Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani #7

Di samping sebagai seorang sufi yang terkenal dengan kewaskitaan dan kedekatannya dengan Allah Ta’ala, Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani juga dikenal sebagai seorang penyair dalam pengertiannya yang paling hakaki. Bagaimana tidak, contoh-contoh berikut ini adalah bukti kepenyairannya yang begitu ulung di rimba kesusastraan:

“Aku di hadapan segalanya adalah sebagaimana Tuhan Yang Mahaesa. Aku suci dari percikan kemarahan. Air dan debu sangat mengenal wujudku semuanya. Dan ketiadaanku bisa dilihat dari terbelahnya jubahku,” tulis beliau di dalam salah satu puisinya. Jelas bahwa puisi beliau itu terdiri dari kalimat-kalimat simbolik.

Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani di dalam puisinya itu jelas bahwa di masanya beliau adalah seorang wali yang tertinggi derajatnya di hadapan Allah Ta’ala. Sebab, sebagaimana Tuhan Yang Mahaesa, dia adalah orang yang mencapai martabat tertinggi sebagai wali kutub: sebuah kedudukan rohani yang wah di masanya.

Dalam kondisi apa pun, beliau adalah seorang sufi yang sanggup menahan nafsu ammarahnya. Artinya adalah bahwa beliau tetap dalam kondisi cool dalam berhadapan dengan apa pun. Tidak ada rasa marah dan gejolak di dalam dirinya. Itulah yang disebut dengan ‘aku suci dari percikan kemarahan’.

‘Air dan debu sangat mengenal wujudku semuanya’. Apa maksudnya? Maksudnya tidak lain adalah bahwa lingkungan hidup di sekitar beliau sangat mengenal beliau. Lingkungan hidup itu terasa sangat akrab dengan beliau. Beliau juga terasa sangat akrab dengan lingkungan hidup. Di antara keduanya terjadi simbiosis mutualistik.

‘Dan ketiadaanku bisa terlihat dari terbelahnya jubahku.’ Apa maksud kalimat di atas? Ketika orang-orang menyaksikan bahwa jubah Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani telah terbelah menjadi dua atau lebih, itu adalah tanda bahwa beliau telah berpulang ke pangkuan hadiratNya, telah berpulang kepada rahmatNya.

Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani menulis puisi sesuai dengan pengalaman rohani yang telah beliau tempuh di dalam hidupnya. Ketenangan dan ketenteraman hati beliau bukan ketika melihat yang indah-indah di dalam kehidupan ini, tapi justru di saat beliau tertegun menyaksikan wajah Allah Ta’ala yang qadim.

Tentu yang disebut sebagai wajah hadiratNya itu tidak bisa diserupakan dengan apa pun. Sebab, keserupaan dengan sesuatu itu adalah bukti keterbatasan. Dan Allah itu jelas Maha Tidak Terbatas. Dan sangat beruntung Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani itu. Kenapa? Beliau sanggup menyaksikan wajah yang tidak serupa dengan apa pun.

“Jika aku tidak melihat wajah Allah Ta’ala yang qadim, sungguh aku akan selalu gelisah, hatiku tidak akan pernah tenang dan tenteram. Jika mereka mencegahku untuk melihat wajah hadiratNya, sungguh aku akan tetap memperbolehkannya,” tuturnya di dalam puisinya yang lain.

Beliau wafat pada hari ‘Asyura’ tahun 686 Hijriah. Semoga Allah Ta’ala mensucikan roh dan batin beliau. Semoga kita mendapatkan manfaat dan barokah melalui beliau. Dengan ilmu yang bermanfaat dan barokah, kita akan sampai juga kepada hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!