Penghabisan Segala-Galanya

Menjelang pukul sebelas malam saya mendengar suara langkah kaki. Sebelum melihat siapa yang datang, saya sudah tahu, pasti Isaak, si anak kampret itu. Saya khawatir, andai kata bukan saya, Isaak bisa saja dibunuh karena bukan hanya mengganggu di waktu yang tidak tepat, tapi memang kedatangannya selalu memaksa untuk berbuat jahat. Isaak harusnya bersyukur karena saya masih tergolong sabar dan kenal dia luar dalam, sekaligus tahu apa yang dia kerjakan dan inginkan.

Bila dipikir-pikir, sayalah yang mengubah dia menjadi seperti sekarang. Dulu, sebelum dia punya kegelisahan dan hidup hanya untuk tidur dan bangun dihabiskan sepenuhnya untuk mengkhayal, saya datang dan mendongengkan kisah-kisah yang sudah saya baca dari buku-buku. Kadang, satu dua lengkap saya ceritakan tentang latar belakang pengarang.

Saya sebut saja, Muslonah, pengarang dari Indonesia yang dikagumi karena apa yang dipikirkan, ragukan, menjadi unik dalam tulisan dan dapat diterima banyak orang. Tidak jarang tulisan-tulisan Muslonah mengubah cara hidup bersosial dan, mampu menggerakkan orang banyak ke dalam resah yang sama untuk bertindak seperti gagasan tulisannya.

Semua dimulai dari keanehan cara berpikir dan mempertanyakan segala hal. Sebetulnya saya tidak tahu kenapa saya dapat berkata demikian. Tetapi, inilah yang membuat Isaak ingin mendengarkan saya. Dia kagum dan cepat menanggapi bahwa dia terlampau sering berpikir aneh seperti mengapa manusia tidak bisa berjalan di atas air dan, hal-hal yang tidak masuk akal lainnya.

Isaak juga mengatakan, barangkali inilah panggilan untuknya supaya dapat mengubah hidup dengan menjadi pengarang, seperti Muslonah. Bagi Isaak, daya pikat imajinasi—seperti cerita saya—merupakan jalan luas bagi semua jawaban. Saya mengangguk meski tidak tahu, apa betul karena cerita saya atau dorongan lain yang mendadak membuat Isaak berkeinginan menjadi pengarang.

Salah saya waktu itu berjanji dapat membantunya menjadi pengarang. Dia juga cepat percaya dan menggantungkan harapan besar karena saya katakan sanggup membaca bahkan memberi saran untuk semua yang dia tulis nanti. Dan beginilah jadinya. Saat gangguan datang yang mula-mula selalu saya sambut dengan baik, akhirnya membuat saya muak. Seperti kata orang, kesabaran ada batasnya.

Saya tidak bisa bilang tidak, karena apa yang Isaak tulis, jauh di bawah kata buruk dan tidak jelas. Bahkan, saya sudah malas memberi contoh untuk memulai kalimat yang baik, memberi coretan catatan di kertas yang dia bawa sampai membekalinya dengan buku-buku untuk dibaca. Namun, lagi-lagi dia datang dengan kebodohan dan harapan bahwa apa yang dia tulis akan menjadi cerita yang dipuji-puji banyak orang.

Sebetulnya saya punya alasan untuk tidak menerimanya. Tapi karena dia tahu saya tidak pernah tidur di bawah pukul dua dini hari, saya tidak bisa bohong dan lebih sering mengalah dalam posisi yang tidak nyaman. Dia tidak pernah peduli dan selalu memulai pembicaraan dengan basa-basi “Saya tahu, Anda, seperti kalong. Jadi tentu punya banyak waktu di malam hari.”

Karena sudah hafal apa yang akan dia katakan kemudian, saya teruskan kalimatnya, “Dan untuk itu kamu datang kemari?” lalu dengan tidak malu-malu Isaak mengatakan “betul.” seolah saya ini bodoh.

