(1)
Mereka menyeret Murdani dengan kasar, membuat luka tembak di kakinya semakin menganga, disayat ilalang dan semak-semak kuburan yang tajam. Cucuran darah mengalir dan menempel di batang semak, membuat dedauan perdu yang merimbun di perkuburan itu menyala merah. Mereka menghela laki-laki itu hingga pelataran masjid dan lalu bertanya kepada kami yang berbaris di sana, “Bukankah orang yang mati di masjid akan masuk surga?”
Mulut kami terkunci, diam seperti batu. Dengan mata setengah terpejam, kami memandang Murdani yang tergolek lemas. Tidak terdengar suara rintihan dari mulutnya. Bibirnya melukis senyum, senyum yang kemudian padam oleh suara senapan yang siang itu menuding dadanya. Mereka menembak laki-laki itu lima belas menit sebelum azan Zuhur berkumandang.
“Apakah dia akan masuk surga, hah?”
Seorang Brimob yang tubuhnya sebesar badak menampar saya dengan keras. Saya tersungkur, jatuh ke tubuh Murdani yang berlumur darah. Saya mencoba bangkit, akan tetapi tendangan yang datang selanjutnya membuat saya kembali terempas. Saya juga mendengar rintihan beberapa teman saya yang dihantam popor senapan. Saya melihat satu per satu teman saya terjatuh ke tanah.
“Apakah dia akan masuk surga, Keparat?”
Kami serentak menjawab, “Tidaaak!”
Tentu saja kami tidak pernah bersepakat untuk jawaban itu, tidak ada waktu untuk berunding. Pikiran kami bertaut dengan sendirinya, bertaut untuk menyelamatkan tubuh kami dari terjangan peluru dan umpatan prajurit.
Namun, tendangan sepatu lars kembali menyasar tubuh kami, mengeluarkan suara gedebuk yang membuat tulang-tulang kami bergemeretak. Para serdadu menarik tubuh kami, memaksa untuk berdiri dan lalu tamparan demi tamparan mendarat di pipi kami yang lebam.
“Jangan bohong, Anjing!”
Kami kembali diam, suasana hening, lalu komandan Brimob kembali bertanya apakah Murdani akan masuk surga. Tanpa berpikir lama, kami pun meralat jawaban kami, mengatakan bahwa Murdani akan masuk surga. Lagi-lagi kami tidak pernah bersepakat, tapi naluri bertahan hidup memaksa kami berkata demikian. Akan tetapi, tangkai-tangkai senapan kembali menerjang tubuh kami, diiringi umpatan para serdadu yang hari itu telah menjelma layaknya malaikat maut.
“Apa kamu ingin bilang kalau pemberontak akan masuk surga, Babi!”
Kali ini pertanyaan itu ditujukan kepada saya.
Seraya memegang perut yang sakit, saya mencoba berdiri tegak. Saya bisa merasakan darah segar mengalir di sela-sela bibir saya yang bengkak. Saya menunduk, tak berani menatap wajah mereka. Saya sadar bahwa jawaban apa pun akan terdengar sama saja di telinga para serdadu. Bahkan diam pun tak lagi menjadi emas, dan mereka akan tetap memukuli kami.
(2)
Dua hari setelah kematian Abdullah Syafii, situasi Kotaraja begitu lengang. Saat itu pimpinan markas besar mengumumkan gerakan mogok massal di seluruh Aceh. Jalan-jalan terlihat sepi. Anak-anak sekolah memilih libur dan kantor-kantor pemerintah seketika kosong. Tidak ada satu kendaraan pun melintas, kecuali beberapa panser dan truk tentara yang hilir mudik seraya berteriak melalui pengeras suara agar orang-orang tetap beraktivitas seperti biasa. Namun, orang-orang tak menghiraukan seruan itu. Mereka memilih bersembunyi dan menyingkir dari keramaian.
Saya melaporkan kondisi itu kepada Murdani, komandan kami di Kebun Kelapa, bahwa penduduk telah menjalankan seruan dengan kepatuhan paripurna.
