Perahu Kabut; Puisi-Puisi Hanna Fransisca (Jakarta)

Sumber gambar: pinimg.com
Sumber gambar: pinimg.com
Malam Jakarta

 

Air, air,

melayang terbang di bawah pohon kersem

burung di ranting, basah sayapnya

memandang jakarta

 

Jauh di langit seorang gadis mencangkung

menenteng plastik, mengunyah permen, matanya bening

seperti bulan. Ia merajuk pada Tuhan,

“Tuhan, Tuhan, ambilkan bola bekelku

yang nyangkut bersama mayatku

di selokan.”

 

Gedung jangkung, perempuan panjang rambutnya,

berdiri di balkon dipeluk pacar dari belakang

hujan di luar, tapi hangat tubuhnya hingga ke payudara

“Lihat pacar, lihat, ada gereja terendam, ada pasar tenggelam,

ada orang-orang berenang. Apakah mereka

dikutuk menjadi ikan?” Pacar tertawa,

berkata bahwa di aquarium ikan-ikan pasti bahagia.

Ia meremas kutang, memandang jalan, dan menghujani

tengkuk perempuan dengan ludahnya

 

Sunyi sirine melintas, di bawah kersem air melayang

dan burung basah terbang malam. Gadis kecil menenteng plastik

di langit. Bermain dengan Tuhan yang memberinya permen

dan bola bekel. Ia tak lagi mengingat ibunya.

Ia tak lagi ingat ayahnya. Bahkan lupa

pada mayatnya.

 

Jalan-jalan mengambang, plastik mengambang,

motor dan truk, mengalir bersama suara, hanyut ke luas arus,

ke hitam lumpur. Atap rumah berendam,

berbisik saling berdiam. Ada listrik masih nyala, di gedung jangkung

tempat sang pacar ngajak senggama. “Sayangku, banjir tubuhku

banjir tubuhmu.”

 

Pohon kersem di tinggal burung, di bawah langit,

menggigil. Buahnya jatuh,

menuju laut.

 

 

Jakarta 2014

 

David

 

Seperti mimpi, ketemu David. Ia mungkin boneka,

atau tanah liat yang dibikin tergesa, pada suatu

siang yang khilaf. Atau malaikat kecil yang sengaja

lahir dari lapar nafsu, antara perempuan

dan lelaki.

 

David kecil menjelma helikopter, dari matanya muncul

kebencian pada apa pun yang menghalangi niatnya

untuk berputar. Ia bergasing seperti pusaran, berteriak.

Ia berlari: “Bapakku anjing. Ibuku kambing. Bapakku kucing.

Ibuku lintah.”

 

Demi Tuhan seperti mimpi. Ketemu David, yang meraung

memunculkan masa lalu, yang menyihir masa depan menjadi

jalanan menanjak, menurun, berkelok, –menuju tebing batu.

“Jangan kau ludahi gurumu, David!” Seribu kata hanyut

Dimuntahkan menuju laut.

 

David menerjang. Tangannya berputar seperti helikopter,

menjangkau apa saja, dan menghancurkannya menjadi

serpihan.

 

Bapakku anjing

Ibuku kambing

Bapakku kucing

Ibuku lintah

 

Ada gurun tercipta tiba-tiba.

begitu lengang,

begitu tergesa.

 

 

Jakarta 2014

 

 

Ziarah

 

Sepupuku mati muda,

maka kupetik mawar dewasa

agar harumnya tak membuat

dia kecewa

 

Apakah capung, kupu-kupu, dan kumbang

bisa mati sebelum waktunya? Bunga pohon mengering

ada masanya. Daun-daun muda, bisa gugur

jika angin memaksanya.

 

Di lembah basah, tempat sekuncup jamur tumbuh

menunggu batas matahari, sepasang kumbang telah terbang

mengitari kelopak, dan mengucap selamat tinggal

bagi waktu yang tak abadi.

 

Jakarta 2014

 


Vihara Bun San Bio

 

Di sudut Sumur Delapan Sisi,

Vihara Bun San Bio:

Bersemayam Dewi Sumber Rezeki.

 

Seorang lelaki, tiba di sini,

tiga batang hio

nyala

menciptakan mimpi

 

“Lihatlah Dewi,

sisa obat yang kumiliki,

tak ada lagi rezeki, untuk rumah sakit hari ini.

Apakah aku akan mati?”

 

Seorang perempuan, mendengar doanya

yang kencang, dari altar Dewa Maut,

dengan jarak sedepa. Tiga batang hio

di tangan,

mewujudkan mimpi.

 

“Dewa Maut yang perkasa,

Kau dengarkah doa lelaki itu?

Ribuan kali aku lihat ia di sini,

menjual sakitnya,

untuk rezeki sehari-hari.”

