
Sudah tak terhitung lagi berapa ekor ayam yang saya sembelih dan dagingnya saya bagi-bagikan untuk tetangga. Saat menerima kiriman itu, tetangga-tetangga saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada saya. Tidak ada tetangga yang paling baik di dunia ini selain saya, begitu kata mereka saat seminggu sekali saya mengantarkan daging goreng yang baru dimasak istri saya. Melihat mereka yang gembira, kadang-kadang saya tertawa sendiri, tertawa dalam hati, walau sebenarnya saya ingin marah semarah-marahnya karena ayam-ayam itu telah membuat hidup saya tak bahagia.
Sebagai seorang pegawai negeri yang bekerja di kantor bupati, saya sangat jarang berada di rumah. Saya berangkat kantor pukul 7 pagi dan pulang pukul 5 sore. Istri saya pun begitu, menjadi honorer di kantor camat sejak 20 tahun lalu dan sampai sekarang belum diangkat. Kami berdua mencari uang dengan sungguh-sungguh, walau kami tidak memiliki anak yang harus diberi makan. Bagi saya dan istri, bekerja bukanlah soal makan, tapi sebuah pengabdian untuk bangsa dan negara, walau kadang-kadang bangsa dan negara tidak pernah menganggap kami ada, buktinya istri saya tak pernah diangkat menjadi PNS dan saya pun masih bertahan di golongan dua, yang sehari-hari mengantar surat, membeli makanan, dan sesekali memijit kepala atasan.
Pekerjaan di kantor membuat saya dan istri begitu lelah. Selepas salat Isya kami langsung tidur, menyiapkan energi untuk besok pagi. Kami tidak pernah membuang waktu untuk menonton TV yang beritanya merusak masa depan: sinetron yang tidak masuk akal, perceraian selebritas, dan omong-kosong politisi bermuka tebal. Kami tidak akan pernah menghabiskan listrik untuk tayangan-tayangan seperti itu. Kami lebih memilih bercakap-cakap sambil tidur atau sesekali bergulat sampai berkeringat lalu pingsan dengan posisi masing-masing.
Beberapa saat sebelum mata terpejam, kami terlebih dulu membicarakan ayam-ayam yang mengusik hidup kami selama bertahun-tahun. Kami sendiri tidak punya ayam, tepatnya kami tidak memiara ayam. Tentu ada banyak alasan. Pertama, kami pergi pagi pulang sore, jadi nyaris tidak memiliki waktu untuk mengurus ayam. Kedua, saya sendiri tidak suka bau ayam, apalagi suaranya yang berisik, berkokok tak kenal waktu. Ayam-ayam sekarang tak sama seperti ayam di masa saya kecil dulu. Dulu, ayam hanya berkokok di waktu pagi sebagai pengganti jam beker agar orang-orang segera bangun dari tidur. Ayam zaman sekarang sepertinya tidak bisa lagi membedakan waktu, kadang-kadang mereka berkokok di tengah malam. Saya tidak tahu kenapa bisa begitu. Ada yang bilang mereka melihat hantu. Tapi, keterangan itu segera terbantahkan ketika saya sampai di kantor. Atasan saya, Pak Bidin, mengatakan kalau ayam-ayam itu melakukan gladi resik, semacam latihan, agar mereka bisa berkokok dengan sempurna di pagi hari. Maka dari itu, beliau meminta saya meniru ayam-ayam itu agar saya lebih cakap dalam bekerja.
Yang ketiga, saya sangat benci tahi ayam. Setiap menjumpai tahi ayam di sembarang tempat, saya jadi teringat para politisi yang sembarangan mengumbar janji di musim pemilu, tanpa ada rasa malu, seperti ayam yang berak di teras rumah orang lain lalu lari entah ke mana. Kemudian si pemilik rumah harus menguras tenaga membersihkan tahi-tahi yang berserakan agar baunya tidak merusak hidung. Besoknya, ayam-ayam berengsek itu datang lagi, berak lagi. Selalu begitu, bertahun-tahun.
