
Malam Jakarta
Air, air,
melayang terbang di bawah pohon kersem
burung di ranting, basah sayapnya
memandang jakarta
Jauh di langit seorang gadis mencangkung
menenteng plastik, mengunyah permen, matanya bening
seperti bulan. Ia merajuk pada Tuhan,
“Tuhan, Tuhan, ambilkan bola bekelku
yang nyangkut bersama mayatku
di selokan.”
Gedung jangkung, perempuan panjang rambutnya,
berdiri di balkon dipeluk pacar dari belakang
hujan di luar, tapi hangat tubuhnya hingga ke payudara
“Lihat pacar, lihat, ada gereja terendam, ada pasar tenggelam,
ada orang-orang berenang. Apakah mereka
dikutuk menjadi ikan?” Pacar tertawa,
berkata bahwa di aquarium ikan-ikan pasti bahagia.
Ia meremas kutang, memandang jalan, dan menghujani
tengkuk perempuan dengan ludahnya
Sunyi sirine melintas, di bawah kersem air melayang
dan burung basah terbang malam. Gadis kecil menenteng plastik
di langit. Bermain dengan Tuhan yang memberinya permen
dan bola bekel. Ia tak lagi mengingat ibunya.
Ia tak lagi ingat ayahnya. Bahkan lupa
pada mayatnya.
Jalan-jalan mengambang, plastik mengambang,
motor dan truk, mengalir bersama suara, hanyut ke luas arus,
ke hitam lumpur. Atap rumah berendam,
berbisik saling berdiam. Ada listrik masih nyala, di gedung jangkung
tempat sang pacar ngajak senggama. “Sayangku, banjir tubuhku
banjir tubuhmu.”
Pohon kersem di tinggal burung, di bawah langit,
menggigil. Buahnya jatuh,
menuju laut.
Jakarta 2014
David
Seperti mimpi, ketemu David. Ia mungkin boneka,
atau tanah liat yang dibikin tergesa, pada suatu
siang yang khilaf. Atau malaikat kecil yang sengaja
lahir dari lapar nafsu, antara perempuan
dan lelaki.
David kecil menjelma helikopter, dari matanya muncul
kebencian pada apa pun yang menghalangi niatnya
untuk berputar. Ia bergasing seperti pusaran, berteriak.
Ia berlari: “Bapakku anjing. Ibuku kambing. Bapakku kucing.
Ibuku lintah.”
Demi Tuhan seperti mimpi. Ketemu David, yang meraung
memunculkan masa lalu, yang menyihir masa depan menjadi
jalanan menanjak, menurun, berkelok, –menuju tebing batu.
“Jangan kau ludahi gurumu, David!” Seribu kata hanyut
Dimuntahkan menuju laut.
David menerjang. Tangannya berputar seperti helikopter,
menjangkau apa saja, dan menghancurkannya menjadi
serpihan.
Bapakku anjing
Ibuku kambing
Bapakku kucing
Ibuku lintah
Ada gurun tercipta tiba-tiba.
begitu lengang,
begitu tergesa.
Jakarta 2014
Ziarah
Sepupuku mati muda,
maka kupetik mawar dewasa
agar harumnya tak membuat
dia kecewa
Apakah capung, kupu-kupu, dan kumbang
bisa mati sebelum waktunya? Bunga pohon mengering
ada masanya. Daun-daun muda, bisa gugur
jika angin memaksanya.
Di lembah basah, tempat sekuncup jamur tumbuh
menunggu batas matahari, sepasang kumbang telah terbang
mengitari kelopak, dan mengucap selamat tinggal
bagi waktu yang tak abadi.
Jakarta 2014
Vihara Bun San Bio
Di sudut Sumur Delapan Sisi,
Vihara Bun San Bio:
Bersemayam Dewi Sumber Rezeki.
Seorang lelaki, tiba di sini,
tiga batang hio
nyala
menciptakan mimpi
“Lihatlah Dewi,
sisa obat yang kumiliki,
tak ada lagi rezeki, untuk rumah sakit hari ini.
Apakah aku akan mati?”
Seorang perempuan, mendengar doanya
yang kencang, dari altar Dewa Maut,
dengan jarak sedepa. Tiga batang hio
di tangan,
mewujudkan mimpi.
“Dewa Maut yang perkasa,
Kau dengarkah doa lelaki itu?
Ribuan kali aku lihat ia di sini,
menjual sakitnya,
untuk rezeki sehari-hari.”
Perempuan dengan tiga batang hio,
mendekati lelaki itu, dan memberinya rezeki
untuk yang kesekian kali.