“Bagus, saatnya kita balas kematian Teungku Lah,” kata Murdani yang hari itu memakai seragam loreng plus baret hijau bercap Burak Singa.
Saya dan teman-teman mengangguk, siap membalas kematian Panglima Besar kami yang ditembak pai-pai Jawa di pedalaman Pidie. Saat itu Murdani meminta kami menyiapkan beberapa senapan AK-47 yang baru saja dikirim dari Kuala, beberapa senapan rakitan, amunisi dan peulandok. Kami bersiap-siap menyerang serdadu-serdadu jahanam itu tepat pukul 12 siang, saat kondisi sudah benar-benar lengang. Itu berarti dua jam lagi.
Sembari menunggu waktu yang sudah ditentukan, Murdani meminta kami tetap bersiaga di Kebun Kelapa, sementara dia akan menemui Fatiyah, kekasihnya, di seberang jembatan. Itu memang sudah menjadi kebiasaan Murdani sejak dulu. Sebelum menuju pertempuran, dia akan berpamitan kepada kekasihnya, sekadar berbincang, sedikit bercanda, dan menyampaikan pesan-pesan, seolah itu adalah pertemuan terakhir mereka.
Saya ingat, pada suatu sore, di penghujung Ramadan tahun itu, selepas memberondong beberapa polisi dan tentara di Simpang Lima, Murdani pernah mengajak saya menemui Fatiyah. Saat itu dia katakan kepada kekasihnya agar sekiranya dia mati dalam pertempuran, Fatiyah tak perlu berduka. “Kalau aku mati, kawinlah dengan Basri,” kata Murdani kala itu, membuat saya tersipu-sipu.
(3)
Sementara Murdani menemui Fatiyah, saya dan teman-teman tetap bersiaga di Kebun Kelapa, sebuah pemukiman padat penduduk yang tak jauh dari kampus. Kami memilih Kebun Kelapa karena di sini kami bisa berbaur dengan mahasiswa, seraya menanamkan ideologi perjuangan kepada mereka. Kami merekrut mereka sebagai pasukan dan mata-mata. Saya sendiri berstatus sebagai mahasiswa sejarah yang di hari-hari biasa membawa tas dan buku-buku ke kampus, dan di lain hari memanggul senapan, menembaki kepinding-kepinding Indonesia Jawa yang ingin merampas tanah kami.
Murdani juga sama. Dia mahasiswa teknik kimia yang punya kecakapan merakit bom. Beberapa kali bom rakitan Murdani berhasil membuat serdadu-serdadu Jawa terjungkal dan lalu terlempar ke neraka. Karena itulah, pimpinan markas besar menunjuk Murdani sebagai komandan kami. Sama seperti saya dan Murdani, sebelas teman kami yang lain juga mahasiswa, mulai dari mahasiswa matematika, biologi, hukum, kedokteran hewan, Bahasa Inggris, sampai tata boga.
(4)
Satu jam saya menunggu. Murdani belum juga kembali.
Dengan tetap bersiaga penuh, saya dan teman-teman memutuskan menyulut beberapa batang Commodere yang sudah dicampur ganja. Saya pikir ini penting untuk menyegarkan pikiran agar kami tetap bersemangat, juga menambah keberanian menghadapi musuh. Namun, kami harus melakukannya dengan tenang dan tetap siaga. Saya menugaskan seorang teman untuk berjaga-jaga dan memberi tahu kami jika tiba-tiba Murdani muncul agar kami bisa membuang barang itu sejauh mungkin. Sebab kalau ketahuan, laki-laki itu akan menggampar kami seperti babi.
“Barang-barang ini untuk kita tukar dengan senapan, bukan untuk kauisap, Beulaga!”
Demikian Murdani mengingatkan kami berkali-kali. Namun, ketika laki-laki itu sedang tidak bersama kami, atau saat dia bertemu Fatiyah misalnya, kami akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin, mengisapnya beberapa batang, seraya mengibas-ngibas asap agar tak menyisakan aroma aneh.
