Puisi Michael Djayadi

 

Variasi Patung-Patung Kodok

                      —untuk Frans Nadjira

 

Langit masih putih. Tak berarak awan

tak berjarak masa depan. Langit membuka

tabir, bergeraklah awan mencari masa depan.”

 

Mengapa masih saja alat pahatmu tergeletak

tersuruk seperti sekoci kelasi anak-anak

Nuh. Mengapa tak kaubiarkan petil dan juru

pahatmu menggenggam masa depan saat kautahu

gunung ararat tinggal bukit: tak mungkin

kaupahat wajah anak-anak Nuh.

 

(Hujan tak turun, hutan mati. Merpati

dari tempat mahatinggi menjatuhkan bibit

pohon pertama. Jadilah hutan, bangkitlah hujan.)

 

Kata-kata tak saling mengaku siapa gerangan

pencipta awan, mengapa putih warnanya

dan abu-abu sisa cangkangnya. Kata-kata tinggal

cangkang, meninggalkan bahasa seorang diri

bergumul bagaimana awan dan angin harusnya

tetap di masa depan meskipun danau belum

sempat dibikin masa silam.

 

(Tak sehari pun hari sabat dibiarkan diam,

sang mahatinggi sedang berumpama bilakah

datang hari dinanti menjatuhkan pokok anggur

pertama. Bakal manusia, timbulnya keserakahan.)

 

Tanah retak. Semailah aku, katanya. Kelak

ketika muasal bahasa diceritakan orang bermula

dari mulut sang mahatinggi, kautahu itu isap jempol belaka.

Sebab kau bermimpi: mengalirlah sungai besar

lalu sebuah bahtera tergeletak, tersuruk di bawah pokok anggur.

Carangnya masih bernafsu menggoda lalat

meralat model seekor kodok di atas batu, di atas

mejamu yang penuh lumut.

 

2024

 

 

 

Bantengan

 

Para danyang dan mambang

Saling sikut berebut takhta

Menguasai bahasa ketakutan di dahimu

 

Sekat-sekat gelap tersibak

Dosa dan maut menjemput batas, setia mengintip

Di muka pintu, mengatasi pusara tak terpulihkan

 

Hingga kremusan beling serupa lengking

Anjing tua membawa semua tulang masa lalu

Menjemput yang tak terkatakan di bawah sadarmu

 

Tak perlu kaucemaskan apabila

Segala muslihat dan ancaman mereka

Menggagahi murni kehendak, menyilih putih hasratmu

 

Toh hanya itu yang sanggup

Kaukorbankan agar doa dan mantra

Tak kembali sia-sia, menjelma sepasang sungu

 

Habis terperdaya, masih sempat kaucurahkan

Kecrutan darah, airmata kaubawa serta

Di atas mezbah semayam segala muasal

 

Jika masih kauizinkan azimat mengalungi lehermu

Serupa rantai dingin batu kilangan mencekik

Ngikik tawa mereka menghiasi kepul dupa-dupa

 

Walau rintih napasmu mencapai perih

Nganga lukamu sudah terasa sampai puncak

Niscaya nyeri hatimu adalah lalaimu sendiri

 

Mereka bikin tubuhmu tersisa hanya jerangkong

Saling tindih-menindih hingga menghamburi pecahan dirimu

Bagai curahan darah hitam ayam cemani

 

Sebelum tubuhmu adalah bait suci

Yang telah kauberikan cuma-cuma

Sebagai persembahan yang hidup buat senyum mereka

 

Biarkan hasratmu suam-suam kuku terampas

Kencingmu perlahan biru membeku, sambil lamat-lamat

Berbusa-busa kepalan ayat kaurapal belaka

 

Sampai 400 elegi membangun mezbah terakhir

Kaupujalah mereka: para Baal dan roh-roh antikristus

Rawan dirasuk susuk kelenjarmu: tatap sayu tak bernyawa

 

2024

 

 

Duri Dalam Daging

 

Gamaliel telah mengajarinya segala ilmu meniti jalan lurus. Orang-orang Farisi menanam ragi murni di dahinya. Angin Tarsus membawa hasrat nyalang matanya memegat semua orang pengikut ajaran Kristus. Siapa pun yang menghalangi surat kuasanya, mesti menanggungnya dengan harga yang mahal: mata ganti mata, gigi ganti gigi!

 

Di tengah jalan menuju Damsyik, rebahlah ia tersungkur memeluk tanah, sebab matanya tersilap gerombolan cahaya, pekak telinganya oleh suara mahatinggi. Di dalam hatinya, ia masih menimbang suara siapa yang telah ia tangkap barusan. Tetapi, persis seperti sebagaimana jalan lurus yang dinyatakan gurunya, suara dahsyat barusan berkata, “Di Jalan Lurus ini menetaplah kau di rumah seorang bernama Yudas. Berdoalah dan tunggulah tumpangan seorang bernama Ananias. Maka kau akan mengerti siapa Aku yang sedang kauaniaya.”

 

Tiga hari ia menunggu, tiga hari lapar dan haus berkarib dengannya. Maka sesudah urapan mahatinggi mengecup ragi murni di dahinya, tanggallah selaput dari kedua matanya, tatal sudah gelap hatinya mencuri mahkota Kristus. Maka sejak tangan dan kakinya bekerja melayani di ladang Jalan Lurus, para Farisi lagi Saduki menggocoh ulu hatinya, melubanginya dengan demam yang ganjil, sampai duri dalam dagingnya mengeras lalu memencar ke bilik-bilik terjauh imannya.

 

2023

 

 

Magnolia Putih

 

Tingkap-tingkap langit terbuka

Pelan dan pasti

Menurunkan gerimis segera

 

Tiada orang terhuyung ke utara

Memastikan sekilas cahaya

Berdiam pada punggung bukit

 

Jiwa-jiwa terpisah akan senantiasa kembali

Menadahkan telapak memohon waktu henti sejenak

Berharap telah usai derita dan perjalanan

 

Adakah cinta tersendat di muara

Memudarkan segala hasrat memiliki

Saat seluruh kisah tak mesti berakhir

 

Di ujung jalan jauh dari sini

Magnolia putih mengembangkan sayap

Menyudahi tangkainya membubung tinggi

 

2023

 

 

Michael Djayadi
Latest posts by Michael Djayadi (see all)

Comments

  1. Galih Reply

    Selalu menyenangkan membaca tulisan mas michael

  2. reza ramadhan Reply

    sungguh menyeramkan

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!