“Selain itu, Isaak,” kata saya dengan suara pelan. Sengaja supaya dia tersinggung seperti tidak diajak bicara. Saya bayangkan Isaak marah lalu tidak lagi datang di atas pukul sebelas atau lainnya karena merasa sia-sia untuk waktu yang terbuang. Tapi dia dapat mendengar dengan baik dan saya tetap tidak mau mengalah. Suara saya pelankan lagi. “Saya juga tahu, setelah ini kamu akan menyodorkan kertas berisi karangan yang kamu anggap cerita hebat.”

Isaak, lagi-lagi mendengar apa yang saya katakan. Dia menjawab “betul” dan saya membenci suaranya yang seperti itu juga anggukan kepalanya.

“Dan karena saya sudah tahu,” saya katakan dengan suara sangat pelan, “sebelum kamu menyodorkan kertas karangan itu, saya harus katakan bahwa saya tidak mau membacanya.”

Saya yakin Isaak tidak mendengar karena saya sendiri seperti bergumam, nyaris bicara dalam hati. Akan tetapi, seolah Isaak dikaruniai pendengaran yang luar biasa, cepat dia bertanya kenapa? Saya langsung geram dan hampir mendidih. Untung dapat segera mengendalikan diri dan tetap sopan sambil berkata, “Apakah sekali-kali saya boleh jujur?”

Isaak diam dan melihat saya dengan sikap tidak peduli seolah saya sedang bercanda.

Meski ada rasa tidak enak, mau tidak mau, saya harus mengatakan, karangannya adalah karangan yang paling buruk. Mungkin saja, orang-orang yang tidak sabar akan meludahi kertas karangan itu bila membacanya. Atau katakanlah yang lebih buruk, tidak hanya satu dua orang akan mengutuk dia begitu membaca kalimat pertamanya.

Karena Isaak bersikap seolah saya bercanda, saya bersumpah kepadanya, andai kata karangan itu dicetak dan dibaca oleh orang-orang, orang-orang ini akan muntah dan mendadak demam. Sebelum itu terjadi, perlu pula diketahui mesin mencetak lebih dulu rusak karena sensornya tidak bisa membaca susunan kata dari karangan Isaak. Memang bisa dipaksa tapi butuh waktu berhari-hari dan kerja keras luar biasa.

Sampai di sini entah mengapa saya merasa tidak enak. Saya tahu Isaak akan marah karena menahan pedas dari kejujuran saya. Mendadak saya berpikir buruk, setelah ini Isaak akan bunuh diri. Untuk itu, saya sedikit menenangkan suasana supaya dia tidak terlalu menderita dan mengambil keputusan seperti pikiran buruk saya.

“Isaak,” kata saya, “kamu bukan hanya tidak bisa menulis tetapi juga tidak bisa mengolah ide. Selain itu, ada masalah lain yang perlu diperhatikan dan ini yang paling penting. Keinginan besar untuk belajar dari kesalahan, bukan jatuh di lubang yang sama dan malah menjadi beban untuk orang lain.

“Perlu juga saya katakan, tidak ada satu pun orang yang begitu sabar mengulang apa yang sudah pernah dikatakan. Orang-orang mengangguk karena paham lalu menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Sedangkan Kamu, seperti tidak punya keinginan untuk belajar dan terjebak dalam garis lurus yang terkutuk? Mengapa demikian, Isaak?”

Saya diam sejenak. Isaak sejak tadi diam. Saya pikir Isaak akan segera paham dari apa yang saya katakan. Tetapi, mungkin saja saya telah menyampaikan hal yang tidak jelas bahkan tidak masuk akal atau terdengar lain di telinga Isaak. Jadi wajar bila tanpa perasaan ragu dan malu-malu, Isaak menyodorkan kertas karangannya.

Saya betul-betul sedang diuji dan harus lebih sabar menghadapi anak kampret ini. Sengaja bersikap tidak menanggapi tapi dia tetap tidak peduli. Semakin saya diam, Isaak semakin bersemangat mencakap-cakapkan isi karangannya. Tidak terasa, apa yang sudah saya katakan hanya menjadi kata-kata tanpa makna. Saya merasa dihinakan, bahkan dalam keadaan rendah dan sabar. Dan waktu terus berjalan, saya masih diam sampai pukul dua dini hari.

“Sudah waktunya,” kata Isaak.

Saya berdiri dan Isaak juga berdiri. Sebelum pamit pulang, sempat dia katakan besok atau lusa akan kembali datang.