(5)
Letupan senapan terdengar tiba-tiba. Kami terperanjat dan lalu berlarian memasuki rumah kayu yang selama ini kami jadikan markas. Dari balik jendela, saya melihat dua panser berdiri angkuh bersama puluhan personel Brimob yang tiba-tiba mengepung rumah kami. Seraya menunduk dan berlindung di balik jendela, saya melepaskan tembakan, sementara teman-teman saya merayap di lantai, membidik pasukan musuh tanpa tahu mereka di mana. Pengaruh ganja masih mengaburkan kesadaran kami, membuat para serdadu terlihat bagai anak kucing kelaparan yang mengeong minta makan.
Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, tapi Murdani belum juga menampakkan wujudnya, sementara pasukan Brimob terus bermunculan bagai hantu. Apa mungkin Murdani berkhianat dan bergabung dengan mereka? Pertanyaan itu bukan saja mematuk-matuk kepala saya, tapi teman-teman kami yang kini memamerkan wajah pucat. Melalui gerakan mulut yang ditujukan kepada saya, mereka menanyakan hal itu.
Setelah berpikir dan melakukan analisis dengan cermat, saya memutuskan keluar dan menyerah. Tidak ada gunanya kami melawan sebab peluru-peluru itu terus memburu kami tanpa ampun, menembus dinding-dinding kayu tempat kami berlindung. Lebih baik dipenjara sebentar daripada mati konyol, pikir saya. Kalau pun benar Murdani berkhianat dan menyerah, saya yakin pasukan Ayah Muni akan membebaskan kami dari penjara, dan lalu kami pun punya kesempatan melakukan pembalasan kepada cecunguk-cecunguk pengecut di luar sana.
(6)
Melihat pasukannya dibariskan bagai anak kambing di pelataran masjid, tak jauh dari markas yang kini dipenuhi lubang, Murdani yang baru kembali dari seberang jembatan melepaskan tembakan beberapa kali. Beberapa peluru membuat dua atau tiga pasukan Brimob bertumbangan lalu mengerang kesakitan. Murdani mengendap-endap dan terus menembak musuh yang bisa jadi di matanya terlihat bagai kumpulan semut, membuat kami, pasukannya sendiri, terpaksa menunduk dan berjongkok agar peluru-peluru itu tak menembus kepala kami.
Murdani menyusup memasuki area pekuburan yang hanya beberapa depa dari masjid, bersembunyi di balik tembok dan pusara yang dipenuhi semak. Mungkin dari sana dia lalu membidik musuh yang kini memenuhi masjid. Entah bagaimana, sebutir peluru yang ditembakkan pasukan Brimob berhasil bersarang di kakinya, membuat ia jatuh terjerembap, disambut teriakan musuh yang bersorak-sorai dan raut cemas kami yang masih berjongkok dengan tangan memeluk tengkuk.
Seketika itu pula para serdadu menyergap pekuburan, menyeret tubuh Murdani tanpa ampun, seraya merampas senapan yang terjatuh dalam rimbunan semak. Di tengah terik matahari siang yang membakar ubun-ubun, tubuhnya dicampakkan di pelataran masjid. Kami yang kini bertelanjang dada, menyaksikan pemandangan itu dengan wajah cemas. Puluhan Brimob yang hari itu bersuka ria menampar dan menendang kami seraya bertanya, apakah Murdani akan masuk surga?
(7)
Siang itu juga Murdani mengembuskan napas terakhir, setelah 15 butir peluru bersarang di tubuhnya. Darah segar mengalir deras, membasahi pelataran masjid yang siang itu terlihat lengang. Fatiyah yang tiba di sana satu jam kemudian menemukan kami sedang membersihkan ceceran darah, membakarnya dengan setumpuk jerami, seraya membaca doa-doa agar arwah laki-laki itu tidak mengganggu penduduk di Kebun Kelapa.