Saya jadi teringat saat awal-awal tinggal di rumah ini. Saat itu beberapa tetangga menyarankan saya untuk memelihara ayam barang dua atau tiga ekor. “Nanti kalau ada makanan yang tersisa bisa dimakan ayam, biar tidak mubazir,” kata mereka. “Kalau akhir bulan dan gaji belum keluar, kita bisa makan telur ayam. Selain gratis, juga tinggi protein,” kata yang lain lagi.
Mendengar penjelasan tetangga, saya dan istri berdiskusi tiga malam berturut-turut sampai kemudian kami memutuskan tidak akan memelihara ayam dengan alasan-alasan yang sudah saya katakan tadi. Saya sampaikan hasil diskusi itu kepada tetangga. Mereka kecewa. Kata mereka di dusun ini semua warga memiliki ayam. Namun, saya tetaplah raja di rumah saya sendiri, mereka tidak bisa memveto saya begitu saja. Saya tetap memutuskan untuk tidak memelihara ayam.
Keesokan harinya, hari kedua saya tinggal di rumah ini, para tetangga tidak lagi mengurung ayam-ayam mereka. Ayam-ayam itu dilepas begitu saja. Maka, mulailah ayam-ayam itu mendatangi rumah saya. Saat pulang dari kantor, saya menemukan tahi ayam berserakan di teras rumah, rupa-rupa warnanya, tapi sama baunya. Saya kesal. Istri saya juga sama. Namun, kami coba bersabar. Kami bersihkan tahi-tahi itu dengan perasaan berat, sama beratnya seperti kami melupakan omongan politisi yang dulu pernah berjanji mengangkat semua pegawai honorer menjadi PNS.
Besoknya lagi, ayam-ayam itu kembali datang. Sebagai warga baru di dusun ini, saya masih mencoba bersabar. Saya menganggap kedatangan ayam itu sebagai ujian, sejenis Ospek bagi mahasiswa baru di kampus. Saya pikir itu sudah menjadi tradisi yang memang tidak bisa dihindari dan harus dilalui dengan penuh kerelaan. Saya yakin tujuannya baik; untuk membentuk kepribadian yang kuat dan tahan banting agar kita tidak cengeng menghadapi kesulitan-kesulitan hidup di kemudian hari. Maka, saya bersihkanlah tahi-tahi yang berjajar di teras rumah.
Pada hari-hari selanjutnya, kejadian itu terus berulang. Tahi ayam di teras saya semakin banyak saja. Ini pasti karena sedang terjadi bunus demografi, pikir saya. Kali ini saya butuh bantuan istri untuk bisa membersihkan semua tahi ayam yang berceceran di lantai. Saya dan istri benar-benar lelah. Ketika malam tiba, kami jadi tertidur lebih cepat. Pekerjaan di kantor plus membersihkan tahi ayam sudah cukup membuat kami tak mampu lagi bergerak, bahkan untuk sekadar bergulat di malam Jumat.
Pada bulan kelima kami tinggal di dusun ini, saya mengalami semacam stres. Saya jadi sering marah-marah kepada ayam yang datang. Saya marahi ayam itu satu persatu, saya tanyakan siapa yang berak di rumah saya. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mengaku. Saya pikir saya tidak bisa membiarkan keadaan ini berlangsung lebih lama. Maka, saya putuskan untuk menjumpai kepala dusun.
“Saya sudah sangat terganggu dengan ayam-ayam tetangga, membuat kinerja saya di kantor kian menurun,” kata saya kepada kepala dusun yang pagi itu saya temui di masjid, selepas salat Subuh. Lelaki berumur setengah abad itu tak segera menjawab. Dia diam beberapa saat, melempar senyum, lalu berkata, “Berbaik-baiklah dengan tetangga. Kalau ada kekurangan tetangga, ya, dimaafkan.”