“Tentu,” kata saya sambil tersenyum. “Seperti biasa, kan, kamu datang membawa karangan dan menceritakan segalanya kepada saya!”

Karena saya tahu Isaak akan mengangguk tapi justru dia menggeleng, saya kaget dan tidak percaya akhirnya dia bisa berubah secepat ini. Entah oleh angin apa, dia benar-benar berubah. Saya senang tapi tidak lama. Karena setelah itu Isaak bilang dia memang akan datang tidak membawa karangan, tapi pertanyaan tentang apa yang perlu ditulis.

Sebelum tidur pagi itu, saya gelisah setengah mati. Di dalam kepala saya muncul banyak siasat untuk menghadapi Isaak ketika dia datang lagi. Saya bayangkan besok, ketika dia bertanya apa yang perlu ditulis, saya akan jawab barangkali tidak perlu menuliskan apa-apa. Kalau dia memaksa, saya siapkan jawaban pamungkas, tulislah tentang laki-laki tua membunuh tamunya karena kesabarannya habis.

Mula-mula mereka terlihat akrab tapi kemudian, sesuatu yang buruk menjelma ke dalam sikap, bahasa, dan tata krama. Si tamu tak tahu malu akhirnya mampus. Jangan dibayangkan tamu itu tahu kalau dia mau dibunuh. Buatlah ceritanya seolah-olah mampus dengan cara tidak masuk akal.

Katakanlah ketika tamu menenggak kopi, secara licik dan rapi, laki-laki tua itu sudah lebih dulu menaburkan serpihan kaca ke dalam gelas. Sehingga tenggorokan, usus dan isi perut tamu, terdapat ribuan luka yang tidak terobati. Dengan begitu tamu mati dengan cara baik, tapi tersiksa.

Atau karang saja tamu itu terlalu banyak bicara sampai tanpa disadarinya, ia tersedak oleh kata-kata lalu mampus begitu saja. Dan laki-laki tua, karena merasa tidak rela tamu itu mati sia-sia, meninju mulut jasad tamu sampai berantakan dan giginya tanggal. Lalu dicongkelnya mata tamu dengan sendok dan karena masih belum puas, laki-laki tua ini menguras tabungan untuk membeli lima ekor anjing kurus. Dengan buas dan gonggongan kelaparan, jasad tamu yang hampir busuk, mulai dicabik-cabik sampai tidak berbentuk. Dan akhirnya, tamu itu mati sekaligus tersiksa lahir batin.

Ada banyak lagi yang sudah saya pikirkan. Tapi mendadak lupa begitu saja. Ketika saya mengingat-ingat, dengan mendadak terdengar suara langkah kaki. Lalu pintu rumah saya digedor-gedor. Saya tidak kaget karena sudah tahu, inilah saatnya untuk mengatakan apa yang tadi saya ingat-ingat. Begitu pintu saya buka, Isaak langsung masuk dan duduk di kursi seperti biasanya. Saya melihat-lihat sekitar, meyakinkan situasi supaya saya dapat mengatakan sesuatu kepada Isaak.

Begitu saya menutup pintu dan ikut duduk, Isaak berbasa-basi seperti biasa, “Saya tahu, Anda, seperti kalong. Punya banyak waktu di malam hari.” Karena saya diam, mau tidak mau, dengan perasaan enak dan tidak enak, Isaak seperti terpaksa menyambung ucapannya sendiri, “Lupa sesuatu ya? Biasanya hafal.”

Beri Hanna
Latest posts by Beri Hanna (see all)

Comments

  1. Miya Reply

    Sarkas banget ini, tapi bagus

  2. Alfian Reply

    👍

  3. wahyu Reply

    Bagus karyanya,

  4. Galih Agus Santoso Reply

    Bagus mewakili people pleaser wkw..tapi saya kurang paham dengan endingnya, apakah isaak orang sakti karena bisa membaca pikiran?

  5. toscahlb© Reply

    Isaak seperti hanya hobi bertanya tanpa mau bekerja keras menerapkan pelajaran yang telah diberikan.

  6. Carlos Haukilo Reply

    Keren gaya bahasanya 👍

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!