Dalam kebingungan itu, Fatiyah berlari mengejar saya dan sebelas orang lainnya yang siang itu digiring menaiki truk polisi. Tanpa dinyana dia memeluk saya, bertanya mengapa kami membiarkan kekasihnya mati. Saat itu saya berbisik kepada Fatiyah kalau Murdani akan masuk surga. Lalu para serdadu menarik tubuh saya dengan keras, membuat pelukan Fatiyah terlepas.
Dari dalam truk Reo, saya yang kini diborgol, menyaksikan Fatiyah merebahkan tubuhnya ke tanah, meraung-raung memanggil Murdani.
(8)
Gempa besar dua tahun kemudian membuat saya terbebas dari penjara. Saya menyaksikan dinding beton dan jeruji luruh begitu saja, menimpa tubuh-tubuh penghuni penjara yang sebelumnya berteriak ketakutan. Dalam kepanikan teman-teman yang berlarian, saya melihat gelombang bergulung-gulung, membawa sampah dan potongan kayu. Saya terempas dan hanyut bersama air berbau belerang. Ketika akhirnya tersadar dan membuka mata, saya sudah terdampar di tenda pengungsian bersama ratusan orang asing yang tak saya kenal. Ada banyak polisi dan tentara di sana, tapi kenapa mereka tidak menembak orang-orang? Kenapa pula tidak menangkap saya?
Dalam kebingungan itu, samar-samar saya mengingat satu nama,. Saya bertanya kepada beberapa suster yang merawat luka-luka saya, apakah mereka melihat Fatiyah? Semuanya menggeleng, seolah nama itu begitu asing di telinga mereka. Saya meronta, memanggil-manggil nama Fatiyah dan lalu seorang polisi melangkah mendekat, bertanya kepada suster tentang apa yang terjadi.
Setelah mendapat jawaban dari suster kalau saya mencari Fatiyah, tiba-tiba polisi itu pergi meninggalkan saya dan memasuki tendanya sendiri. Keesokan harinya, polisi itu kembali menemui saya bersama seorang laki-laki berpakaian Brimob. Ada bekas luka di wajah laki-laki itu. Apa mungkin dia tenggelam seperti saya? Atau, apakah dia salah satu dari mereka, yang dua tahun lalu bertempur dengan kami di Kebun Kelapa?
Sambil membungkuk, laki-laki itu menunjukkan sebuah foto yang telah basah. Tanpa harus berlama-lama, saya bisa pastikan kalau wajah di foto itu adalah Fatiyah. Saya sangat gembira. Saya akan menunaikan janji saya kepada Murdani, menikahi Fatiyah setelah dia mati.
“Anda kenal perempuan ini?” tanya laki-laki itu dengan suara lemah.
Jujur, baru kali ini saya melihat ada Brimob berbicara lembut. Namun, belum sempat saya menjawab, dia kembali berujar dengan wajah diliputi mendung, “Kami menikah dua bulan lalu, dan sekarang ….” Laki-laki itu terisak. “Saya … saya kehilangan dia ….”
Tiba-tiba saja si polisi merangkul laki-laki itu, menepuk-nepuk bahunya beberapa kali. “Sudahlah!” katanya, seraya membawa kembali laki-laki berpakaian Brimob itu ke dalam tenda.
Saya yang masih terbaring di atas bangsal darurat, di bawah tenda yang dibakar matahari, tak tahu lagi, apakah saya harus menangis atau tertawa.
Catatan:
Beulaga: sejenis umpatan
Pai: sebutan GAM untuk TNI/ Polri
Peulandok: bahasa Aceh berarti kancil; istilah GAM untuk Bom.
- Ayam Tetangga - 17 January 2025
- Apakah Murdani akan Masuk Surga? - 9 August 2024
ngopi
keren
ngopi
Alurnya keren
Ruzbihan A
Kereun
Anugrah
Tin Miswary berhasil menyampaikan pesan yang kuat tentang pentingnya amal, niat, dan pertanggungjawaban dalam konteks spiritual. Buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang konsep surga dan kehidupan setelah mati, serta merenungkan tindakan dan niat mereka sendiri dalam menjalani kehidupan.