Syaikh Abu al-Husin al-Harawi

Beliau adalah Abu al-Husin al-Haddad al-Harawi. Tidak lebih dan tidak kurang sebagaimana di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami. Di selain kitab tersebut, tidak kutemukan satu pun namanya. Jangankan tempat kelahirannya dan wafatnya, guru dan teman beliau siapa, aku juga tidak tahu.

Menurut Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam, beliau adalah seorang sufi yang kondisi rohaninya begitu agung, spiritualitasnya sedemikian memukau, tidak ada yang lebih menarik dan mengagumkan di zamannya melebihi dimensi spiritual beliau.

Beliau adalah seorang sufi yang betul-betul sendiri dalam pengertiannya yang paling hakiki. Bahkan mungkin dirinya sendiri dianggap tidak ada, yang ada hanyalah Allah Ta’ala sebagai wajib al-wujub, selebihnya dianggap tidak ada. Kenapa? Segala sesuatu yang sebelum ada itu tidak ada, dihitung tidak ada.

Beliau adalah seorang sufi yang terhitung yang terhitung cerdas. Lebih cerdas ketimbang sufi-sufi kebanyakan. Berbagai macam persoalan yang tidak selesai di sufi-sufi lain, diserahkan kepada beliau dan diselesaikan. Di samping sebagai sufi yang cerdas, beliau adalah orang yang lincah dan cekatan.

Beliau pernah tinggal di Mekkah al-Mukarramah bersama para sufi. Beliau juga pernah datang kepada Syaikh Abu al-‘Abbas al-Qashshab. Beliau bertanya kepada Syaikh Abu al-‘Abbas al-Qashshab: “Apa itu artinya kepemudaan bagimu?” Yang ditanya itu menjawab: “Engkau tidak membiarkan bubur dingin karena hawa nafsumu.”

Hal itu menunjukkan kepada kita semua bahwa bubur itu mestinya dimakan ketika masih hangat, tidak dibiarkan sampai dingin karena nafsu kita sedang mengurusi sesuatu yang lain. Memang cuma sekedar bubur, tergantung kepada pilihan kita, apakah mau memakannya ketika masih hangat atau dibiarkan sampai dingin.

Jawaban itu menggambarkan bahwa si penanya pernah mengalami hal tersebut. Padahal tidak ada seorang pun yang memberi tahu hal itu kepada Syaikh Abu al-‘Abbas al-Qashshab. Siapa yang memberi tahu? Tidak ada siapa-siapa selain Allah Ta’ala Yang Mahatahu tentang segala sesuatu.

Pernah pada suatu hari Syaikh Abu al-Husin al-Haddad al-Harawi mengalami kesibukan karena mengurusi sesuatu. Sementara teman-temannya menunggu sampai kesibukan beliau rampung. Terus apa yang terjadi? Bubur yang semula hangat itu menjadi dingin karena itu.

Syaikh Ahmad pernah mengatakan bahwa Syaikh Abu al-Husin al-Haddad al-Harawi pernah mengeluh di akhir umurnya tentang sebagian kondisi rohani orang-orang yang formal mengikuti ajaran-ajaran tasawuf, beliau mengatakan: “Ya Allah, sama sekali tidak ada kemampuan bagiku.”

Maka, setelah tiga hari, beliau wafat, meninggalkan dunia yang hiruk-pikuk ini. Pergi untuk selamanya. Dunia berduka. Dunia sedih karena itu. Seorang sufi yang sederhana tapi rohaninya begitu megah telah meninggalkan dunia ini. Kita tak akan berjumpa kecuali mungkin di akhirat nanti. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!