Di Gerbang Vihara
ia melihat Dewa Maut
meneteskan air matanya.
Jakarta 2014
Perahu Kabut
: anak lelakiku
“Mama, kenalkan pacarku, namanya Sheila.”
Burung yang menetas itu, sudah mulai belajar terbang
ke arah tebing. Sayapnya begitu muda, dan ia menggiring
angin untuk menciptakan riak, di sungai
surut dan berkelok.
“Bukankah usiamu baru tiga belas, lelaki kecil?”
Kucing betina, akan birahi di tahun pertama. Nyanyi asmara
meraung di gelap malam, membisik suara peri, dari atas
genting yang dijaga malaikat.
Panah isyarat bisa meledak
pada setiap tiupan bulu, dihantarkan angin menuju tempat
tersembunyi, –tempat para pejantan tertidur.
Para pemburu
diberkahi nafsu untuk melunaskan titah: kawin
dan beranak-pinak.
Kelamin jantan
dititahkan meraung melunaskan
nafsu, lalu Tuhan menjaga anaknya, untuk
keabadian semesta.
“Tapi Mama, aku dan Sheila telah jatuh cinta. Kami berjanji
untuk sehidup semati.”
Perahuku, perahuku, meluncur di tebing batu. Seekor camar
menukikkan paruhnya, menembus jantung ikan di antara
debur gelombang, dan membawanya pergi
menuju sarang. Di kejauhan langit biru, matahari selalu
pasti, menunaikan tugasnya sebagai lelaki. Engkaulah
camar yang terbang menuju matahari. Engkaulah
karang yang mengganaskan ombak. Tapi engkau juga
laut menderu, yang menjaga perahuku
menuju teluk biru.
“Sheila begitu jelita, Mama. Rindu ketemu setiap waktu.”
Sebatang kembang dirindukan kumbang
setelah terbit matahari. Laut tetap menunggu angin
karena tanpanya ia merasa sunyi. Mari
kudekap engkau di sini, lelaki kecilku. Sebelum engkau
pergi ke gunung, dan menemukan sungai berhulu
di tebing batu.
“Tapi Mama, Sheila begitu jelita.”
Perahuku meluncur setengah waktu,
telah melewati sungai dan laut. Tapi kini ia menembus kabut,
dan angin mengumpulkan riak badai
menggulung karang
dan pantai.
Jakarta 2014
Sajak Cinta untuk Daun dan Kupu-Kupu
Di bawah rindang mahoni, Kakek memandang kupu-kupu
seperti waktu yang lenyap
dalam ingatan.
Dahulu, ada
banyak perompak menenggelamkan perahu, tapi ia berangkat sendiri
menuju pulau gadis
bergigi manis.
Membuka ladang, menanam
kembang di pekarangan. Ia panggil kupu-kupu
bersayap biru, menggiring rindu
di senja basah.
Lelaki melukis langit, menurunkan gerimis pada manis
matahari. Ratusan kupu-kupu biru, terbang menuju langit.
Dikalungkannya warna pelangi, bagi selendang gadisnya
yang senantiasa sembunyi
di rimbun melati.
Di tanah basah menanam akar, meminang gadis
bergigi manis, dan mencinta daun yang menumbuhkan
kupu-kupu. Dikalungkannya warna, untuk harum
di tanah negeri.
“Gadisku bergigi manis, kulitmu tanah,
mataku sipit, perahu telah kubakar di dermaga,
menjadi abu yang dikirimkan ombak
kembali menuju negeri asalku,
di tanah Tiongkok.”
Ada hujan yang turun dari matamu,
dari mataku. Ada matahari di bahu kirimu,
bulan bintang di rambut berseri. Maka
kutiupkan angin agar cuaca selalu pagi,
untuk menanam benih
di rahimmu basah
Kakekku memandang kupu-kupu:
dan aku petik melati, untuk gadis bergigi manis
yang hingga kini,
harum abu mayatnya
menjelma benih
di dalam hati.
Jakarta 2014
- Puisi-PuisiHanna Fransisca; Kisah Bunga Tulip - 26 September 2017
- Perahu Kabut; Puisi-Puisi Hanna Fransisca (Jakarta) - 5 January 2016
Yopi Setia Umbara
Mbak Hana selalu membuat saya betah berada di dalam puisinya.
rina choma
baru kali ini baca puisi sangat menyenangkan, menggelitik dan nyentrik dibacanya.
Irma Aprilia
Selau buat kaget tiap baca kata selanjutnya, mba Hanna
Kurnia Hidayati
Indah sekali puisinya 🙂