Variasi Patung-Patung Kodok
—untuk Frans Nadjira
“Langit masih putih. Tak berarak awan
tak berjarak masa depan. Langit membuka
tabir, bergeraklah awan mencari masa depan.”
Mengapa masih saja alat pahatmu tergeletak
tersuruk seperti sekoci kelasi anak-anak
Nuh. Mengapa tak kaubiarkan petil dan juru
pahatmu menggenggam masa depan saat kautahu
gunung ararat tinggal bukit: tak mungkin
kaupahat wajah anak-anak Nuh.
(Hujan tak turun, hutan mati. Merpati
dari tempat mahatinggi menjatuhkan bibit
pohon pertama. Jadilah hutan, bangkitlah hujan.)
Kata-kata tak saling mengaku siapa gerangan
pencipta awan, mengapa putih warnanya
dan abu-abu sisa cangkangnya. Kata-kata tinggal
cangkang, meninggalkan bahasa seorang diri
bergumul bagaimana awan dan angin harusnya
tetap di masa depan meskipun danau belum
sempat dibikin masa silam.
(Tak sehari pun hari sabat dibiarkan diam,
sang mahatinggi sedang berumpama bilakah
datang hari dinanti menjatuhkan pokok anggur
pertama. Bakal manusia, timbulnya keserakahan.)
Tanah retak. Semailah aku, katanya. Kelak
ketika muasal bahasa diceritakan orang bermula
dari mulut sang mahatinggi, kautahu itu isap jempol belaka.
Sebab kau bermimpi: mengalirlah sungai besar
lalu sebuah bahtera tergeletak, tersuruk di bawah pokok anggur.
Carangnya masih bernafsu menggoda lalat
meralat model seekor kodok di atas batu, di atas
mejamu yang penuh lumut.
2024
Bantengan
Para danyang dan mambang
Saling sikut berebut takhta
Menguasai bahasa ketakutan di dahimu
Sekat-sekat gelap tersibak
Dosa dan maut menjemput batas, setia mengintip
Di muka pintu, mengatasi pusara tak terpulihkan
Hingga kremusan beling serupa lengking
Anjing tua membawa semua tulang masa lalu
Menjemput yang tak terkatakan di bawah sadarmu
Tak perlu kaucemaskan apabila
Segala muslihat dan ancaman mereka
Menggagahi murni kehendak, menyilih putih hasratmu
Toh hanya itu yang sanggup
Kaukorbankan agar doa dan mantra
Tak kembali sia-sia, menjelma sepasang sungu
Habis terperdaya, masih sempat kaucurahkan
Kecrutan darah, airmata kaubawa serta
Di atas mezbah semayam segala muasal
Jika masih kauizinkan azimat mengalungi lehermu
Serupa rantai dingin batu kilangan mencekik
Ngikik tawa mereka menghiasi kepul dupa-dupa
Walau rintih napasmu mencapai perih
Nganga lukamu sudah terasa sampai puncak
Niscaya nyeri hatimu adalah lalaimu sendiri
Mereka bikin tubuhmu tersisa hanya jerangkong
Saling tindih-menindih hingga menghamburi pecahan dirimu
Bagai curahan darah hitam ayam cemani
Sebelum tubuhmu adalah bait suci
Yang telah kauberikan cuma-cuma
Sebagai persembahan yang hidup buat senyum mereka
Biarkan hasratmu suam-suam kuku terampas
Kencingmu perlahan biru membeku, sambil lamat-lamat
Berbusa-busa kepalan ayat kaurapal belaka
Sampai 400 elegi membangun mezbah terakhir
Kaupujalah mereka: para Baal dan roh-roh antikristus
Rawan dirasuk susuk kelenjarmu: tatap sayu tak bernyawa
2024
Duri Dalam Daging
Gamaliel telah mengajarinya segala ilmu meniti jalan lurus. Orang-orang Farisi menanam ragi murni di dahinya. Angin Tarsus membawa hasrat nyalang matanya memegat semua orang pengikut ajaran Kristus. Siapa pun yang menghalangi surat kuasanya, mesti menanggungnya dengan harga yang mahal: mata ganti mata, gigi ganti gigi!
Di tengah jalan menuju Damsyik, rebahlah ia tersungkur memeluk tanah, sebab matanya tersilap gerombolan cahaya, pekak telinganya oleh suara mahatinggi. Di dalam hatinya, ia masih menimbang suara siapa yang telah ia tangkap barusan. Tetapi, persis seperti sebagaimana jalan lurus yang dinyatakan gurunya, suara dahsyat barusan berkata, “Di Jalan Lurus ini menetaplah kau di rumah seorang bernama Yudas. Berdoalah dan tunggulah tumpangan seorang bernama Ananias. Maka kau akan mengerti siapa Aku yang sedang kauaniaya.”
Tiga hari ia menunggu, tiga hari lapar dan haus berkarib dengannya. Maka sesudah urapan mahatinggi mengecup ragi murni di dahinya, tanggallah selaput dari kedua matanya, tatal sudah gelap hatinya mencuri mahkota Kristus. Maka sejak tangan dan kakinya bekerja melayani di ladang Jalan Lurus, para Farisi lagi Saduki menggocoh ulu hatinya, melubanginya dengan demam yang ganjil, sampai duri dalam dagingnya mengeras lalu memencar ke bilik-bilik terjauh imannya.
2023
Magnolia Putih
Tingkap-tingkap langit terbuka
Pelan dan pasti
Menurunkan gerimis segera
Tiada orang terhuyung ke utara
Memastikan sekilas cahaya
Berdiam pada punggung bukit
Jiwa-jiwa terpisah akan senantiasa kembali
Menadahkan telapak memohon waktu henti sejenak
Berharap telah usai derita dan perjalanan
Adakah cinta tersendat di muara
Memudarkan segala hasrat memiliki
Saat seluruh kisah tak mesti berakhir
Di ujung jalan jauh dari sini
Magnolia putih mengembangkan sayap
Menyudahi tangkainya membubung tinggi
2023
- Puisi Michael Djayadi - 13 August 2024
Galih
Selalu menyenangkan membaca tulisan mas michael
reza ramadhan
sungguh menyeramkan