Panggung dunia yang fana ini, dengan segala keanekaragaman yang dikandungnya, ternyata tidak saja merupakan jebakan dan rayuan yang telah menelan banyak korban sehingga mereka tidak menemukan jalan pulang yang lapang dan tujuan hakiki dari kehidupan. Akan tetapi juga merupakan sarana pembebasan bagi siapa pun yang memiliki pandangan batin yang nyalang sehingga sanggup menembus asal-usul segala sesuatu.
Dalam konteks militansi kerohanian, karena itu, persoalannya terutama tidak terletak pada dunia fana sebagai selaksa rayuan dan tembok penghalang, tapi murni pada apakah ada kesanggupan atau tidak dalam diri kita untuk menjadikan dunia fana ini sebagai keanekaragaman jalan yang menunjuk kepada “alamat” Allah Ta’ala.
Bisakah? Bagaimana mungkin tidak bisa, bukankah segala sesuatu yang centang-perenang dan fana di dunia ini juga berasal-usul dari hadiratNya? Tidak mungkin ada asal-usul yang lain. Sebagaimana juga mustahil ada tempat kembali yang lain. Dialah awal dari segala awal. Dialah pula akhir dari segala akhir.
Dan karena segala sesuatu di dunia yang fana ini datang dari Allah Ta’ala, maka dapat dipastikan bahwa pada segala sesuatu itu terdapat jejak-jejak hadiratNya yang bisa dipungut dan dijadikan sarana untuk mendekat dan semakin merasakan kemahaan yang bersemayam di dalam keagungan dan keindahanNya.
Allah Ta’ala bukanlah benda, bukanlah jisim, bukanlah atribut yang setengah-setengah dan tidaklah serupa dengan siapa atau apa pun. Karena itu, memandang dan menjangkau hadiratNya tak mungkin bisa dilakukan dengan menggunakan mata yang wadag. Harus dengan mata yang memiliki korelasi ontologis dengan kemahaanNya. Harus dengan pandangan yang muncul dari kemerdekaan hati dari berbagai macam hasrat kepada selainNya. Itulah apa yang disebut dengan bashirah atau mata batin.
Allah Ta’ala memang tidak membutuhkan tempat. Tidak sebagaimana makhluk. Tapi dengan kekuatan dan ketajaman mata batin, kita bisa memandang dan menjumpaiNya pada segala sesuatu. Sangat mengagumkan. Yang Absolut itu bisa disaksikan pada segala yang nisbi. Yang Tak Terbatas “ditampung” oleh yang terbatas. Mahasuci Dia. Segala sesuatu tak lain merupakan “ruang instalasi” yang memamerkan aneka ragam keagungan dan keindahanNya.
Dengan adanya pertolongan Tuhan semesta alam, dengan adanya hasrat yang hanya tertuju kepada hadiratNya, dengan kekuatan dan ketajaman mata batin, kita akan mendapatkan dunia yang fana dan kebak dengan fatamorgana ini tidak lagi sebagai penjara yang pengap, tidak lagi sebagai kerangkeng yang kusam, tidak lagi sebagai halimun yang menyesakkan, tapi sepenuhnya menjadi sarana pembebasan yang sangat mengagumkan sekaligus menyenangkan sehingga dunia ini tampil di hadapan kita serasa taman rekreasi dan musim semi yang abadi.
Dengan segenap kemurahan dan kasih-sayang, dengan sepenuh derma dan kebaikan, dengan pangkat dan kemuliaan Sang Nabi Saw., moga Allah Ta’ala menjadikan kita tidak sebagai orang-orang yang terpenjara oleh dunia yang fana ini, tapi murni terbebaskan dari segala sesuatu yang selainNya. Sehingga kita menyaksikan dan menikmati keindahan wajahNya pada setiap yang kita amati. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024