 

Perempuan dengan tiga batang hio,

mendekati lelaki itu, dan memberinya rezeki

untuk yang kesekian kali.

 

Di Gerbang Vihara

ia melihat Dewa Maut

meneteskan air matanya.

 

Jakarta 2014

 

 

Perahu Kabut

: anak lelakiku

 

“Mama, kenalkan pacarku, namanya Sheila.”

 

Burung yang menetas itu, sudah mulai belajar terbang

ke arah tebing. Sayapnya begitu muda, dan ia menggiring

angin untuk menciptakan riak, di sungai

surut dan berkelok.

 

“Bukankah usiamu baru tiga belas, lelaki kecil?”

 

Kucing betina, akan birahi di tahun pertama. Nyanyi asmara

meraung di gelap malam, membisik suara peri, dari atas

genting yang dijaga malaikat.

 

Panah isyarat bisa meledak

pada setiap tiupan bulu, dihantarkan angin menuju tempat

tersembunyi, –tempat para pejantan tertidur.

 

Para pemburu

diberkahi nafsu untuk melunaskan titah: kawin

dan beranak-pinak.

 

Kelamin jantan

dititahkan meraung melunaskan

nafsu, lalu Tuhan menjaga anaknya, untuk

keabadian semesta.

 

“Tapi Mama, aku dan Sheila telah jatuh cinta. Kami berjanji

untuk sehidup semati.”

 

Perahuku, perahuku, meluncur di tebing batu. Seekor camar

menukikkan paruhnya, menembus jantung ikan di antara

debur gelombang, dan membawanya pergi

menuju sarang. Di kejauhan langit biru, matahari selalu

pasti, menunaikan tugasnya sebagai lelaki. Engkaulah

camar yang terbang menuju matahari. Engkaulah

karang yang mengganaskan ombak. Tapi engkau juga

laut menderu, yang menjaga perahuku

menuju teluk biru.

 

“Sheila begitu jelita, Mama. Rindu ketemu setiap waktu.”

 

Sebatang kembang dirindukan kumbang

setelah terbit matahari. Laut tetap menunggu angin

karena tanpanya ia merasa sunyi. Mari

kudekap engkau di sini, lelaki kecilku. Sebelum engkau

pergi ke gunung, dan menemukan sungai berhulu

di tebing batu.

 

“Tapi Mama, Sheila begitu jelita.”

 

Perahuku meluncur setengah waktu,

telah melewati sungai dan laut. Tapi kini ia menembus kabut,

dan angin mengumpulkan riak badai

menggulung karang

dan pantai.

 

Jakarta 2014

 

 

 

Sajak Cinta untuk Daun dan Kupu-Kupu

 

Di bawah rindang mahoni, Kakek memandang kupu-kupu

seperti waktu yang lenyap

dalam ingatan.

 

Dahulu, ada

banyak perompak menenggelamkan perahu, tapi ia berangkat sendiri

menuju pulau gadis

bergigi manis.

 

Membuka ladang, menanam

kembang di pekarangan. Ia panggil kupu-kupu

bersayap biru, menggiring rindu

di senja basah.

 

Lelaki melukis langit, menurunkan gerimis pada manis

matahari. Ratusan kupu-kupu biru, terbang menuju langit.

Dikalungkannya warna pelangi, bagi selendang gadisnya

yang senantiasa sembunyi

di rimbun melati.

 

Di tanah basah menanam akar, meminang gadis

bergigi manis, dan mencinta daun yang menumbuhkan

kupu-kupu. Dikalungkannya warna, untuk harum

di tanah negeri.

 

“Gadisku bergigi manis, kulitmu tanah,

mataku sipit, perahu telah kubakar di dermaga,

menjadi abu yang dikirimkan ombak

kembali menuju negeri asalku,

di tanah Tiongkok.”

 

Ada hujan yang turun dari matamu,

dari mataku. Ada matahari di bahu kirimu,

bulan bintang di rambut berseri. Maka

kutiupkan angin agar cuaca selalu pagi,

untuk menanam benih

di rahimmu basah

 

Kakekku memandang kupu-kupu:

dan aku petik melati, untuk gadis bergigi manis

yang hingga kini,

harum abu mayatnya

menjelma benih

di dalam hati.

 

Jakarta 2014

Hanna Fransiska
Latest posts by Hanna Fransiska (see all)

Comments

  1. Yopi Setia Umbara Reply

    Mbak Hana selalu membuat saya betah berada di dalam puisinya.

  2. rina choma Reply

    baru kali ini baca puisi sangat menyenangkan, menggelitik dan nyentrik dibacanya.

  3. Irma Aprilia Reply

    Selau buat kaget tiap baca kata selanjutnya, mba Hanna

  4. Kurnia Hidayati Reply

    Indah sekali puisinya 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!