pawai dan kegilaan yang panjang

 

di dalamku

tubuh yang telanjang

Tuhan, buka pintu-Mu, kematian itu

memanggil kelelawar-kelelawar

memasukiku dengan berteriak

 

Gebang Putih, Surabaya, 2024

 

 

Masa Lalu

 

Yang lalu

sebuah lubang

seperti retakan di tembok

ia meminum diriku

separo diriku tenggelam,

separo yang lain mencoba pergi

 

Yang lalu

sebuah buku

paragraf panjang yang manipulatif

menipu 15 tahun umurku

aku terjebak di sumur gelap,

dindingnya basah dan lembab

tanpa waktu yang kuingat

paragraf itu memasukkan

cacing-cacing ke mulutku

 

Yang lalu

kabut yang tebal

aku tak melihat jurang

dan kematian di dekatku, serakan tengkorak

yang kuinjak, “krek… krek… krek…!”

aku berjalan tanpa mengingat apa pun

aku lumpuh dan tidak nyata

 

Masa lalu

Pintu lama yang terbuka

kusam warna gorden di jendela,

kursi kayu yang tua, jiwa-jiwa yang menghirup napas

dari rumput dan pasir,

pintu lama itu, 15 tahun usiaku, penjaraku

aku pergi dari sana

dan debu di lengan bajuku jatuh ke lantai

 

Gebang Putih, Surabaya, 2024

 

 

Bulan di Atas Gebang Putih

 

ia rapuh

jika kusentuh

ia di sana

seperti kapal layar dari Neverland

peri-peri di atas geladaknya

seperti lapisan sajak

kapal itu, membelah punggung laut

yang tak terlihat

 

ia luka

jika aku meminumnya

cahayanya menempel

di rongga leherku, bunga-bunga bermekaran di sana

telur kupu-kupu mencubit pangkal lidahku,

melubangiku

aku cangkang untuknya

lukanya, melintasi dua punggung ombak

yang muntah dari mulutku

 

ia, bulan di sana

sendirian

berdayung ke tengah danau cahaya

 

Gebang Putih, Surabaya, 2024

 

 

Kuda Anjapiani

                        —dari jampi-jampi Ki Amin Chusen

 

ketika benih-benih jatuh

di situlah aku berhenti

cekungan waktu di atasku

separo gelap yang kulihat

aku berhenti berjalan

adzan magrib di kejauhan seperti jatuh

dari tebing, merayap turun ke dalam gelap

yang jauh dan dalam

 

aku berhenti berimajinasi

laut yang kutinggalkan

lebih hening seperti orang-orang mati

menunggu pertanyaan Malaikat

di hari pertama kematian

 

ketika benih-benih jatuh

di situlah aku tertunduk

dan senja adalah jaket tebal yang membungkusku

separo ingatanku tidak pergi ke mana-mana

separo yang lain tertinggal di dasar laut

 

Tuban, 2024

W. Haryanto
Latest posts by W. Haryanto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!