Jujur saja, saya kesal dengan jawaban itu. Namun, saya mencoba tersenyum dan sedikit mengangguk seperti keledai.
Saya datang subuh-subuh ke masjid pagi itu bukan untuk mendapat jawaban begitu. Saya ingin dia memberi jawaban yang lebih masuk akal, lebih adil, bukan justru meminta saya bersabar atas perilaku ayam tetangga yang kurang ajar. Saya pikir dia lucu juga. Mengapa saya yang disuruh bersabar, bukan para tetangga yang dia beri nasihat agar ayam-ayam mereka tidak lagi berak sembarangan dan mengganggu kenyamanan saya?
Pagi itu saya pulang dengan kecewa. Saya ceritakan kepada istri saya. Dia mengamuk, mengatakan kalau kepala dusun tidak punya rasa simpati kepada amanat penderitaan rakyat, khususnya penderitaan kami yang tiap hari harus membersihkan tahi ayam. Saya setuju dengan pendapat istri saya. Karena itu, dua minggu kemudian saya mendatangi Pak Imam di rumahnya. Saya yakin, sebagai tokoh agama dia akan lebih bijak, tidak seperti kepala dusun yang egois.
Saya disambut dengan hangat, dijamu dengan kopi panas dan pisang goreng. Setelah berbasa-basi beberapa menit saya sampaikan maksud saya, bahwa pikiran saya semakin stres dengan ulah ayam tetangga yang makin hari makin banyak saja. Istri saya juga sering marah-marah karena terlalu capek membersihkan tahi ayam. Padahal dia sendiri hanya buang hajat dua kali sehari, tapi ayam-ayam itu berak hampir setiap detik.
Pak Imam menarik napas panjang seraya mengangguk-angguk. “Jangan risau,” katanya, sambil memandang ke arah saya, “jangan juga dendam,” dia melanjutkan. “Keburukan tidak boleh dibalas dengan keburukan. Berdoa saja supaya tetangga Bapak diberi hidayah. Itu lebih baik daripada melukai hati mereka. Siapa tahu mereka akan berubah seiring perjalanan waktu.”
Saya benar-benar terhenyak dengan jawaban itu. Seolah-olah saya ini pendosa, seolah-olah yang salah itu saya, bukan mereka. Saya benar-benar tak habis pikir, mengapa kenyataan yang saya terima begitu rumit. Saya pamit, meninggalkan rumah Pak Imam dengan kekecewaan yang sama. Kali ini saya tidak menceritakan hal itu kepada istri saya, takut dia bertambah marah.
Dua bulan berlalu, ayam-ayam itu semakin menjadi-jadi. Mereka bukan saja berak di teras, tapi sudah mulai memasuki rumah saya melalui jendela yang terbuka, yang hari itu lupa saya tutup karena buru-buru ke kantor setelah ditelepon atasan. Anda bisa bayangkan sendiri bagaimana keadaan rumah saya setelah dikunjungi ayam-ayam sialan itu. Kotoran mereka berceceran di ruang tamu, di atas kasur, di bawah meja makan. Saya sudah benar-benar tidak tahan.
Istri saya meminta saya untuk menemui psikolog agar kesehatan mental saya tidak terganggu. Katanya kondisi stres akan mengganggu produktivitas saya di kantor. Dan kalau saya stres, istri saya juga akan ikut stres. Saya pikir itu ide yang baik. Maka pergilah saya ke psikolog yang tak begitu jauh dari kantor saya. Saya tahu biayanya mahal, tapi kesehatan pikiran saya tentu lebih mahal, lebih mahal dari apa pun, bahkan dari ayam-ayam buduk itu.
“Usahakan agar perasaan Bapak tetap bahagia, tetap tenang dan gembira. Jangan pikirkan hal-hal yang tidak mampu Bapak pikirkan. Lepaskan segala beban dan lakukan apa saja yang kira-kira menyenangkan. Satu lagi, bersikaplah lebih rileks.”
