Metropolis IV
Kami tak lagi membaca cuaca
saat hari mulai bangkit dari ranjang langit
besi di udara meleleh cipta waktu yang lain,
dan orang-orang memanggang punggungnya
di atas menara, di dalam sungai,
di perlintasan-perlintasan yang menghubungkan
lapar demi lapar.
Ada lagu iblis tertawa
melihat daging mereka mengering
melihat tulangmu membusuk
di batu yang terguling sepanjang siang,
mereka menjerit dari saluran terputus,
tangismu pecah di antara
dengung lebah dan anak-anak matahari.
Dan di sini tak ada yang lebih tabah dari sakit,
dari kerja mencabuti lapis nyawa,
dari kota mengumpulkan keluh
sepanjang api membakar nasib
yang sembunyi di celah rumah dan jembatan.
Metropolis V
Aku luruh ke dalam tiang-tiang rubuh,
ketika kota membentuk perlintasan bagi
jiwa rawan, ketika tuhan kembali ke
kubah-kubah warna keemasan,
aku membentuk kembali diriku di atas
tanah tak terjamah hipokritas sejarah.
Kedua kakiku lebih tua dari kepalaku,
dari sepasang mataku, dari kedua telingaku.
Darahku selalu mengalir sepanjang kabel
yang mengantar pesan dan perasaan
untukmu, darahku bersumber dari
gunung gaib di antara tautan-tautan
yang selalu menjerat tanganmu.
Aku berjalan dalam musim lapar,
tidur di atas gambar telanjang
dan kitab suci yang menemani harimu.
Warnaku mungkin biru, tapi aku selalu
mengibarkan merah dalam darah
yang menyalakan rahasia pemberontakan.
Metropolis VI
Setiap pagi aku tumbuh
di sela mimpi-mimpimu yang rubuh
tapi hasratku tak mendapat tempat
langit menangkap sungsang bayangku.
Dan kau yang kehilangan lengang
teriak dalam gerak tanpa henti
mengitari mimpiku yang mekar
di atas rasa laparku, di atas rasa haus
orang-orang yang meniti tengkukmu.
Lalu orang berkaca pada diriku,
orang-orang berkaca pada nasibku,
menengok wajahnya yang terbelah
di antara rumah-rumah rebah
yang terimpit mimpi-mimpimu.
Tapi aku terus tumbuh, menggapai
ajal hijauku, menggapai ajal
orang yang lari ke dalam diriku.
Tanganku bercabang, tanganku
menulis suara-suara yang lain
yang lahir di bawah sadar rasa lapar
yang lahir dari pengap ruang-ruang
tanganku senantiasa meraba
sesak kaki pasukan dewa kematian.
Metropolis VIII
Kau datang dari sudut hari,
kau pun hilang di antara lenguh matahari.
Tapi tak ada jalan yang memberi
tempat bagi namamu,
magrib membenamkan sisa
matamu yang terpajang sepanjang
apartemen menyentuh mendung.
Kau yang bergetar dalam doa
nada putus asamu mengukur kedalaman
luka musafir yang mencipta
jalan pertama.
Tapi suaramu raib di antara
kicau gaib burung-burung api
yang datang dan pergi membawa
kenangan hitam raja-raja celaka.
- Puisi Kim Al Ghozali AM - 26 March 2024
- Puisi-Puisi Kim Al Ghozali AM; Yang Tertinggal - 6 November 2018
- Sajak-Sajak Kim Al Ghozali AM; Resonansi Pabrik dalam Tempo Presto - 17 October 2017
Fadhlan
Puisi nya bagus
Ardyah Garini
Puisinya bagus, seolah Q terbayang akan mayat yang tergeletak di dalam makam dan orang2 yang hidup berjuang di perantauan di kota metropolitan yang menggiurkan akan rupiah tapi hanya pahit yang didapat. Tetapi itu hanya tafsiran konyol saya cz saya bukan orang yang ahli dalam puisi namun suka akan puisi. Mungkin makna dan arti sesungguhnya jauh dari tafsiran saya.
fitri
puisinya dalam