Kata-kata dari psikolog itu sedikit menenangkan saya. Saya bersyukur masih ada orang di dunia ini yang peduli dengan masalah saya. Maka, saya pun pulang dengan tersenyum kepada pohon-pohon yang berjajar di pinggir jalan. Saya berusaha melepaskan segala beban yang ada, termasuk tugas yang diberikan atasan saya di kantor, saya lupakan tugas-tugas itu. Saya mencoba untuk lebih rileks dan tenang.
Keesokan harinya saya menangkap seekor ayam yang sedang berak di teras. Saya menerkamnya dengan sangat cepat, seperti harimau menerkam anak kambing. Saya berhasil. Saya katakan kepada istri untuk memasak ayam itu dalam kuali. Setelah matang, sore harinya saya antar daging ayam itu ke rumah tetangga. Mereka menerimanya dengan bahagia dan saya pun tersenyum senang. Stres saya berkurang hari itu juga. Besoknya lagi saya berhasil menangkap 3 ekor ayam. Setelah dimasak saya antarkan lagi kepada tetangga-tetangga yang lain. Mereka berterima kasih kepada saya.
Begitu seterusnya. Semakin hari semakin banyak saja ayam yang berhasil saya tangkap dan saya gulai. Akhirnya semua tetangga saya mendapat jatah. Saya juga mengantarkan daging-daging itu kepada kepala dusun dan Pak Imam. Mereka memuji saya sebagai tetangga yang baik. Sampai akhirnya ayam yang selama ini membuat gaduh dan kekacauan di rumah saya sudah tidak ada lagi. Saya pikir saya sudah bisa hidup tenang, tetapi tampaknya tidak. Sekarang, setiap hari, ada saja tetangga—yang sebelumnya memuji-muji saya sebagai tetangga yang baik—datang untuk marah dan menuduh saya ini itu. Meski begitu, saya tetap tersenyum dan tidak risau, karena saya tahu bagaimana mengatasi mereka sebagaimana saya mengatasi ayam-ayam.
- Ayam Tetangga - 17 January 2025
- Apakah Murdani akan Masuk Surga? - 9 August 2024
Pudji Rahayu
Wah plot twist sekali ceritanya, tapi saya juga pernah mengalami hal serupa, bukan ayam tapi kucing peliharaan tetangga yang suka berak sembarangan, sungguh mengesalkan dan menguras emosi. ketika saya komplain pun jawabannya tidak melegakan. Memanglah bertetangga ada seninya.
Diana M
Waduh endingnya merinding
Patrick
Tapi kalau di pikir2 tetangga harusnya bersyukur loh dapat makan gratis, meskipun harusnya curiga karena sering berbagi makanan lauk ayam tapi tidak pernah memelihara ayam, eksekusi yang bagus untuk memberikan efek jera.
Rizky
endingnya sudah tertebak sejak paragraf pertama. tapi, saya suka gaya humornya.
Sn
Dari tulisan si penulis kyx beliau orng sulut, klihatan dari kata *memveto😆🤣
Zunita
waw tidak terduga…
babyjouza
wkkwkwk saya jadi ingat tetangga saya,
Zaimatun
Waduh! Jangan ya, Dik! He he….
Bee
Apa sekarang dusunnya sudah lebih sepi?
rami
keren
Syifa A
Wah, bagian terakhir betulan membuat saya hah heh hoh. Seru sekali mengikuti alurnya dan cara penulisan yang rapi 🙂
Exonia
Marah banget ni keknya yg nulis wkwk
Intanj
Ayam-ayam buduk wkwk
Aldy
Tulisan sederhana dengan akhir yang luar biasa.
Hartoyo
wkwkwk… lucu dan menarik ceritanya, solusinya itu lho wkwkwkkw..